Kata Pembuka
Malam di Jakarta selalu punya cara untuk merangkulmu sekaligus mencekikmu. Cahaya lampu neon dari gedung-gedung pencakar langit memantul di genangan air di trotoar, menciptakan ilusi kota yang hidup, berdenyut. Di tengah hiruk-pikuk Jalan Thamrin, sebuah gedung kampus teknologi berdiri dengan tenang, hampir tak tersentuh oleh kegaduhan di luar. Institut Teknologi Nusantara, atau ITN, adalah rumah bagi para pemimpi—dan bagi Raka Pratama, malam ini adalah puncak dari mimpinya yang paling ambisius.Di dalam laboratorium fisika kuantum di lantai tujuh, udara terasa berat, bukan hanya karena kelembapan Jakarta, tapi juga karena antisipasi. Raka duduk di depan monitor, jari-jarinya menari di atas keyboard, matanya menyipit memeriksa deretan kode dan grafik yang berkedip.
Cahaya biru dari layar memantul di kacamatanya, membuatnya tampak seperti siluet dari film fiksi ilmiah. Di sudut ruangan, sebuah mesin aneh yang mereka panggil “Quantum Gate” berdengung pelan, seperti makhluk hidup yang sedang bernapas.Quantum Gate adalah ciptaan Raka dan timnya—kubus logam raksasa setinggi dua meter, dikelilingi oleh kabel-kabel tebal yang berputar-putar seperti sarang laba-laba futuristik.
Di permukaannya, panel-panel kecil memancarkan cahaya biru lembut, dan di dalamnya, inti kuantum yang mereka bangun selama dua tahun terakhir berdenyut dengan energi yang tak terlihat. Mesin ini adalah kunci untuk membuktikan teori gravitasi kuantum loop, sebuah hipotesis yang, jika benar, bisa mengubah cara manusia memahami ruang dan waktu.
“Raka, kamu yakin ini aman?” Lila Sari berdiri di samping Quantum Gate, tangannya menyentuh permukaan logam yang dingin. Gadis berusia 19 tahun itu mengenakan jaket hoodie kebesaran, rambut pendeknya diikat asal-asalan. Matanya penuh semangat, tapi ada keraguan di nadanya. Sebagai mahasiswa matematika, Lila terbiasa dengan kepastian angka, tapi mesin ini—dan eksperimen malam ini—merasa seperti lompatan ke jurang yang tak diketahui.
“Seaman eksperimen kuantum bisa,” jawab Raka, nadanya setengah bercanda. Dia menoleh sekilas ke Lila, lalu kembali ke layar. “Kita cuma mencoba menciptakan fluktuasi kecil di medan gravitasi. Bukan seperti kita membuka portal ke dimensi lain.”Dion Wijaya, yang duduk di sudut ruangan dengan laptop di pangkuannya, mendengus keras. “Itu yang kamu bilang sebelum server kita crash minggu lalu. Aku masih harus pulihkan tiga terabyte data gara-gara ‘eksperimen aman’mu itu.” Pria berusia 21 tahun itu mengenakan kaus hitam dengan logo band metal yang sudah pudar, rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Sebagai programmer jenius, Dion adalah otak di balik sistem kontrol Quantum Gate, tapi sikap sarkastiknya sering membuatnya bentrok dengan Raka.Raka memutar bola mata, tapi tidak membalas.
Dia terlalu fokus. Di sisi lain ruangan, Sari Wulandari duduk di sofa tua yang sudah berderit, sebuah buku psikologi terbuka di pangkuannya. Gadis berusia 20 tahun itu tampak tenang, tapi matanya terus melirik ke Quantum Gate dengan ekspresi sulit dibaca. “Kalian selalu bilang ‘sudah diperiksa’ sebelum sesuatu meledak,” katanya pelan, tanpa mengangkat pandang dari buku. “Aku cuma bilang, instingku bilang ini bukan ide bagus.”“Instingmu juga bilang pizza di kantin enak, dan kita semua tahu itu bohong,” canda Dion, membuat Lila terkikik dari sisi ruangan.Sari menghela napas panjang, menutup bukunya dengan gerakan pelan. “Aku serius. Kita main-main dengan sesuatu yang nggak kita pahami sepenuhnya.
