Namanya Bima. Ia bukan siapa-siapa di sekolah. Duduk di bangku kelas 8, duduk di kursi pojok dekat jendela, mengenakan kacamata tebal yang selalu melorot sedikit ketika ia tertawa. Ia bukan siswa dengan nilai tertinggi, juga bukan atlet sekolah, apalagi pengisi acara pentas seni. Tapi setiap pagi, Bima selalu datang lebih awal. Duduk di bangkunya, membuka kotak pensil, dan menggambar.
"Tak usah dengarkan, terus maju,"
Kalimat yang selalu ia ucapkan di dalam hatinya. Ada banyak gambar, bukan potret superhero atau mobil balap. Ia lebih suka menggambar tangannya sendiri, buku-buku tua, atau jendela yang selalu terbuka ke langit. Ia bilang, “Aku suka hal-hal yang diam, karena mereka tidak pernah meninggalkanku.”
Di rumah, Bima tinggal bersama nenek. Orang tuanya bekerja di luar kota dan hanya bisa pulang dua bulan sekali. Setiap malam, ia akan menyeduh teh untuk neneknya yang sudah mulai pelupa. Sering kali Bima harus mengulang cerita yang sama berkali-kali. Tapi ia tidak keberatan. Ia justru merasa, dalam pengulangan itu, ia bisa menjaga kenangan neneknya tetap hidup.
Di sekolah, Bima bukan pusat perhatian. Tapi ada satu orang yang diam-diam memperhatikannya, seorang siswi bernama Dina. Dina selalu duduk dua baris di depan Bima, dan sering meminjam penghapus atau pensil warnanya. Tapi suatu hari, Dina menemukan selembar kertas tertinggal di kolong mejanya. Itu gambar dirinya, sedang tersenyum, dikelilingi bunga sakura.
Awalnya Dina marah. Ia merasa diintai. Tapi ketika ia membalik kertas itu, ada tulisan kecil di bawah gambar tersebut,
"Terima kasih sudah mau meminjamkan penghapus untuk ku. Hari-hariku jadi lebih ringan saat kamu tersenyum."
Dina tersenyum, ia gembira, bisa berbagi dengan teman yang dinilai aneh oleh siswa lain.
Sejak hari itu, mereka mulai saling berbagi cerita. Tentang keluarga, tentang mimpi, bahkan tentang kesepian. Dina tahu, di balik kacamata itu, Bima menyimpan dunia yang luas dan penuh warna.
Suatu sore, saat hujan turun dan siswa lain sudah pulang, Bima tetap duduk di kelas, menggambar langit. Dina duduk di sebelahnya, membawa dua gelas cokelat hangat. Ia berkata pelan,
"Kamu tahu, kadang aku berharap semua orang bisa melihat dunia seperti yang kamu lihat."
Bima tertawa kecil.
"Tapi aku melihat dunia pakai kacamata minus empat." ucap Biam.
Dina tersenyum,
"Tapi hatimu... nggak minus."
Dan sejak hari itu, dunia Bima tak lagi hanya dipenuhi garis dan bayangan. Tapi juga suara tawa, obrolan panjang, dan langkah kecil menuju kehidupan yang lebih terang. Ia tetap menggambar, tetap memakai kacamata, dan tetap duduk di pojok. Tapi kini, ada seseorang yang selalu menemaninya, menatap langit dari jendela yang sama.
Namun tak semua cerita berjalan lurus.
Pada suatu Senin pagi, Bima tidak datang ke sekolah. Juga tidak keesokan harinya. Dan esoknya lagi.
Dina, gelisah, mencoba menghubunginya, tapi nomornya tak aktif. Ia datang ke rumah Bima, mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Seorang tetangga bilang, nenek Bima jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit. Bima? Tidak ada yang tahu.
Beberapa hari kemudian, Dina menerima amplop cokelat tua di lacinya. Tanpa nama pengirim.
Di dalamnya, ada beberapa gambar: satu potret dirinya yang sedang tertawa, satu gambar langit senja, dan satu... gambar dirinya berdiri di pemakaman.
Di balik gambar terakhir, tertulis dengan huruf rapi:
"Maafkan aku jika aku tidak bisa menyelesaikan semua gambar. Tapi kamu telah memberiku warna yang tak pernah kukenal. Terima kasih, Dina. Selalu lihat ke langit, ya?"
Tangannya gemetar saat membaca itu. Tapi yang membuatnya paling merinding adalah... tanggal di belakang kertas itu. Tiga hari sebelum ia bertemu Bima pertama kali.
Di bagian bawah amplop, tersembunyi lembar kecil yang nyaris terlewat. Saat Dina membukanya, ia melihat sketsa sebuah ruang kelas... dengan bangku kosong di pojok dekat jendela. Tapi yang membuat darahnya berhenti mengalir adalah tulisan kecil di bawahnya:
"Aku akan menunggumu di sini, saat kamu siap melihat dunia dari sisi lainnya."
Saat Dina menatap ke arah bangku pojok itu keesokan harinya…
Kacamatanya ada di sana.
"Apa yang terjadi dengan nya?" Dina bertanya dengan perasaan khawatir.
**