Hidup Rei Alvarion selalu terasa biasa. Terlalu biasa, hingga kadang ia berpikir dunia ini sedang bercanda. Ia tinggal di panti asuhan tua, kuliah di jurusan teknik yang tak pernah benar-benar ia sukai, dan bekerja paruh waktu sebagai pengantar makanan. Hari-harinya berputar seperti roda tanpa arah. Sampai malam itu tiba.
Langit pecah.
Bukan karena badai, bukan pula karena petir. Tapi benar-benar retak—seperti cermin raksasa yang dihantam dari dalam. Cahaya ungu menyala dari retakan itu, membelah langit malam Jakarta yang kelabu.
Rei berdiri di tengah jalan, motornya terhenti, paketnya masih tergantung di punggung. Orang-orang di sekitarnya menatap ke atas dengan wajah bingung dan takut. Namun hanya Rei yang mendengar suara itu.
> "Engkau... terpilih."
Suara itu tak datang dari luar. Ia bergema di dalam pikirannya. Dalam. Lembut. Kuat. Suara itu membuat bulu kuduknya merinding.
Tiba-tiba, sebuah cahaya merah meluncur dari celah langit, menuju Rei dengan kecepatan tak terukur. Ia bahkan tak sempat bergerak saat cahaya itu menembus dadanya dan—
BOOM.
Tubuhnya terangkat ke udara. Tidak, bukan terlempar—tapi ditarik. Udara di sekitarnya bergemuruh. Waktu seakan berhenti. Rei menjerit, bukan karena sakit, tapi karena segala yang ia tahu tentang realitas… hancur seketika.
Lalu semuanya menjadi putih.
---
Ia terbangun di tempat yang mustahil.
Sebuah singgasana emas menjulang di tengah pulau yang melayang di langit. Awan mengalir perlahan di bawahnya, langit di atasnya berwarna ungu, dihiasi bintang-bintang yang bergerak seperti tarian angin.
Di hadapannya, lima wanita berlutut, masing-masing dengan aura memukau dan pakaian khas dunia fantasi.
Yang pertama, seorang elf tinggi dengan rambut merah menyala dan mata seperti bara api. Bajunya adalah jubah sihir yang terbuka di bagian dada, memperlihatkan belahan yang dalam. Ia menatap Rei tajam, seperti menilai.
"Namaku Arielle Vermion, penyihir agung dari Elvardra. Aku akan menjadi tangan kananmu… dan jika kau izinkan, juga pelindung tidurmu."
Yang kedua, seorang gadis bertelinga kucing dengan rambut perak dan mata kuning. Ia mengenakan pakaian ringan, lebih mirip pejuang jalanan, dan ekornya bergoyang santai di belakang.
"Lyra, anak jalanan dari Klan Beastkin. Aku tidak suka tunduk, tapi kau... rasanya menarik. Jangan macam-macam ya."
Yang ketiga, seorang wanita berdarah iblis. Rambutnya hitam pekat, kulitnya pucat, dan dua tanduk kecil melengkung di dahinya. Senyumnya tipis namun menggoda.
"Seraphine Noctis, Putri Kegelapan. Dunia ini kelak milikmu. Dan tubuhku… milikmu juga, kalau kau mau."
Rei menelan ludah.
Wanita keempat tampak sangat berbeda. Berpakaian seperti pendeta, berambut pirang lembut, dan mengenakan jubah putih dengan kalung salib bergaya dunia lain. Ia tersenyum ramah.
"Aku Mira Solenne, dari Gereja Cahaya. Meski aku tidak paham kenapa seorang pria muda menjadi pemilik dimensi, aku percaya takdir Tuhan tak pernah salah."
Dan yang terakhir… seorang wanita mekanik. Kulitnya pucat keperakan, matanya bersinar biru, dan rambutnya putih seperti salju. Ia bicara dengan suara datar, seperti robot.
"Eirene, model A-RX900. Diprogram untuk melindungi Pemilik Dimensi. Status: Loyal. Emosi: Belum terdefinisi."
Rei hanya bisa diam.
Kelima wanita itu berlutut di depannya, seolah sudah tahu siapa dia. Namun yang lebih mengejutkan, di belakang mereka, puluhan portal bercahaya mulai terbuka—masing-masing menunjukkan dunia berbeda: gurun, laut langit, kastil terapung, reruntuhan berapi, dan hutan hitam.
> "Selamat datang, Pemilik Dimensi," suara itu bergema lagi, kali ini dari langit. "Engkau adalah pewaris dari kekuatan purba. Dengan itu, engkau dapat melintasi dunia-dunia. Menaklukkan, membentuk, atau menghancurkan... semua terserah padamu."
> "Namun, setiap dimensi punya penguasa. Dan mereka tidak akan menyerahkan wilayah mereka begitu saja."
Rei perlahan bangkit dari duduknya. Tangannya terbuka secara otomatis, dan cahaya membentuk sebuah pedang hitam panjang, dengan ukiran runik di seluruh bilahnya. Di sekelilingnya, angin berputar seperti pusaran energi.
"...Kenapa aku?" gumamnya.
Seraphine menjawab cepat, "Karena kau satu-satunya yang bisa memikul beban ini. Dan karena kami memilihmu."
Arielle menambahkan, "Jangan salah paham. Kami bukan sekadar pengikut. Kami adalah penguasa dunia kami masing-masing. Tapi kini kami tunduk padamu."
Lyra tertawa kecil. "Atau mungkin... kami hanya ingin tahu apakah kau bisa menaklukkan kami juga."
Rei menatap mereka satu per satu. Cantik. Mempesona. Kuat. Dan semua ini… nyata.
"Aku... tidak tahu harus berkata apa," katanya akhirnya. "Tapi kalau dunia ini butuh pemilik... dan kalian memilihku... maka aku akan belajar menjadi layak."
Mira tersenyum lembut. "Itu awal yang baik."
Eirene mengangguk kaku. "Konfirmasi: Komitmen diterima."
Rei menatap pedangnya, lalu ke langit yang retak di atas. Dunia demi dunia menanti. Musuh, tantangan, kekuatan... dan cinta?
Satu hal yang ia tahu pasti:
Hidupnya tak akan pernah biasa lagi.