Fisika kuantum, oke. Tapi ini… rasanya lebih besar dari cuma persamaan.”Raka mengabaikan mereka, jari-jarinya terus menari di keyboard. Dia sudah terlalu sering mendengar keraguan timnya, tapi dia yakin—tidah, dia harus yakin. Eksperimen ini adalah puncak dari dua tahun kerja keras, malam-malam tanpa tidur, dan ribuan baris kode yang ditulis ulang. Jika berhasil, ini bukan hanya mengubah dunia fisika—ini bisa membuktikan bahwa dia, seorang anak dari keluarga sederhana di Semarang, bisa mengguncang fondasi ilmu pengetahuan.
Latar Belakang Tim
Raka Pratama bukan tipe pemimpin yang karismatik. Dia cerdas, mungkin terlalu cerdas, tapi dia juga overthinker yang sering terjebak dalam labirin pikirannya sendiri. Sejak kecil, dia terobsesi dengan fisika, terutama gagasan bahwa alam semesta adalah teka-teki raksasa yang bisa dipecahkan. Dia masuk ITN dengan beasiswa penuh, tapi tekanan untuk membuktikan dirinya di antara anak-anak kaya Jakarta sering membuatnya merasa seperti orang asing.
Quantum Gate adalah caranya untuk membuktikan bahwa dia layak berada di sini.Lila, di sisi lain, adalah kebalikan dari Raka. Dia melihat dunia sebagai permainan matematika yang besar, di mana setiap masalah punya solusi yang elegan. Dia bergabung dengan tim Raka karena tertarik pada persamaan di balik Quantum Gate, tapi juga karena dia bosan dengan rutinitas kuliah yang monoton.
Lila punya energi yang menular, tapi kadang impulsif—dia sering bertindak sebelum berpikir, sesuatu yang sering membuat Raka kesal.Dion adalah orang yang paling sinis di tim, tapi juga yang paling pragmatis. Dia tidak peduli dengan “mengubah dunia” seperti Raka; baginya, Quantum Gate hanyalah proyek keren yang bisa ditambahkan ke portofolionya. Sebagai programmer, dia menghabiskan ratusan jam untuk memastikan sistem operasi mesin stabil, tapi dia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyindir Raka. Di balik sikapnya yang acuh, Dion punya loyalitas yang tersembunyi—dia tidak akan pernah mengakuinya, tentu saja.Sari adalah teka-teki bagi yang lain. Sebagai mahasiswa psikologi, dia bergabung dengan tim untuk mempelajari dinamika kelompok di bawah tekanan, tapi intuisinya sering terasa hampir supernatural. Dia jarang berbicara tentang masa lalunya, dan ada saatnya Raka memergokinya menatap Quantum Gate dengan ekspresi yang penuh rahasia. Sari adalah perekat tim, yang selalu menenangkan konflik saat ketegangan meningkat, tapi dia juga menyimpan sesuatu yang tidak dia ceritakan kepada siapa pun.
Menuju Eksperimen
Laboratorium itu sendiri adalah cerminan dari kekacauan kreatif tim mereka. Dindingnya dipenuhi dengan papan tulis yang penuh coretan persamaan, beberapa di antaranya ditulis dengan spidol yang sudah nyaris habis. Meja-meja bertebaran dengan komponen elektronik, cangkir kopi kosong, dan tumpukan kertas dengan catatan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri.
Di sudut, sebuah poster Albert Einstein memandang dengan ekspresi setuju—orang-orang di tim sering bercanda bahwa Einstein adalah “anggota tim kelima” mereka.Raka mengecek ulang data di layar untuk kesekian kalinya. Grafik menunjukkan bahwa semua variabel sesuai dengan prediksi: energi kuantum stabil, medan magnetik terkendali, dan algoritma sinkronisasi berjalan lancar. Dia telah menghitung ulang persamaan ratusan kali, memastikan tidak ada kesalahan. Quantum Gate dirancang untuk menciptakan fluktuasi kecil dalam medan gravitasi—cukup untuk membuktikan bahwa ruang dan waktu bisa dimanipulasi pada skala kuantum. Jika berhasil, ini bisa menjadi langkah pertama menuju teknologi yang tak terbayangkan: teleportasi, perjalanan waktu, atau bahkan manipulasi realitas itu sendiri.
“Baik, kita mulai,” kata Raka, jari-jarinya melayang di atas tombol “Run.” Dia menoleh ke timnya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Siap?”Lila mengangguk antusias, matanya berbinar seperti anak kecil yang akan membuka hadiah. Dion mengangkat bahu, tapi jari-jarinya tetap di atas keyboard, siap memantau sistem. Sari menutup bukunya dengan gerakan pelan, lalu berdiri dan menatap Raka dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku siap,” katanya akhirnya. “Tapi kalau kita mati, aku akan menghantui kalian semua.”Raka tersenyum tipis, lalu menekan tombol.
