Pindah ke sekolah baru bukan bagian dari rencana. Namun, siapa sangka, di tempat barunya, ujian hidup sebenarnya akan dimulai.
Ricky berdiri tepat di depan gerbang megah berwarna abu-abu dengan plakat besar bertuliskan, "SMA NEGERI 1 JOSELAND." Rambutnya yang acak, sepatu putih yang kusam, dan ransel hitam yang dipanggul di satu sisi, semuanya memperjelas satu hal bahwa ia murid baru.
Ia menarik napas dalam. "Sekolah baru, lembaran baru," gumamnya. Ia tahu, pindah sekolah di akhir semester satu bukanlah hal ideal. Hal itu terpaksa ia jalani karena suatu keadaan yang tak bisa ia hindari.
Baru saja kakinya melangkah, ia sudah bisa merasakan ada keanehan di sekolah tersebut, yaitu kejanggalan pada aktivitas murid di lingkungan sekolah, berbeda jauh dari tempat sekolahnya dulu. Ia langsung mendengar suara samar dari kejauhan.
"Cepet! Jangan buang waktuku! Serahkan uangmu, atau kau akan aku hajar!"
Ricky menoleh cepat, lalu menyipitkan matanya agar pandangannya fokus. Di salah satu sisi koridor dekat tangga menuju lantai dua, ada tiga sosok. Seorang cewek mungil berseragam SMA berdiri dengan tubuh gemetar, memeluk tasnya erat-erat. Di depannya, dua cowok yang lebih tua darinya mengurung gadis tersebut.
"Aku udah bilang … aku nggak bawa uang lebih …." Suara perempuan itu bergetar, nyaris menangis.
"Apa?! Kau pikir kita bercanda?" Salah satu murid laki-laki mencengkeram tali tas perempuan tadi, lalu menariknya hingga tas tadi terlepas.
Menyadari hal itu, Ricky melangkah lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan ke arah mereka dan bersuara lantang.
"Woy! Beraninya sama perempuan!"
Mereka bertiga menoleh bersamaan. Kedua laki-laki itu mendekat dengan langkah arogan, menatap Ricky dari atas ke bawah, menilai apakah dia ancaman atau cuma bocah sok jagoan.
"Kau mau apa, hah?!"
"Lepasin tasnya!" suruh Ricky yang berusaha memberanikan dirinya, meski di dalam hatinya berdebar tak karuan.
Si cowok gempal mendengus. "Kau siapa? Pahlawan kesiangan?"
"Wajahnya belum familiar," sahut yang lainnya.
"Namaku Ricky," jawabnya sambil matanya tetap mengunci pandangan. "Kurasa sekolah ini bukan tempat buat maksa orang lain ngasih uang."
Perempuan yang ternyata bernama Tiara dari nametag-nya, memandang Ricky dengan ekspresi campur aduk: takut, terkejut, dan kaget dengan keberaniannya.
"Kau pikir dengan sikapmu yang sok berani gitu, kita bakal mundur?"
"Aku cuma bilang yang bener, kalau kalian butuh uang, cara dapetinnya bukan begini!" seru Ricky.
Beberapa siswa mulai memperhatikan dari kejauhan. Entah siapa yang lebih dulu bisik-bisik, tapi atmosfer berubah cepat. SMA 1 Joseland memang terkenal 'keras' di kalangan siswa, terutama karena kelompok-kelompok geng yang tak tertulis tapi nyata eksistensinya.
Ironisnya lagi, seorang murid baru dengan polos dan berani, justru menantang dua 'jagoan' dari salah satu geng yang paling ditakuti di sekolah.
"Wah, keren banget kau, Bro, baru masuk, udah cari panggung, ya?"
"Murid baru jangan sok-sokan kuat, deh! Kau belum pernah merasakan kepalanku!"
"Aku cuma benci melihat orang ditindas," balas Ricky dingin.
"BRAK!"
Tubuh Ricky terhuyung ke belakang, lalu menabrak dinding. Rasa sakitnya menjalar cepat, hingga dia pun merintih. Ia menoleh dan melihat si laki-laki tinggi tadi berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin.
"Sambutan dari kami, Ricky si jagoan. Selamat datang di SMA 1 Joseland," ucapnya datar.
"Sambutan kalian terlalu murahan! Coba serang aku lagi! Aku akan mengalahkan kalian!" tantang Ricky.
"Kalau begitu, rasakan ini!" ucap seorang berbadan gempal memukul perut Ricky.
Seketika, Ricky yang tak punya keahlian bela diri pun terpental akibat pukulan bocah kuat tadi.
