Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
ELMAUT SI PEMBUNUH

ELMAUT SI PEMBUNUH

Arjunandar | Bersambung
Jumlah kata
241.8K
Popular
1.6K
Subscribe
96
Novel / ELMAUT SI PEMBUNUH
ELMAUT SI PEMBUNUH

ELMAUT SI PEMBUNUH

Arjunandar| Bersambung
Jumlah Kata
241.8K
Popular
1.6K
Subscribe
96
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurSilatPendekarKerajaan
Seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian apa pun selalu ditindas oleh orang lain di desanya. Ketika nyawanya hampir melayang, dia mendapat kesaktian secara tidak sengaja. Namun, dengan kesaktian itu dia mengemban tugas menjadi pembunuh Bayaran. Kemunculannya sebagai pembunuh bayaran membuat situasi politik antara Pajajaran dengan Cirebon yang sudah tegang jadi kian memanas. Di manakah pembunuh bayaran ini berpihak?
001. Puluhan Tahun Silam

Langit senja merona jingga ketika kereta kuda beroda kayu berderit melewati jalan setapak yang membelah hutan lebat di barat Kerajaan Pajajaran.

Ditarik oleh dua ekor kuda cokelat perkasa, kereta itu melaju perlahan namun pasti, dikelilingi oleh sepuluh prajurit tangguh yang mengayunkan tombak dan golok mereka dengan kewaspadaan tinggi.

Di dalamnya duduk Raksabumi, seorang Tumenggung muda dari istana Pakuan, bersama istrinya yang anggun bernama Nyai Raraswati.

Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah melakukan kunjungan ke satu wilayah yang merupakan raja bawahan Pajajaran.

“Langit mulai gelap, Kanda,” ucap Nyai Raraswati sambil menyibak tirai kereta.

Raksabumi menoleh ke arah pengawalnya. “Ki Rengga! Carikan tempat aman untuk beristirahat malam ini. Kita lanjutkan perjalanan saat fajar besok.”

Ki Rengga, kepala pengawal dengan wajah keras dan tubuh sekuat pohon aren tua, memberi aba-aba dengan mengangkat satu tangannya ke atas.

“Kita istirahat di pinggir hutan, dekat sumber air. Aman untuk bermalam, Gusti.”

"Baiklah," sahut Raksabumi dari dalam kereta.

Tak lama, rombongan pun berhenti di tepi hutan dengan semak-semak lebat dan pepohonan besar yang menjulang tinggi seakan menyentuh langit.

Lebatnya dedaunan membuat suasana tampak lebih gelap dari tempat lain yang terbuka.

Di dekat batu besar yang menjorok ke aliran sungai kecil, mereka mendirikan tenda kecil untuk sang pejabat dan istrinya.

Api unggun dinyalakan, aroma kayu terbakar menyebar bersama hawa malam yang mulai menggigit.

Para prajurit bergantian berjaga. Sebagian duduk mengelilingi api sambil membersihkan senjata. Suasana sunyi, hanya suara burung malam dan desir angin yang menemani.

Tapi malam itu, hutan menyimpan murka. Tidak ada yang merasakan satu pun. Atau mungkin mereka menganggap keadaan sudah aman.

Tanpa suara, kabut tipis mulai merayap dari celah-celah pepohonan. Tidak ada yang menyadari atau memperhatikan hal itu.

Dedaunan bergoyang perlahan, bukan karena angin, melainkan karena kehadiran yang tak kasat mata.

Ki Rengga, yang sedang berjaga di sisi timur, tiba-tiba menajamkan pandangan. “Hening sekali… terlalu hening.”

Sebagai kepala pengawal tentunya memiliki naluri yang paling peka, tetapi kepekaan itu terlambat datangnya.

Swing!

Tiba-tiba, suara desingan keras terdengar, seperti angin memecah udara. Ki Rengga cepat menoleh ke arah datangnya suara.

Crass! Crass!

Brukk!

Dalam sekejap, prajurit di sisi barat roboh dengan leher tertebas. Darah memancar seperti mata air yang memerah.

“SERANGAN!!” teriak Ki Rengga sambil menghunus goloknya. Dia terlambat menyadari datangnya musuh yang belum bisa ditebak siapa orangnya.

Bayangan itu muncul dari balik pepohonan. Sosoknya tinggi menjulang, mengenakan jubah hitam legam yang berkibar seiring gerakannya.

Wajahnya tersembunyi di balik topeng tengkorak mengerikan.

Ia memegang tongkat besi panjang, di ujungnya terdapat sabit perak yang berkilau tajam. Suara napasnya berat dan menggetarkan udara malam.

Ki Rengga sempat teringat sosok dengan ciri-ciri seperti ini. Namun, ingatannya tidak utuh alias hanya tahu sosoknya, tapi tidak tahu namanya.

Tanpa sepatah kata, sosok berjubah hitam itu bergerak dengan kecepatan yang mustahil. Tongkat bersabit mengayun bagai bayangan.