Kecelakaan
Awalnya, tidak terjadi apa-apa. Hanya dengung mesin yang semakin keras, seperti detak jantungan yang perlahan naik. Cahaya biru dari Quantum Gate mulai berkedip, dan udara di ruangan terasa… bergetar, seperti saat kamu berdiri terlalu dekat dengan speaker raksasa. Raka memandai layar, jantungannya mulai cepat. Grafik menunjukkan peningkatan energi yang stabil, sesuai dengan prediksi.Lalu, tiba-tiba, sesuatu berubah.
Layar menunjukkan lonjakan energi yang tidak masuk akal—ribuan kali lebih besar dari yang mereka kalkulasi. Grafik melonjak liar, seperti detak jantung yang panik. Raka, ini apa?!” teriak Lila, mundur dari mesin.“Ini… ini tidak seharusnya—” Raka bergegas ke panel kontrol, tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, ruangan bergetar hebat. Cahaya dari Quantum Gate berubah dari biru lembut menjadi ungu menyengat, menyilaukan mata mereka. Sebuah retakan aneh muncul di udara—bukan di kaca atau dinding, tapi di ruang itu sendiri, seperti realitas sedang robek. Retakan itu berimbau, seperti campuran ozon dan sesuatu yang… asing.“Matikan! Matikan sekarang!” teriak Sari, suaranya nyaris tenggelam dalam deru mesin. Raka tangannya bergerak ke tombol darurat, tapi terlambat.
Retakan itu melebar, memancarkan cahaya yang tidak hanya terlihat, tapi juga terasa—seperti tekanan di dada, seperti pening yang memaksa otak memahami sesuatu yang tak mungkin.Dion melompat dari kursinya, laptopnya jatuh ke lantai. “Apa-apaan ini, Raka?!”“Aku nggak tahu!” teriak Raka, panik untuk pertama kalinya. Dia mencoba menekan tombol darurat, tapi panel kontrol tidak merespons. Layar sekarang hanya menunjukkan deretan error dalam huruf-huruf yang mulai berubah bentuk, seperti tulisan yang meleleh. Cahaya ungu itu menyelimuti mereka, dan Raka merasakan tarikan kuat, seperti ditarik ke dalam pusaran air yang tak terlihat.Lila berpegangan pada Quantum Gate, rambutnya beterbangan seolah ada angin kencang. “Raka, lakukan sesuatu!”Sari, bantu aku!” teriak Raka, mencoba menarik Sari yang terdetik lebih dekat ke retakan.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, dunia menghilang. Cahaya ungu meneliputi segalanya, dan kemudian—tidak ada apa-apa.
Dimensi Ke-4Raka terbangun dengan kepala pening dan mulut yang terasa seperti pasir. Dia terbaring di permukaan yang aneh—bukan lantai, bukan pula tanah, tapi sesuatu yang lentur, seperti berjalan di atas awan yang padat. Udara di sini terasa berbeda, lebih tebal, seperti menghisap napas di dalam air. Dia memaksa matanya terbuka, dan apa yang dilihatnya membuat jantungannya berhenti sejenak.Sekelilingnya adalah pemandangan yang tidak masuk akal. Dinding-dinding melengkung dengan sudut yang mustahil, seperti lukisan M.C. Escher yang menjadi nyata. Tangga-tangga mengarah ke langit-langit yang tidak ada, hanya untuk melingkar kembali ke bawah dalam pola yang membingungkan. Di kejauan, cakrawala tampak seperti spiral yang berputar pelan, dengan warna-warna yang tidak bisa dia deskripsikan—bukan merah, bukan biru, tapi sesuatu di antaranya, sesuatu yang membuat matanya perih.
