Senja itu berwarna besi. Langit kota diselimuti kabut asap dan bau logam terbakar. Di ujung pelabuhan tua yang tak lagi tercatat dalam peta hukum, langkah-langkah kaki menyatu dengan gemuruh ombak dan suara tembakan yang baru saja berhenti.
Di tengah geladak kontainer yang penuh noda darah, seorang pria berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi, matanya menatap kosong ke tubuh yang tergeletak tak bernyawa di bawah kakinya.
Ia menghapus pisau kecil dari saku dalam jas hitamnya, menyekanya perlahan dengan sapu tangan putih, lalu memasukkannya kembali ke balik jaket.
Namanya Elvano.
Dan itu adalah pembunuhan ke-17 dalam daftar dendam yang belum selesai.
---
Dunia tidak tahu siapa dia. Nama Elvano hanya beredar sebagai rumor dalam lorong-lorong mafia, disebut dengan nada berbisik dan rasa takut yang ditelan. Tidak ada foto, tidak ada sidik jari, tidak ada catatan sipil.
Ia adalah bayangan. Mata-mata. Algojo. Dan dalam jaring besar mafia yang menjalar dari pelabuhan sampai gedung pencakar langit, Elvano adalah legenda yang diciptakan oleh kematian.
Namun, tak ada yang tahu: Elvano bukan hanya bayangan. Ia adalah darah terakhir dari keluarga Gavrielle—klan mafia kuno yang dihancurkan secara brutal oleh pengkhianatan dari dalam.
Dan sejak malam pembantaian itu, sepuluh tahun lalu, Elvano tidak pernah tidur nyenyak.
Ia menghilang. Dihapus dari dunia. Lalu muncul kembali dengan satu tujuan: menghancurkan mereka satu per satu.
---
Malam itu, Elvano menaiki motornya dan melaju ke arah pusat kota Mekravia, kota besar penuh korupsi yang berdiri di atas uang gelap. Ia menyusuri jalan-jalan sempit di sisi utara, tempat kehidupan malam bersandar pada pemilik kekuasaan.
Ia berhenti di depan sebuah bar tua yang tak punya nama, hanya tanda neon bergambar anjing hitam. Dari luar, tempat itu terlihat sepi. Tapi di dalam, lorong bawah tanahnya menyimpan informasi yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Seorang pria tua berdiri di depan pintu. Matanya buta sebelah, tapi ia mengenali Elvano hanya dari suara langkah.
“Lima hari,” gumam pria itu. “Kau cepat kali menyelesaikan targetmu.”
Elvano tak menjawab. Ia hanya menatap lurus, lalu berjalan masuk ke lorong sempit yang menurun ke ruang bawah tanah.
Di dalam, seorang wanita muda menunggu. Berambut perak, mengenakan kemeja putih kebesaran dan sepatu bot tempur. Namanya Kye, informan terbaik Elvano.
Ia mengangkat alis saat Elvano duduk di kursi kayu berkarat.
“Bos besar dari keluarga Remieux sudah kembali ke Mekravia,” ucap Kye, langsung to the point. “Namanya Mason Remieux. Dia yang terakhir di daftar Gavrielle.”
Elvano menatap sejenak. Tak ada reaksi di wajahnya.
Kye menggeser map ke arahnya. “Dia akan menghadiri pernikahan politik minggu depan. Pernikahan putrinya... dengan calon pemimpin parlemen.”
Elvano membuka map itu perlahan. Foto seorang pria tua dengan jas putih dan tatapan angkuh. Di sampingnya, seorang gadis muda dengan senyum tipis—putrinya.
“Elvano... kau yakin mau lanjut?” suara Kye lebih pelan sekarang. “Kau sudah menghancurkan 16 orang. Ini yang terakhir. Tapi ini juga... bisa membuka semua pintu yang selama ini kau tutup.”
“Elvano Gavrielle mati di malam itu,” ucapnya dingin. “Yang tersisa hanya bayangannya.”
“Dan bayangan itu akan membunuh Mason?”
Elvano menutup map itu. “Aku tak ingin membunuh.”
Kye menatapnya, bingung.
“Aku ingin dia tahu... semua yang dia punya, akan kuambil. Dan dia akan hidup cukup lama untuk melihatnya runtuh.”
