

Lior selalu menyadari bahwa di dalam tubuhnya ada ruang yang tidak dimiliki manusia lain. Ia tidak tahu namanya, tidak tahu bentuknya, dan tidak tahu mengapa tempat itu seperti menghirup napas sendiri. Dari kecil, ia hanya mengenal sensasi itu sebagai sesuatu yang “asing”, sesuatu yang tidak pernah benar-benar tidur.
Ayah angkatnya dulu berkata, “Kalau dadamu terasa berat, duduklah dan tarik napas. Itu hanya tubuhmu yang sedang berdamai dengan dirinya sendiri.”
Tapi Lior tahu, tubuhnya tidak sedang berdamai dengan apa pun. Ada sesuatu yang hidup dalam dirinya. Sesuatu yang… menunggu.
Malam itu, sesuatu itu bangun.
Bukan lewat suara. Bukan lewat cahaya.
Tapi lewat rasa dingin yang merayap dari tulang belakangnya, naik ke tengkuk, lalu menutup tenggorokan seperti jari-jari seseorang yang memegangnya dari belakang.
Lior terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi wajahnya, meski udara kamar begitu dingin. Sekilas, ia merasa jantungnya tidak berada di tempatnya. Seolah-olah organ itu berpindah sedikit ke kiri—lalu kembali tanpa suara.
Itu sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Tapi malam ini rasanya berbeda. Lebih… tajam.
Ia duduk perlahan, meraba bagian dadanya.
Tidak ada apa-apa. Tapi napasnya terasa sesak.
Di saat itulah, fragmen pertama datang.
Bukan mimpi. Lebih seperti masa kelam yang bukan miliknya.
Sekilas ia melihat sebuah ruangan besar dengan pilar batu hitam. Suara perempuan berteriak entah dari mana. Api berwarna biru menyala di atas mangkuk-mangkuk besar. Lalu… seseorang menekuk lutut, tubuhnya bergetar keras, darah menetes dari hidungnya.
“Jika tidak ada yang lain, biar aku saja, biar aku yang menanggungnya.”
Suaranya terdengar remuk, tapi tegas.
Sebelum Lior sempat melihat wajahnya, fragmen itu pecah. Ia kembali ke kamarnya. Nafasnya kacau.
Ia menunduk, memegangi kepalanya.
Kenangan itu selalu seperti itu—datang tanpa permisi, pergi sebelum ia bisa bertanya. Dan setelah bertahun-tahun mengalaminya, Lior tahu satu hal:
Itu bukan kenangan miliknya.
Dan setiap kali fragmen itu tiba, tubuhnya selalu terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya dari dalam.
Ia berusaha bangkit dari tempat tidur, melangkah pelan ke meja kayu kecil di pojok ruangan. Menyalakan lampu minyak. Sinar kuning tipis menyorot dinding batu rumahnya yang sederhana. Di luar, suara angin malam merayap seperti serangga yang meronta.
Perutnya mual, tapi ia meneguk air dari kendi. Tangan kirinya sedikit gemetar.
“Sudah tiga hari berturut-turut…” gumamnya lirih.
Itu tidak pernah terjadi sebelumnya—fragmen yang muncul tiga kali dalam tiga malam tanpa jeda.
Seseorang sedang mendorong sesuatu di dalam dirinya. Atau… sesuatu sedang mencoba keluar.
“Tidak. Belum. Bukan sekarang…” bisiknya lebih kepada dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata sebentar. Saat itulah ia mendengar sesuatu, sebuah bunyi tipis, seperti bisikan seseorang yang sangat dekat dengan telinganya.
“Satu lagi…”
Lior menghentakkan kepala dan menoleh cepat, tapi ruangannya kosong.
Tidak ada siapa-siapa.
Bisikan itu bukan manusia. Ia tahu itu. Ia sudah mendengarnya sejak usia belasan. Suara itu berubah-ubah, kadang seperti orang tua, kadang seperti anak kecil, kadang seperti pria muda yang mendesah kesakitan.
Tapi ada satu hal yang selalu sama:
Mereka semua seperti sedang terkurung.
Ia menutup telinga dengan kedua tangannya. Namun suara itu bukan dari luar. Tidak pernah dari luar.
“Satu lagi… bangkit…”
“Diam,” desis Lior. “Tutup mulutmu.”
Sejenak, suara itu hilang. Udara kembali hening. Tapi hening itu terasa salah, seperti mata seseorang yang sedang mengawasi dari kegelapan.
Lior menarik napas panjang, menenangkan diri.
Ia tahu, ada makhluk lain di luar sana yang mungkin akan hancur hanya dengan mendengar suara-suara ini. Tapi ia sudah hidup dengan mereka selama 19 tahun. Entah bagaimana ia tidak gila. Atau mungkin ia sudah gila, tapi tidak menyadarinya.
