Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Zero Division

Zero Division

Vincenzo_Sky | Bersambung
Jumlah kata
37.6K
Popular
100
Subscribe
5
Novel / Zero Division
Zero Division

Zero Division

Vincenzo_Sky| Bersambung
Jumlah Kata
37.6K
Popular
100
Subscribe
5
Sinopsis
PerkotaanAksiPahlawanBela DiriCinta Sekolah
Di balik wajah dingin dan tatapan tajamnya, Jeremiko menyimpan tekad yang tak banyak orang tahu: menghapus premanisme, bullying, dan kekerasan dari sekolahnya. Bersama gengnya, Zero Division, Miko berdiri membela siswa-siswa lemah yang selama ini dibungkam oleh ketakutan. Namun kebaikan tak selalu dipahami. Banyak yang menganggap Miko hanya pembuat onar, bukan penyelamat. Saat sisi gelap dunia sekolah mulai menunjukkan taringnya, Miko dan Zero Division harus memilih, mundur dan diam, atau melawan meski harus menjadi musuh semua orang.
Bab 1. Langkah Awal

Langkah-langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong sekolah yang sepi. Beberapa siswa buru-buru menyingkir ke samping, menunduk, pura-pura sibuk dengan sepatu mereka. Mereka tahu siapa yang akan lewat, dan tak ada yang cukup berani untuk menatapnya langsung.

Jeremiko. Seragamnya kusut, dasi longgar menggantung di leher, dan sepatu boots hitamnya menghantam lantai seperti peringatan. Tatapannya tajam, dingin, tak butuh kata-kata untuk membuat orang takut. Ia bukan guru, bukan penjaga sekolah. Tapi semua tahu, siapa pun yang menyentuh siswa lemah di sekolah, akan berurusan dengannya. Dan hari ini, Miko mencium bau kekacauan lagi.

Hujan rintik-rintik turun membasahi halaman belakang sekolah, tempat yang sudah lama dijadikan sarang geng 'No Name', geng paling brutal yang dipimpin oleh Diego, si penguasa bayangan. Di sanalah Jo dipaksa jongkok, uangnya diambil, wajahnya memar, bibirnya pecah. Tiga anak buah Diego mengelilinginya, menendang tasnya ke sana kemari sambil tertawa.

"Lo pikir bisa kabur dari kami cuma karena lo lapor ke guru? atau karena ayah Lo kaya raya?" salah satu dari mereka mengangkat Jo kasar dari kerahnya. "Anak kayak lo cuma pantas jadi bahan mainan."

Jo menggertakkan giginya. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang tak terbendung.

Lalu suara langkah sepatu berat terdengar—pelan, tapi pasti. Seperti suara yang tak asing bagi siapa pun yang pernah bermain kasar di sekolah ini.

"Lepaskan dia!"

Ketiganya menoleh. Di bawah cahaya remang sore, berdiri Miko, dengan tatapan dingin seperti biasa. Di belakangnya, Reinaldy menggulung lengan seragamnya, dan Satria menggelembungkan permen karet yang dimakannya seolah sedang bersiap untuk action.

"Apa lo mau ikut campur, Miko?" Diego muncul dari balik tembok, bersandar santai, tapi matanya menajam.

"Anak ini bukan urusan lo."

Miko tidak menjawab. Ia berjalan pelan mendekat, lalu menarik Jo perlahan dari genggaman mereka.

"Kalau lo nyentuh dia lagi," Miko berhenti sejenak, menatap Diego lurus. "Kita bakal ngelibas kalian semua!"

Hening. Lalu salah satu anak buah Diego menyerang duluan, dan itulah kesalahan fatal mereka.

Dalam hitungan detik, Reinaldy menjatuhkannya dengan kuncian cepat. Satria melemparkan helm ke satu lagi, tepat di perutnya. Miko berdiri di depan Jo, tak bergerak, tapi sorot matanya saja cukup untuk membuat satu siswa terakhir mundur perlahan.

Diego menyipitkan mata. “Kita belum selesai, Zero Division!”

Miko hanya menatap balik. "Kita belum mulai."

Di sekolah ini, semua orang tahu satu aturan tak tertulis, "Jangan cari masalah dengan mereka yang punya angka nol di belakang namanya!"

Zero Division.

Tiga orang siswa dengan reputasi gelap, ditakuti guru, dihindari siswa, dan dibenci oleh geng-geng berandal yang pernah berkuasa. Tapi bukan karena mereka suka membuat onar. Justru sebaliknya, mereka pemburu diam-diam bagi ketidakadilan yang selama ini ditutup-tutupi oleh sistem sekolah yang rapuh.

Jeremiko, si pemimpin. Pendiam, dingin, tapi sorot matanya bisa membuat siapa pun berhenti bicara. Miko tak pernah berbasa-basi, hanya bertindak. Di tangannya, keadilan bukan sekadar kata-kata.