---
Keesokan harinya, Elvano duduk di balkon apartemen tingginya, menatap kota yang tidak pernah tidur. Gedung-gedung menjulang seperti kuburan impian. Di tangannya, secarik kertas tua yang telah lusuh, berisi tulisan tangan ayahnya—pemimpin keluarga Gavrielle terakhir.
"Jangan balas dendam, Van. Kalau kamu hidup hanya untuk itu, maka kamu sudah mati bahkan sebelum peluru pertama ditembakkan."
Tapi Elvano tahu, ia bukan lagi anak lelaki yang mendengarkan nasihat.
Ia adalah hasil dari pengkhianatan. Dan darah terakhir dari Gavrielle tidak boleh mengering sebelum semua selesai.
---
Hari berlalu cepat. Informasi demi informasi dikumpulkan. Elvano mengamati setiap pergerakan Mason Remieux dari bayangan.
Lalu hari itu tiba.
Pernikahan anak Mason berlangsung di ballroom hotel megah yang dikawal ketat oleh puluhan pasukan pribadi. Tapi Elvano sudah meretas sistem keamanan dari dua hari sebelumnya. Ia menyelinap masuk bukan sebagai tamu, tapi sebagai staf pelayan dari perusahaan katering.
Ia menyisir ruangan, bukan untuk membunuh, tapi untuk melihat dengan matanya sendiri: pria yang menghancurkan hidupnya kini berdansa di lantai emas, tertawa dengan segelas anggur di tangan, seolah tidak pernah menyentuh darah siapa pun.
Tapi bukan itu yang mengejutkan Elvano.
Melainkan gadis di samping Mason—anaknya.
Dia... berbeda.
Wajahnya tidak menunjukkan kesombongan mafia, tidak pula tanda-tanda kehidupan istimewa. Ia tampak kosong, seperti boneka hidup yang dijual atas nama aliansi politik. Matanya, bahkan dari jauh, tampak mati.
Dan saat sesaat mata mereka bertemu—Elvano dan gadis itu—waktu seperti berhenti.
Elvano tidak tahu siapa dia. Tapi untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, hatinya ragu. Bukan karena cinta. Tapi karena wajah gadis itu... mengingatkannya pada adik perempuannya yang tewas dalam kebakaran rumah Gavrielle.
Mason menghancurkan banyak hal.
Tapi mungkin... tidak semua anaknya bersalah.
---
Malam itu, Elvano tidak tidur. Ia berdiri di atap gedung, menatap kota yang sama, tapi dengan perasaan berbeda. Kye muncul dengan dua kaleng bir di tangan, menyerahkan satu padanya.
“Lihat kau,” gumam Kye. “Biasanya kau tenang setelah melihat target. Tapi sekarang?”
Elvano tidak menoleh. “Ada yang aneh.”
“Dengan Mason?”
“Dengan anaknya.”
Kye menatapnya, lalu menarik napas panjang.
“Kau tahu, kadang... dendam memang menyelamatkan kita dari rasa putus asa. Tapi kadang, ia juga membuat kita kehilangan arah.”
Elvano menatap langit yang tidak berbintang.
“Aku tidak kehilangan arah,” gumamnya.
“Lalu?”
Elvano mengepalkan tangannya.
“Mungkin... aku baru saja menemukan alasan untuk tetap hidup setelah semuanya berakhir.”
Dan untuk pertama kalinya, dalam bayangan yang ia peluk selama satu dekade, Elvano melihat sesuatu yang berbeda...
Bukan darah.
Tapi kemungkinan.
Kemungkinan bahwa dendam bukan satu-satunya warisan dari nama Gavrielle.
Tiga hari kemudian, Elvano mendekatkan dirinya ke pusat kekuasaan Mason Remieux dengan cara yang tak biasa: lewat pekerjaan.
Ia menyamar sebagai konsultan keamanan siber dari perusahaan luar negeri—peran yang telah ia bangun bertahun-tahun dengan identitas palsu, dokumen resmi, bahkan rekening bank aktif.
Dengan kredibilitas tinggi dan referensi ‘palsu’ yang meyakinkan, ia berhasil mendapatkan kontrak sementara untuk membantu sistem pengamanan bisnis Remieux Group.