Ia memutuskan untuk keluar rumah sebentar, mencari udara segar. Namun sebelum ia menyentuh pintu, dadanya menegang lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
Rasa sakit menusuk seperti kuku panjang yang mencakar dari dalam. Lior terhuyung, menahan diri pada pilar kayu.
Lampu minyak berkedip, lalu padam.
Gelap menelan ruangan.
Dan fragmen kedua masuk tanpa izin.
Ia melihat seorang anak laki-laki, tidak jauh dari usianya sekarang, sedang berdiri di tengah lingkaran bercahaya. Tubuhnya kurus, wajahnya kotor, tapi matanya keras. Di hadapannya, serombongan pria berzirah hitam menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang menjijikkan.
“Kamu bukan manusia lagi.”
“Pengorbananmu tidak akan diingat.”
“Dan setelah ini, tidak ada yang boleh menyebut nama kalian.”
Anak itu tersenyum tipis, senyum yang lebih seperti luka.
“Bagus. Aku tidak ingin dunia mengingat kami.”
Fragmen itu hancur.
Lior tersungkur ke lantai, terengah, napasnya memukul-mukul kerongkongan seperti pisau tumpul.
“Siapa kalian…?” bisiknya dengan suara pecah.
Ia tahu jawaban itu, sebenarnya. Atau setidaknya, ia pernah mendengarnya, dari desas-desus rakyat yang takut berbicara jujur, dari dongeng yang dilarang, dari ayah angkatnya yang pernah berpesan agar ia tidak mendekati kuil kerajaan.
Penjaga Dosa.
Manusia terpilih yang konon mengurung makhluk kegelapan dalam tubuh mereka seratus tahun lalu.
Makhluk yang disebut Entitas Dosa.
Makhluk yang seharusnya menghancurkan dunia namun dikekang oleh manusia, lalu setelah itu, manusia-manusia yang mengorbankan diri itu dibantai oleh kerajaan sendiri.
Itulah kisah yang tidak boleh diucapkan.
Kisah yang hanya dibisikkan penduduk desa ketika tidak ada mata kerajaan mengawasi.
Tapi yang membuat Lior takut adalah satu hal:
Ia merasakan bahwa fragmen-fragmen itu… terjadi dari dalam dirinya sendiri.
Seolah-olah, tubuhnya menyimpan kenangan yang bukan miliknya.
Seolah-olah, ia adalah kelanjutan dari seseorang yang sudah mati seratus tahun lalu.
Seolah-olah, darahnya bukan darah manusia biasa.
Tiba-tiba, lantai kayu di belakangnya bergetar halus. Suatu tekanan aneh muncul, bukan berasal dari luar rumah. Tidak juga dari bawah tanah.
Tekanan itu berasal dari dirinya.
Dadanya seperti diregang paksa dari dalam.
Ada sesuatu yang… bergerak.
Lior mencengkeram bajunya sendiri, mencakar kainnya.
“Tidak… jangan bangkit… belum…” gumamnya.
Tapi rasa sakit itu menjalar seperti kilat. Dari jantung ke paru-paru. Ke tulang rusuk. Ke lengan. Ke mata.
Hingga ia merasakan seolah tubuhnya terpecah menjadi tujuh bagian yang berbeda arah.
Suara-suara itu kembali.
Lebih banyak.
Lebih keras.
Lebih putus asa.
“Biarkan aku keluar…”
“Giliran kita…”
“Dia sudah cukup kuat…”
“Bukalah… bukalah…”
“Darah baru… tubuh baru…”
Lior mengerang, memukul kepalanya sendiri.
“Diam!”
Suara itu berhenti seketika, seperti seseorang memutus tali.
Lior terbaring di lantai, gemetar, tubuhnya masih panas. Namun di tengah kelelahan itu, ia merasakan sesuatu yang lebih mengerikan:
Ada entitas yang hampir bangkit.
Ia tidak tahu yang mana. Tapi ia tahu kehadirannya.
Seperti tatapan seseorang dari balik cermin yang retak.
Ia menatap dadanya dan untuk sesaat, ia melihat siluet hitam bergerak di bawah kulitnya.
Itu hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuatnya muntah.
Saat ia berlutut, menahan diri agar tidak jatuh lagi, seseorang mengetuk pintu rumahnya.
Lior membeku.
Tiga ketukan.
Tenang, ritmis, tanpa terburu-buru.
Bukan orang desa. Tidak ada warga yang mengetuk seperti itu.
Ketukan ini… teratur. Terlatih.
Seperti orang yang memegang wewenang.
Seperti pemburu kerajaan.
Lior menahan napas.
Ketukan berhenti. Dan suara rendah seorang pria berkata:
“Lior Edevan. Kami dari unit kerajaan. Kami hanya ingin beberapa pertanyaan tentang laporan baru-baru ini.”
Lior menutup matanya.
Ia tahu ini adalah awal sesuatu yang tidak bisa ia hentikan.
Dan entitas di dalam tubuhnya tahu itu juga.
“Akhirnya…” bisik salah satu suara itu,
senang....
lapar....
dan terbangun sepenuhnya...