“Lila? Dion? Sari?” panggilnya, suaranya bergema aneh, seperti berbicara di dalam gua yang tak berujung. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan.Dia bangkit perlahan, mencoba menenangkan pikirannya. Sebagai fisikawan, Raka terlatih untuk mencari logika di balik kekacauan. “Oke… ini… ini mungkin anomali dimensional,” gumamnya pada diri sendiri. “Quantum Gate mungkin membuka celah ke ruang yang lebih tinggi. Mungkin… dimensi ke-4.”Tapi bahkan saat dia mengatakan itu, dia tahu teorinya hanya setengah benar. Dimensi ke-4, dalam teori, adalah ruang abstrak di mana waktu bisa menjadi dimensi spasial, di mana ruang dan waktu bercampur dalam cara yang tidak bisa dipahami otak manusia. Tapi ini bukan hanya teori. Ini nyata. Dia di sini di sini.“Aku di sini!” suara Lila memecah keheningan. Raka berbalik dan melihatnya muncul dari balik struktur geometris yang menyerupai kubus—tapi sisinya terus berubah bentuk, seperti origami yang dilipat dan dibentuk ulang oleh tangan tak terlihat. Lila tampak pucat, tapi matanya penuh semangat. “Raka, ini apa? Kita di mana?!”“Kurang tahu,” akau Raka, mencoba tetap tenang. “Tapi ini bukan dunia kita.”Dion muncul dari arah lain, wajahnya lebih pucat dari biasanya. “Kalau ini mimpi, aku ingin bangun sekarang,” katanya, nadanya setengah bergurau tapi penuh ketegangan. Dia memungut laptopnya, yang entah bagaimana masih utuh, dan mulai mengetik.
“Sistem masih hidup, tapi… tidak ada sinyal. Tidak ada apa-apa.”Sari berjalan perlahan di belakang Dion, memegang kepalanya seperti orang linglung. “Ini bukan mimpi,” katanya pelan. “Rasanya… terlalu nyata. Tapi salah. Semuanya salah.”Raka menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur pikirannya. “Dengar, kita mungkin tersedot ke dalam anomali dimensional. Quantum Gate entah bagaimana membuka celah, dan kita sekarang berada di ruang yang lebih tinggi—mungkin dimensi ke-4.”“Dimensi ke-4?” Dion menatapnya skeptis. “Maksudmu, seperti waktu? Atau apa?”“Bukan cuma waktu,” jawab Raka, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan sulit baginya. “Dimensi ke-4 adalah ruang di luar tiga dimensi yang kita kenal—panjang, lebar, tinggi. Di sini, ruang dan waktu bisa bercampur, menciptakan efek… seperti ini.” Dia menunjuk ke arah kubus yang sekarang melayang di udara, berputar sendiri dengan sisi-sisi yang terus berubah bentuk.Lila menarik napas dalam-dalam, matanya berbinar.
“Jadi, kita terjebak di tempat yang nggak masuk akal. Keren! Sekarang apa?”Sebelum Raka bisa menjawab, sebuah suara bergenga—bukan dari arah tertentu, tapi seolah dari dalam pikiran mereka. “Selamat datang, para pengembara,” kata suara itu, dalam dan berwibawa, seperti gema dari ruang kosong. “Aku adalah Penjaga Dimensi. Kalian telah melanggar batas ruang dan waktu. Untuk kembali, kalian harus melewati ujianku.”Raka menelan ludah, jantungannya kembali berpacu. “Ujian apa?”“Ujian kecerdasan, keberanian, dan jiwa,” jawab suara itu. “Setiap ujian akan mengukur kemampuan kalian untuk memahami dan bertahan di dimensi ini. Gagal, dan kalian akan menjadi bagian dari dimensi ini… selamanya.”Sari mundur selangkah, wajahnya pucat. “Bagian dari dimensi ini? Maksudnya apa?”Suara itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, udara di depan mereka mulai bergoyang, seperti permukaan air yang diganggu.
Sebuah struktur muncul—sebuah pintu raksasa, terbuat dari bahan yang tampak seperti kaca cair, dengan simbol-simbol geometris yang berputar di permukaannya. Di depan pintu, sebuah platform kecil melayang, dan di atasnya terdapat sesuatu yang membuat Raka mengerutkan kening: sebuah puzzle tiga dimensi yang kompleks, dengan bagian-bagian yang bergerak seperti roda gigi.“Ini adalah Ujian Pertama,” kata Penjaga Dimensi. “Pecahkan teka-teki ini untuk membuka pintu. Waktu kalian… tidak linier. Mulai sekarang.”
Teka-teki Pertama
Raka mendekati platform dengan hati-hati, matanya menyusuri puzzle itu. Objek di depannya adalah bola logam besar, tapi permukaannya dipenuhi oleh panel-panel kecil yang terus bergerak, membentuk pola-pola geometris yang kompleks. Setiap kali dia mencoba fokus pada satu pola, pola lain muncul di sisi lain, seperti teka-teki yang menolak untuk dipecahkan.“Kita harus cari pola,” kata Raka, nadanya kembali ke mode analitisnya. “Ini pasti ada logikanya.”Lila mendekat, matanya berbinar. “Ini seperti persamaan diferensial bergerak! Aku suka tantangan!” Dia mulai mencatat di udara dengan jarinya, seolah menulis persamaan tak terlihat. “Kalau kita anggap setiap panel adalah variabel—”“Kalau kita salah, apa yang terjadi?” potong Dion, nadanya penuh skeptisme. “Kita nggak tahu apa yang ‘penjaga’ ini rencanakan. Mungkin salah satu panel itu meledakkan kita.”“Sari, apa pendapatmu?” tanya Raka, menyadari bahwa Sari masih diam.Sari menatap pintu itu, matanya menyipit.
“Ini… rasanya seperti tes. Bukan cuma logika. Ada sesuatu di balik ini. Sesuatu yang mengamati kita.”“Bagus, sekarang kita punya teka-teki dan paranoia,” kata Dion, tapi nadanya sedikit lebih lembut. Dia membuka laptopnya dan mulai mengetik, mencoba mencari pola dengan algoritma yang dia tulis. “Oke, aku coba scan pola-pola ini. Mungkin ada urutan.”Raka kembali ke puzzle, mencoba mengabaikan tekanan yang mulai terasa di dadanya. Dia menyentuh salah satu panel, dan bola itu bergetar pelan, seperti merespons sentuhannya. Panel-panel mulai bergerak lebih cepat, membentuk pola baru yang lebih rumit. “Oke, kita coba atur panel ini berdasarkan simetri,” katanya, mencoba tetap tenang. “Lila, bantu aku hitung jumlah panel di setiap sisi.”Lila mengangguk dan mulai menghitung dengan cepat, mulutnya bergerak pelan saat dia menggumamkan angka-angka. “Ada 64 panel… tidak, tunggu, 128.
Mereka berlipat ganda!”Sementara itu, Dion mengetik dengan cepat, wajahnya mengerut. “Algoritmaku nggak bisa ikut. Pola ini… ini berubah terlalu cepat. Ini bukan cuma matematika. Ini seperti… permainan.”Sari mendekati pintu, tangannya hampir menyentuh permukaan kaca cair itu. “Ini bukan permainan,” katanya pelan. “Ini tes. Penjaga ini ingin tahu siapa kita. Apa yang kita mau.”Raka menoleh ke arahnya, bingung. “Maksudmu apa?”Sebelum Sari bisa menjawab, udara di sekitar mereka bergetar lagi. Dari bayangan-bayang di dinding-dinding melengkung, sesuatu muncul—makhluk yang tidak bisa mereka lihat dengan jelas, tapi terasa seperti bayangan yang hidup. Mereka bergerak seperti asap, dengan mata-mata merah yang menyuntik di dalamnya.“Apa itu?!” teriak Lila, mundur ke belakang Raka.“Jaga puzzle ini!” teriak Raka, mencoba tetap fokus.
“Aku s, aku pikir mereka menyerang kalau kita terlalu lama!”Dion mengumpat pelan dan, tapi tetap mengetik. “Oke, aku dapat sesuatu! Pola ini mengikuti deret Fibonacci, tapi terbalik. Kita harus atur panel sesuai urutan itu!”Raka dan Lila bekerja sama, menggerakkan panel-panel dengan hati-hati, sementara Sari berdiri di depan pintu, mencoba menahan ketakutannya saat bayangan-bayang itu semakin dekat. “Cepat!” teriaknya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Raka akhirnya berhasil mengatur panel terakhir. Bola itu bergetar hebat, lalu berhenti. Pintu di depan mereka terbuka dengan suara mendesis, memancarkan cahya lembut yang mengundang.“Ujian Pertama selesai,” kata Penjaga Dimensi. “Tapi ini hanya permulaan. Masuklah… jika kalian berani.”Raka menatap pintu itu, jantungannya berdetak kencang. Dia menoleh ke timnya—Lila, yang tersenyum meski pucat; Dion, yang mengumpat sambil memungut laptopnya; dan Sari, yang menatap pintu dengan ekspresi penuh rahasia.“ Kita nggak punya pilihan,” kata Raka akhirnya. Dia melangkah maju, dan yang lain mengikuti, masuk ke dalam cahaya yang tak terbayangkan.