Suasana halaman belakang sekolah yang biasanya sepi kini menjadi saksi bisu pertarungan tak seimbang. Ricky terduduk lemas, napasnya mulai tak beraturan, menatap dua siswa tangguh yang berdiri di hadapannya dengan tatapan mengejek. Bajunya sudah kusut, bibirnya pecah, dan darah mengalir samar dari pelipisnya. Namun, ia tidak sekalipun mundur.
Semua bermula ketika ia melihat Tiara, siswi kelas sebelas yang dikenal pendiam, disudutkan dan direndahkan oleh dua anak kelas sebelas, Edo dan Bram. Mereka mengganggunya dengan meminta uangnya secara paksa, menyulut emosi Ricky yang sejak dulu tidak pernah bisa diam saat melihat ketidakadilan, meskipun ia tahu, dirinya bukan tandingan mereka.
"Hei! Sini serang aku lagi!" tantang Ricky yang membuat semua yang melihat kaget. Banyak siswa yang berbisik tak percaya dengan Ricky yang sudah babak belur, tapi masih menantang kedua jagoan tersebut.
Edo dan Bram saling pandang dan mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya kembali menyerang. Ricky mencoba menghindar, mengangkat tangan untuk menangkis, tapi ia tak terlatih karena bukan petarung. Satu pukulan ke arah perut membuatnya terhuyung lagi, dan tendangan dari belakang menjatuhkannya ke tanah. Tanah yang dingin dan keras itu seperti mengingatkan bahwa keberanian saja tak cukup.
Walau tubuhnya tersiksa, sorot matanya tetap sama, keras kepala dan tak mau menyerah. Ia bangkit meski terhuyung hanya untuk kembali dihantam hingga jatuh lagi. Edo mengusap tangannya yang kotor, lalu menoleh ke Bram. "Sudah cukup. Anak ini gak bakal kapok, tapi aku malas kotorin tangan lebih lama."
"Betul, dia cuma pecundang lemah yang tak ada gunanya."
Edo mengisyaratkan pada Bram untuk pergi meninggalkannya. Sebelum meninggalkannya, Edo mendorong keras kepala Ricky hingga kembali membentur dinding. Kedua laki-laki itu tertawa dan pergi begitu saja, meninggalkan Ricky dan Tiara di tengah perhatian para siswa yang kini mulai membicarakan kejadian tersebut.
Beberapa detik kemudian, langkah ringan terdengar. Seseorang mendekat, pelan tapi pasti. Tiara.
"Ricky?" panggilnya lirih. Wajahnya cemas.
Ricky membuka mata perlahan. Ia ingin tersenyum tapi nyeri di pipi menahan gerakan itu.
"Kamu ... nggak apa-apa, kan?" tanya Ricky.
Tiara berlutut di sampingnya, lalu perlahan membantu Ricky untuk duduk, lengan kurusnya menopang tubuh Ricky sebisanya. "Aku yang harusnya tanya. Kamu gila, ya? Kenapa nekat lawan mereka?"
Ricky tertawa kecil, meski langsung meringis. "Ya ... mungkin aku harus berusaha melawannya ... agar mereka tak melukaimu."
Tiara tersenyum kecil, lalu mengangguk. Dengan sabar, ia membantu Ricky berdiri. "Ayo. Aku antar kamu ke kelas. Hari ini hari pertamamu, kan? Harus tetap datang dengan kepala tegak."
Dengan langkah tertatih, Ricky berjalan di samping Tiara menuju kelas barunya. Hari pertama masuk ke sekolah baru sudah disambut dengan kepedihan, bagaimana dengan ke depannya?
Anehnya, Ricky tak mempermasalahkan hal itu, ia menanggapi dengan ekspresi santai meski tubuhnya sudah babak belur.
Ricky mengelus perutnya, menyentuh bagian yang dipukul. Area tersebut perih dan dadanya sesak, tapi ia janji di dalam hatinya, akan membalas perlakuan mereka keesokan hari.
Dia ingin menunjukkan, siapa yang terkuat, meskipun ia tahu, sekolah itu bukanlah sekolah biasa.
Sementara itu, Tiara yang masih cemas pun sempat bingung dengan siapa sebenarnya Ricky. Niat hati ingin bertanya, tapi ia urungkan.
"Ngomong-ngomong, kelasmu mana?" tanya Tiara.
"Aku di kelas X.3."
"X.3?" Tiara tercengang.
"Memangnya kenapa di kelas itu?"
Tiara mengernyit. "Kau harus hati-hati, Rick ...."