Crass!

Ia melompat ke tengah kerumunan prajurit dan tongkat bersabitnya berputar seperti badai maut. Kepala salah satu prajurit terlempar ke udara, darahnya menyembur ke dedaunan.

Ki Rengga maju menghadang penuh percaya diri walau belum tahu setinggi apa kepandaian si Topeng Tengkorak itu.

“Makhluk neraka! Hadapi aku!”

Tongkat bersabit itu melesat ke arahnya. Ki Rengga berhasil menangkis satu serangan, namun sabit berputar di udara, berbalik menyerangnya dari belakang.

Wutt!

Sraat!

Tubuhnya terhuyung, sabit itu mencabik punggungnya hingga tulangnya terlihat. Ia jatuh bersimpuh dengan mata membelalak.

Kemudian satu per satu, para prajurit digulung tanpa ampun. Golok dan tombak mereka tak mampu menyentuh kulit si bayangan hitam.

Gerakannya seperti asap —tiba-tiba ada, lalu menghilang, lalu muncul di belakang korbannya. Setiap ayunan senjatanya adalah kematian.

Crass!

"Aaakh ...!"

Jeritan terakhir terdengar dari seorang prajurit muda yang sempat lari ke arah sungai.

Tapi sabit itu meluncur dari kejauhan, menancap ke dadanya dan menarik tubuhnya kembali seperti kail yang menggaet ikan.

Brukk!

Kini hanya tersisa Raksabumi dan Nyai Raraswati di dalam tenda kecil.

“Raras, sembunyi di balik peti itu,” bisik Raksabumi sambil menghunus keris warisan leluhurnya.

Setelah sekian lama, kini sang pejabat mengalami kembali berhadapan dengan maut. Namun, kali ini bukan hanya nyawanya yang harus diselamatkan.

Ada istrinya juga yang harus dilindungi. Dia akan berjuang sekuat tenaga. Dia harus sampai ke istana dan melaporkan kejadian ini.

Si jubah hitam bertopeng tengkorak ini pasti ada sangkut pautnya dengan permainan politik dalam istana yang sudah kotor.

Pintu tenda terkuak perlahan. Bayangan tengkorak berdiri di sana, tubuhnya diselimuti asap hitam pekat yang mengepul dari jubahnya.

“Siapa kau?!” bentak Raksabumi. Dia menduga sosok ini pasti pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang yang tidak suka kepadanya.

Namun, Si Jubah Hitam bertopeng tengkorak tidak menjawab sedikit pun. Hanya mengeluarkan dengkusan kecil, tapi memancarkan hawa yang membuat kulit terasa perih.

Raksabumi tidak peduli. Dia menerjang, kerisnya berkilat. Dia mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya. Tapi tongkat bersabit itu menyambutnya.

Trang!

Bunyi logam beradu menggema, namun tenaga di balik tongkat itu luar biasa. Raksabumi terpental ke belakang, membentur tiang tenda.

Tenaga si Jubah Hitam jauh lebih kuat daripada Raksabumi. Bagaikan ranting kering melawan sebatang besi.

Nyai Raraswati menjerit. Ia mencoba melindungi suaminya, namun sang bayangan mengayunkan senjata, bukan ke arah Raksabumi… tapi ke dirinya.

Wutt!

Srass!

“Tidak!!” teriak Raksabumi, panik bukan main.

Sabit itu membelah udara. Darah mengucur dari dada Raraswati. Ia jatuh ke tanah, wajahnya pucat, matanya masih menatap suaminya dengan pilu. Nyawanya tak dapat ditolong lagi.

Raksabumi meraung. Dengan tenaga terakhir, ia melompat dan menusukkan keris ke dada musuhnya. Namun, tubuh itu seperti tak berwujud. Keris hanya menembus kabut.

Sang pejabat istana ini sudah dirasuki dendam sehingga bergerak tak karuan. Yang penting bisa menebas lawannya.

Si Topeng Tengkorak dengan mudah melewati setiap serangan tanpa arah itu seperti sedang mempermainkan seekor kucing yang mengamuk.

Wutt!

Crass!

Sabit pun terayun terakhir kalinya. Kepala Raksabumi terjatuh menyamping tubuh istrinya, keduanya bersatu dalam kematian.

Bayangan itu berdiri beberapa saat, menatap hasil pembantaiannya. Kemudian, ia melangkah masuk ke dalam kabut, menghilang seperti mimpi buruk.

Angin malam membawa aroma darah dan kematian, dan hutan kembali sunyi seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Di atas pucuk sebuah pohon besar, sosok jubah hitam bertopeng tengkorak tampak berdiri mendongak ke atas seperti sedang menantang langit.

Banyak sudah nyawa yang telah dia renggut. Namun, dia belum juga menemukan orang yang menjadi sasaran paling utama dalam hidupnya.

PULUHAN TAHUN KEMUDIAN.

***

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca