Devin menoleh sekilas ke arah gerbang besar yang di atasnya ada plakat bertuliskan ‘Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kertawira’.
Dia kembali berjalan menyusuri jalan beraspal memikirkan hidupnya sekarang. Enam bulan lamanya di dalam LPKA melalui proses persidangan, dijatuhi hukuman, banding dan akhirnya bebas.
Pengadilan menyatakan Devin tidak bersalah tapi dia tahu di pundaknya sudah ada cap narapidana.
Devin tidak melakukan kejahatan tapi pelaku aslinya belum ditemukan. Devin menghembuskan napas berat. Hidupnya sulit tapi Yuda direnggut nyawanya.
Devin tidak dekat dengan Yuda. Dia hanya sesekali berbicara dengan teman kelas pendiamnya itu. Tiba-tiba, Yuda ditemukan meninggal di dalam kamar mandi dengan batang pel menancap di perutnya.
Kebetulan Devin dan Yuda sempat mengobrol tentang kerja kelompok bersama sepulang sekolah.
Karena kebetulan itu ditambah kesaksian ketiga sahabat Devin yang mengaku Devin sering membully Yuda, Devin menjadi tersangka utama.
Padahal sahabat Devin tahu kalau rencana kerja kelompok itu batal karena Devin ingin membantu sahabatnya membersihkan lapangan basket.
Semua orang menuduhnya tanpa tahu kebenaran. Cocoklogi mulai bermunculan. Pantas Yuda yang tidak punya teman sering mengekori Devin. Pantas Yuda yang pendiam selalu menuruti ucapan Devin.
Devin bahkan tidak tahu kalau orang-orang menilai sikap Yuda kepadanya seperti itu.
Devin si peringkat pertama, andalan tim basket, idola para perempuan dan kesayangan para guru, seketika menjadi pembunuh.
Belum cukup hancur, saat keluarga Devin berjuang membelanya di pengadilan, rumahnya kebakaran dan orang tuanya yang terjebak di dalam rumah, meninggal karena kekurangan oksigen.
Bengkel ayahnya dan beberapa cabang yang dimiliki bahkan rumah yang terbakar itu diambil oleh adik ayahnya.
Sementara Dena, adik Devin satu-satunya dikirim ke desa untuk hidup bersama kakak ibunya.
Satu-satunya tempat yang bisa Devin datangi sekarang adalah rumah masa kecil yang ada di pinggiran kota.
Devin mengecek dompetnya. Hanya ada 20 ribu. Uang ini adalah sisa jajannya di hari saat dia ditangkap oleh polisi.
Untungnya LPKA yang terletak di pinggir kota tidak jauh dari rumahnya.
Setelah berjalan sepuluh menit, Devin memasuki lorong. Rumah ketiga dari depan lorong adalah rumah gubuk yang terbuat dari kayu.
Pekarangannya dipenuhi rumput yang tinggi. Daun dan debu berserakan di teras. Jaring laba-laba menggantung di dinding.
Devin merogoh kunci dari sakunya, membuka pintu yang menimbulkan derit menganggu.
Kunci ini diberikan oleh ketua RT di rumah lama Devin yang kebakaran. Karena tahu Devin tidak punya rumah setelah keluar dari penjara, dia secara khusus meminta orang membuatkan kunci untuk Devin. Untung saja pintu rumah ini sudah lapuk jadi mudah untuk mengganti kuncinya.
Bahkan ketua RT Devin lebih baik dari saudara orang tuanya.
Saat membuka pintu, ada satu dos besar di ruang tamu. Devin membukanya. Ada beberapa baju, sepatu, tas dan seragam sekolah.
Devin yakin ini dari ketua RTnya. Semua baju dan barang-barang Devin habis dilalap api, tanpa baju ini mungkin dia tidak akan bisa masuk sekolah besok.
Ya, besok adalah hari pertama tahun ajaran baru. Devin diizinkan kembali ke SMA 1 Kertawira tapi dia harus mengulang tahun.
Devin bisa masuk sekolah lain dan memulai hidup baru tanpa bayang-bayang orang yang mengenal masa lalunya.
Tapi Devin tidak ingin melarikan diri. Dia akan mencari tahu siapa pembunuh Yuda sebenarnya.
Untuk saat ini, itu urusan belakang. Devin harus membersihkan rumah yang setiap sudutnya dipenuhi debu.
