Hujan tak henti turun sejak pagi. Airnya membasahi genteng-genteng tua dan mengalir deras di talang rumah kayu warisan keluarga Prawira. Udara terasa basah, menusuk ke tulang. Di dalam rumah panggung yang sudah berusia lebih dari lima dekade itu, suara hujan menjadi latar dari duka yang baru saja turun ke bumi: kematian Willem Prawira, ayah Cohen.
Di ruang tamu yang sederhana, Cohen duduk diam memandangi cangkir kopi yang tak tersentuh. Asap dari gelas sudah lama hilang, menyisakan aroma pahit yang menggantung di udara.
Wajahnya kuyu. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya belum tercukur, matanya sembab oleh tangis yang belum benar-benar tuntas. Di tangannya, tergenggam sebuah kunci besi tua, kecil, sederhana, tapi berat—lebih berat dari seluruh beban yang kini ia rasakan.
Willem Prawira bukan ayah yang mudah dimengerti. Darah campuran Belanda-Manado-Jawa itu membentuk karakternya yang keras, disiplin, tapi juga... misterius. Ia adalah penjaga tradisi, orang yang selalu bicara sedikit, tapi menyimpan banyak. Sepanjang masa hidupnya, tak satu pun dari anak-anaknya yang tahu betul siapa dia sesungguhnya.
Cohen tumbuh dalam bayang-bayang sang ayah. Sejak kecil ia berbeda. Di antara saudara-saudaranya yang kuat, cepat, dan tangkas dalam bela diri, Cohen lebih banyak menyendiri. Ia tak mengikuti perguruan seperti keempat saudara lelakinya. Ia lebih memilih membaca kitab-kitab tua, belajar dari buku pusaka peninggalan kakeknya, menyendiri di hutan belakang kampung, atau duduk berjam-jam mendengar dongeng dari ibunya.
“Cohen itu anak batin,” begitu Nyai Rukmini sering menyebutnya. “Bukan petarung di gelanggang, tapi penjaga jiwa.”
Tapi malam ini, takdir menempatkannya di tengah pusaran. Peti warisan itu—yang selama ini terkunci dan disembunyikan di bawah lantai kamar ayahnya—akhirnya terbuka setelah kematian Willem. Dan hanya Cohen yang diberi kuncinya.
“Mak,” kata Cohen lirih sambil berdiri di depan ibunya, “kenapa aku?”
Nyai Rukmini terdiam lama. Wajahnya mengeras. Ia menatap Cohen dengan mata penuh luka dan cinta yang tertahan.
“Karena Bapakmu tahu... hanya kamu yang bisa mendengar suara dari tongkat itu. Yang lain cuma mau memegangnya. Kamu... kamu bisa bicara padanya.”
Cohen menggigit bibir. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia masih ingat, saat berusia tujuh tahun, ia pernah bermimpi tentang tongkat itu. Dalam mimpi itu, tongkat itu berbisik dalam bahasa yang tak dikenalnya, tapi entah mengapa ia mengerti. “Aku tidak untuk yang sombong. Aku tidak tunduk pada yang hanya ingin kuasa,” katanya. Cohen terbangun dengan keringat dingin dan tak pernah bercerita pada siapa pun. Sampai hari ini.
Saat malam turun dan adzan isya menggema dari masjid kampung, Cohen berdiri di depan peti yang masih tersegel itu. Jantungnya berdentum keras, seperti genderang perang. Di luar, hujan belum juga reda. Petir sesekali membelah langit,bahkan seperti suasana yang mencekam
Tangannya gemetar saat memasukkan kunci. Bunyi klik membuat seluruh udara seolah berhenti. Pelan-pelan, ia buka peti itu. Bau kayu tua dan dupa kering menyergap. Di dalamnya, terbaring sebuah tongkat kayu hitam legam, diukir rumit dengan simbol-simbol kuno Minahasa, naga bersayap, dan cakra di pucuknya. Di ujung tongkat, tertanam batu merah—berkilau lembut dalam gelap, seperti bernapas.
Saat Cohen mengangkat tongkat itu, dadanya seperti diremas. Sebuah suara lembut tapi tegas mengalir di dalam dirinya:
“Kau adalah penjaga. Bukan pemilik. Tapi padamu aku titipkan jiwa leluhur yang belum selesai.”