Langkah ini bukan hanya untuk mendekati Mason.
Tapi juga… putrinya.
Gadis yang sempat ia tatap di pesta itu.
Nama gadis itu adalah Alevra Remieux. 23 tahun, lulusan desain interior, namun jarang muncul di publik. Menurut data Kye, Alevra bukan orang yang tertarik dengan dunia mafia. Bahkan, ia sempat kabur dari rumah dua tahun lalu sebelum dipaksa kembali.
“Kau yakin, Van?” tanya Kye saat mereka menyusun rencana.
“Aku tak tahu. Tapi wajah itu… dia terlihat seperti seseorang yang juga ingin keluar dari neraka yang sama.”
“Dan kau pikir kalian bisa saling menyelamatkan?”
Elvano menatap ke layar laptop di depannya. Foto Alevra dengan mata lelah, tersenyum tipis.
“Aku hanya tahu, jika dia anak Mason… maka dia akan jadi kunci.”
---
Pertemuan pertama terjadi di gedung utama Remieux Group.
Alevra muncul dengan jas panjang warna abu-abu muda, rambut diikat rendah, dan mata yang menatap siapa pun seolah tak sungguh hadir.
Elvano berdiri di ruang lobi, berdandan rapi sebagai konsultan profesional, berkas di tangan, tubuh tegap.
“Pak Elvano Harland?” tanya wanita muda dari resepsionis.
Ia mengangguk.
“Silakan ke lantai 19. Nona Alevra menunggu.”
Saat ia sampai di sana, Alevra sudah berdiri dekat jendela besar yang menampilkan panorama kota. Tanpa menoleh, ia bicara pelan, nyaris seperti gumaman.
“Orang-orang ayahku biasanya terlalu takut padanya. Tapi kau datang dengan tenang.”
Elvano tidak langsung menjawab. Ia berdiri beberapa langkah dari belakang, memperhatikan siluet tubuh Alevra yang membelakangi cahaya.
“Aku bukan orang yang terbiasa takut,” jawabnya.
Alevra menoleh. Untuk pertama kalinya, Elvano melihat wajah itu dari dekat.
Tegas, tapi menyimpan luka. Seperti sisa hujan yang membekas di kaca.
“Ayahku bilang, kau orang yang ahli dalam mengamankan sistem. Tapi bagiku, tidak ada sistem yang bisa benar-benar aman.”
Elvano menatapnya dengan sorot dingin. “Bahkan orang yang tak terlihat pun bisa dilihat, jika sistemnya salah.”
Alevra tersenyum samar. “Kau terdengar seperti orang yang tahu banyak soal menyembunyikan sesuatu.”
“Elvano Harland,” ia menyodorkan tangan. “Konsultan. Tapi juga pendengar yang baik.”
Alevra menyambut tangannya. “Alevra. Putri dari iblis.”
Sambutan mereka tak lebih dari lima detik. Tapi di antara jabat tangan itu, sesuatu bergerak. Seolah luka lama dan luka yang belum sembuh saling mengenali.
---
Di luar gedung, Kye menunggu di dalam mobil sedan hitam.
Elvano masuk dan duduk tenang.
“Dia tak seperti ayahnya,” gumamnya.
“Dan kau mulai melihatnya sebagai apa? Sekutu? Korban? Atau…” Kye memicingkan mata, “peluang?”
Elvano tidak menjawab.
Ia memandang ke luar jendela. Cahaya sore memantul di gedung kaca.
“Jika Alevra adalah kunci, aku harus tahu lubang mana yang ia buka—menuju kehancuran… atau jalan keluar.”
---
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, Elvano membuka kembali buku catatan merah tua peninggalan ayahnya.
Ia menyentuh halaman terakhir, yang selama ini tidak pernah ia baca.
Ada satu kalimat di sana:
> “Jika dendam adalah satu-satunya alasanmu hidup, maka berhati-hatilah pada saat kamu mulai ingin tetap hidup.”
Dan malam itu… Elvano mulai merasa takut.
Takut bukan karena musuh.
Tapi karena ia menemukan sesuatu yang lebih mengancam dari darah—
Perasaan.