Sebelum itu, Devin menyimpan baik-baik baju ke dalam dos agar tidak kena debu.
Rumah kayu beralaskan lantai semen itu terlihat lebih bersih setelah matahari tenggelam. Devin berbaring di dipan tanpa kasur. Hanya selimut pemberian pak RT yang dia pakai sebagai alas.
Dia merasa lapar tapi uangnya tinggal 20 ribu. Lebih baik menyimpan uang ini untuk sarapan besok pagi.
Devin mengeluarkan baju seragamnya. Mencoba meluruskan bekas lipatan baju lalu meletakannya di atas dos yang sudah dia pastikan bersih.
Kalau lampu tidak menyala, Devin akan berpikir dia kembali ke jaman dulu. Dia benar-benar hidup tanpa apa-apa.
Menutup hari yang berat, Devin memejamkan mata, berusaha mengusir rasa lapar.
...
Langit masih gelap saat Devin sudah bangun untuk mandi dan siap-siap ke sekolah. Kalau jalan kaki, Devin harus menempuh perjalanan selama satu jam. Makanya Devin harus berangkat lebih cepat.
Di depan lorongnya ada penjual nasi kuning. Dulu saat masih kecil, depan lorongnya masih dipenuhi sawah.
Dia tinggal di rumah ini sampai berumur 8 tahun. Usaha bengkel ayahnya yang sukses membuat mereka pindah ke rumah di pusat kota.
Mereka mengunjungi rumah ini satu atau dua kali setahun. Ayah dan ibunya selalu memastikan rumah ini terawat.
Walaupun kotor dan berdebu karena tidak diurus selama enam bulan, rumahnya masih kokoh.
Devin membeli nasi kuning seharga 5 ribu dengan porsi yang tidak mengenyangkan. Hanya memenuhi seperempat perut Devin.
Daerah pinggiran kota masih sejuk dan minim polusi apalagi sekarang pagi hari tapi setelah memasuki jalanan kota, keramaian mulai terasa.
Devin akhirnya sampai di depan sekolah yang menghancurkan hidupnya, SMA 1 Kertawira. SMA terbaik di kota Kertawira.
Kebanyakan orang-orang berpengaruh di kota kecil ini adalah lulusan SMA 1. Dengan donasi mereka, SMA 1 Kertawira memiliki fasilitas yang lengkap dan bagus untuk ukuran SMA di kota kecil.
Devin langsung menuju papan pengumuman pembagian kelas. Belum banyak orang yang datang. Papan pengumuman masih lengang.
Devin mencari namanya dan menemukan dirinya masuk kelas 10-B. Devin tertawa sinis. Kelas ini adalah kelas lamanya.
Tak seperti murid kelas satu yang bingung mencari kelas, Davin langsung tahu letak kelasnya.
Kelas satu terletak di bagian belakang, dekat lapangan, aula dan ruangan lab. Anak kelas satu biasanya masuk lewat gerbang belakang karena lebih dekat ke kelas mereka.
Melewati koridor yang tidak asing, darah Devin berdesir. Campuran rindu dan kemarahan.
Saat memasuki kelas, ruangan tampak lengang. Hanya ada seorang gadis berkacamata duduk di bangku kedua dekat jendela.
Gadis itu menoleh sekilas lalu fokus pada ponselnya, tampak tidak niat beramah-tamah pada teman kelas baru.
Devin berjalan ke arah si gadis. Makin dekat, si gadis akhirnya mendongak. Dan ketika Devin duduk di sampingnya, mulut gadis itu membentuk huruf O.
“Aku suka di bangku dua,” gumam Devin menoleh pada si gadis yang masih terkejut.
Devin memang tidak punya niat lain. Dulu dia duduk di bangku kedua dan sekarang dia juga duduk di bangku yang sama karena suka.
“I-iya.” Si gadis akhirnya kembali menatap ponsel.
Tapi Devin belum selesai. “Oh yah, kenalkan namaku Devin Baskara, panggil saja Devin.”
Si gadis menoleh dengan ekspresi terpaksa. “H-hai. Namaku Kayla.”
Melihat ekspresi teman sebangkunya, Devin memilih tidak bertanya lebih lanjut. Walau dia penasaran kenapa Kayla datang secepat ini ke sekolah.
...