Cohen meneteskan air mata. Bukan karena takut, tapi karena tongkat itu menghidupkan sesuatu yang selama ini tertidur dalam dirinya—rasa tanggung jawab yang begitu besar, yang tak bisa ia tolak.
Tak lama setelah itu, pintu rumah terbuka keras. Suara langkah kaki kasar menggema di lantai kayu.
“COHEN!!! APA YANG KAU LAKUKAN?!”
Itu Arman, sang sulung. Wajahnya merah, matanya membara. Di belakangnya, Galang dan Reza berdiri dengan wajah yang sama marahnya.
“KAMU PEGANG TONGKAT ITU?! ITU PUNYAKU!!”
“Tongkat itu buat pewaris kekuatan kita, bukan kamu!” tambah Galang, mendekat cepat.
Reza menatap tajam. “Lu bukan petarung, Co. Lu cemen! Gimana bisa tongkat itu milih elu?!”
Cohen berdiri tegak. Napasnya berat, tapi tatapannya mantap. “Aku nggak nyari ini. Tapi tongkat ini... dia yang nyari aku.”
“Jangan sok spiritual, Co!” Arman membentak. “Kita semua anak Bapak! Dan yang paling pantas, ya yang paling kuat. Gue!”
“Kalau kuat cuma artinya mengalahkan saudara sendiri, mungkin kamu memang nggak layak pegang tongkat ini,” jawab Cohen pelan.
“LU KITA USIR MALAM INI JUGA!” Galang menepuk meja. “Lu bawa tongkat itu, pergi dari sini. Atau... kita rebut paksa!”
Suasana memanas. Nyai Rukmini berdiri di tengah, menahan tubuh anak-anaknya. Tangisnya meledak.
“Berhenti! Kalian itu darah yang sama! Bapak kalian belum dikubur baik-baik, kalian sudah saling terkam!”
Namun kemarahan sudah telanjur membakar dada. Arman menunjuk pintu. “Keluar! Jangan bawa nama keluarga lagi. Lu bukan bagian dari kita!”
Cohen menatap ibunya. Tatapan penuh luka, tapi tanpa keraguan. Ia mengecup kening ibunya, lalu melangkah keluar dengan tongkat itu di punggung.
Hujan mengguyur tubuhnya saat ia melangkah pergi. Tapi Cohen tak berbalik. Langkahnya berat, tapi pasti. Ia tahu malam ini adalah titik pisah. Ia tak akan kembali sebagai adik yang dicibir. Ia akan kembali sebagai penjaga warisan yang tak boleh jatuh ke tangan yang salah.
Di langit, petir menyambar. Tongkat di punggungnya bergetar pelan—seperti ikut menyapa dunia yang baru mulai ia masuki.
Dan langkah pertama Cohen, malam itu, adalah langkah menuju takdir yang belum pernah ditulis manusia manapun.
Darah yang Terbelah: Jejak Kecil Cohen
Cohen kecil lahir di sebuah dusun tersembunyi di pedalaman Betawi, jauh dari keramaian Jakarta, di mana udara masih dipenuhi aroma tanah basah dan suara jangkrik menjadi pengantar tidur malam hari. Ia bukan anak pertama, bukan pula terakhir. Di antara enam bersaudara, Cohen seolah menjadi titik tengah yang sering tak dianggap ada.
Dari luar, keluarga Prawira tampak seperti keluarga biasa. Tapi di dalam rumah itu, tersembunyi sejarah panjang yang tak pernah diceritakan dengan gamblang—tentang garis darah kerajaan Minahasa yang bercampur dengan darah Eropa, tentang kehormatan, dan tentang beban yang diwariskan secara diam-diam.
Ayahnya, Willem Prawira, adalah pria tinggi besar, berambut perak dan bermata kelabu. Tak banyak bicara. Wibawanya membuat anak-anak segan, bahkan Nyai Rukmini pun sering memilih diam jika Willem sudah angkat suara. Ia jarang memuji, hampir tak pernah memeluk. Tapi ada kalanya, di malam-malam ketika semua sudah tidur, ia duduk diam di beranda rumah, menatap langit sambil memutar cincin di jarinya. Cohen sering mengintip dari balik tirai, ingin tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.
Suatu malam, ketika Cohen berusia sembilan tahun, ia memberanikan diri duduk di sebelah ayahnya. Tak ada kata, hanya hening yang panjang.
Tiba-tiba, Willem berkata lirih, "Langit itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada bumi. Tapi rahasia yang paling berbahaya... justru ada di dalam manusia."
Cohen tak menjawab. Tapi kalimat itu menempel di kepalanya sampai bertahun-tahun kemudian.
Cohen tak seperti keempat saudaranya yang keras, berisik, dan penuh semangat tanding. Mereka mengikuti latihan silat sejak usia lima tahun, berlatih di bawah asuhan guru yang sama dengan ayah mereka dulu—guru besar dari perguruan Cempaka Hitam di kaki Gunung Salak. Pukulan, tendangan, lemparan senjata… semuanya menjadi rutinitas mereka.
Tapi Cohen? Ia lebih senang duduk membaca buku tua berbahasa Belanda atau Arab gundul dari lemari ayahnya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam membaca tentang falsafah, sejarah kerajaan, dan kitab pewayangan. Ia menyukai ketenangan, lebih suka mendengarkan suara angin daripada suara sorak duel di pelataran belakang rumah.
“Cohen itu... seperti sungai yang diam. Tapi arusnya dalam,” kata ibunya, Nyai Rukmini, suatu hari pada tetangga yang heran kenapa Cohen tak ikut berlatih silat.
Sang ibu adalah satu-satunya tempat Cohen bersandar. Dalam pelukan Rukmini, Cohen menemukan dunia yang tak ia temui di tempat lain: kehangatan, kelembutan, dan kepercayaan. Ibunya sering membacakan cerita wayang sebelum tidur, tentang Pandawa dan Kurawa, tentang raja-raja yang bertarung bukan demi kuasa, tapi demi keadilan.
“Jangan pernah takut jadi orang yang berbeda, Le,” ujar ibunya suatu malam sambil menyisiri rambutnya. “Kadang, peran paling penting bukan dimainkan di gelanggang... tapi di hati manusia.”
Namun, menjadi “berbeda” di antara saudara-saudara yang kuat bukanlah hal mudah. Cohen sering jadi bahan olok-olok. “Anak perempuan,” ejek Galang ketika Cohen menolak ikut latihan karena lebih memilih duduk membaca. “Lemah kayak ranting.”
Ia pernah sekali mencoba ikut latihan silat, ingin menyenangkan hati ayahnya. Tapi saat tubuhnya terpental ke tanah karena pukulan Reza, ia hanya mendapat tatapan dingin dari Willem.
“Badanmu harus kuat, baru bisa pegang warisan,” kata ayahnya ketus, lalu pergi begitu saja.
Kalimat itu menusuk Cohen. Ia menangis diam-diam malam itu. Bukan karena tubuhnya sakit, tapi karena hatinya patah. Ia ingin dimengerti. Tapi yang ia dapat hanya tuntutan, dan bayang-bayang bahwa dirinya tak pernah cukup.
Namun satu hal yang tak diketahui siapa pun—Cohen sering berbicara pada tongkat kayu yang disembunyikan ayahnya di ruang rahasia bawah rumah. Ia menemukannya secara tak sengaja saat bermain petak umpet dengan adiknya, Lilis. Tongkat itu tersimpan dalam peti berukir dengan lilitan kain tua dan bau cendana. Ia tak pernah menyentuhnya, tapi setiap kali dekat dengannya, ia merasa damai... dan seolah didengarkan.
Di malam-malam gelap, Cohen akan duduk diam di lantai kayu, di atas ruang penyimpanan itu. Tak ada cahaya, hanya rasa hangat di dadanya, dan bisikan tak terdengar yang entah dari mana datangnya. Ia merasa dilindungi.
Dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, saat ayahnya telah tiada dan tongkat itu jatuh ke tangannya, Cohen tahu: semua yang ia rasakan sejak kecil bukan kebetulan. Ia memang berbeda. Tapi perbedaan itu bukan kelemahan. Itu... adalah panggilan.