Reinaldy, tangan kanan Miko.

Paling cepat naik darah, tapi juga paling setia. Satu-satunya yang bisa bertarung sambil tersenyum. Ia dikenal karena kekuatan pukulannya, dan karena tidak pernah membiarkan temannya disakiti. Dia anggota yang dikenal cukup ramah.

Satria, si otak di balik strategi.

Tenang, lihai, dan jeli membaca situasi. Satria jarang turun tangan langsung, tapi jika dia bergerak, maka itu berarti Zero Division serius.

Mereka bukan pahlawan di mata semua orang. Bahkan sebagian besar siswa menganggap mereka hanya geng lain yang lebih rapi menyembunyikan kekacauannya. Tapi bagi mereka yang pernah diselamatkan, Zero Division bukan cuma nama. Mereka adalah alasan kenapa ada harapan di sekolah ini.

Para guru sudah hafal dengan kelakuan mereka, tapi karena ayah Miko adalah sosok yang berpengaruh di sekolah itu, Miko masih bertahan di sekolah.

Jo masih gemetar saat mereka membawanya keluar dari lapangan belakang. Pipinya memar, dan sudut bibirnya mengucurkan darah tipis, tapi tatapannya kini bukan lagi ketakutan, melainkan tak percaya.

Mereka bertiga menyelamatkannya. Orang-orang yang selama ini hanya dia dengar dari bisik-bisik lorong sekolah.

Jo merogoh saku dalam jaketnya. Di sana masih ada segenggam uang tunai, uang yang tadi sempat hendak direbut Diego sebelum Miko muncul. Uang itu ia genggam erat, lalu diulurkan ke arah mereka.

"A-aku nggak tahu gimana caranya bilang makasih," Jo menunduk. "Ini bukan apa-apa dibanding yang kalian lakukan. Ambil aja! Buat apa kek."

Miko hanya menatap tangan Jo dingin, lalu memalingkan muka. Tak sepatah kata pun keluar.

Reinaldy tertawa kecil, melangkah maju. "Bro. Kita bukan tukang pukul bayaran."

Ia menepuk bahu Jo dengan santai, lalu menurunkan tangannya pelan. "Kita nggak ngelakuin ini buat uang. Kita cuma benci liat orang kayak lo diinjak-injak."

Satria menambahkan dari belakang, tanpa menoleh, "Kalau lo bener-bener mau terima kasih. Jangan jadi korban selamanya! Lo harus berani ngelawan."

Jo membeku. Tangannya yang masih menggenggam uang mulai menurun, gemetar. Entah karena malu, atau karena untuk pertama kalinya, dia merasa dihargai bukan karena kekayaan, tapi karena dirinya sendiri.

Langkah mereka berempat perlahan menyusuri lorong belakang sekolah. Hujan sudah berhenti, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara. Jo berjalan di belakang, sesekali menatap tiga sosok di depannya, berjalan tenang, seperti baru saja selesai dari jam pelajaran biasa, padahal baru saja menyelamatkan nyawanya.

Ia mengumpulkan keberanian.

“Hei!” suaranya pelan. “Kalian ini sebenernya siapa?”

Langkah Miko tidak melambat. Ia tetap menatap ke depan, diam seperti biasa.

Reinaldy justru tersenyum miring, melirik ke belakang. “Lo baru aja ditolong sama geng paling ribut di sekolah.”

Satria menambahkan dengan nada datar, “Atau yang paling banyak musuhnya.”

Jo mengerutkan kening. “Tapi kenapa kalian bantu aku? Kalian kan bisa aja cuek?”

Reinaldy berhenti sejenak. Ia menoleh dan menunjuk dada Jo. “Karena lo di posisi kita dulu. Pernah diinjak, dianggap remeh, dan nggak ada yang mau nolong.”

Jo menunduk. Napasnya tercekat.

Miko akhirnya menoleh sedikit, sekilas. Tatapannya tetap tajam, tapi ada sesuatu di baliknya, semacam pengakuan diam.

“Kita cuma tiga orang biasa. Tapi kalau tiga orang bisa bikin orang jahat takut, kenapa diem aja?”

Jo menatap mereka lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, dia melihat arti geng bukan dari kekuatan fisik, tapi dari keberanian berdiri ketika yang lain memilih membisu.

Dalam hati, Jo tahu dia ingin ikut jadi bagian dari itu. Ia sudah muak di bully karena dirinya yang lemah. Di katain anak papa, anak manja, anak kesayangan guru. Semua ocehan itu selalu melekat di telinganya hingga ia tidak bisa tenang dalam belajar sekolah. Jo berpikir, "Jika aku ikut ke dalam bagian mereka? Semua orang nggak akan berani menggangguku."

"Hei, Kalian! Bolehkah aku bergabung?"

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca