

Plakkkk!!
Satu tangan kekar, penuh kekuatan fisik memberikan tamparan keras di wajah seorang remaja berusia enam belas tahun.
"Dasar murid yang membuat malu di perguruan ini! Mati saja kau!" bentak seorang pemuda berpakain biru pada pemuda yang juga memiliki pakaian biru.
"Hajar saja dia. Dia tak pantas jadi murid perguruan Elang Putih, dia terlalu lemah!"
Lima pemuda berusia tujuh belas tahun, mengelilingi rekan mereka yang sesungguhnya juga murid perguruan Elang Putih.
Tapi, karena dia lemah, tak memiliki bakat, dan tak memiliki harta, jadi dia sering diperlakukan tak adil di perguruan itu.
"Ikat dia!"
Satu dari lima orang itu mengikat pemuda malang itu di sebatang pohon. Tidak puas hanya mengikat, tapi mereka juga terus memukuli anak muda pengecut itu.
Jledaaarrrrrrr!!
Satu raungan dari mulut gunung kagetkan mereka semua. Raungan yang memekakkan telinga.
"Ada apa itu?"
"Sepertinya gunung Tandur akan mengamuk!"
"Iya! Kita pergi, biarkan saja dia disini, biarkan dia mati disini!"
Tanpa peduli pada pemuda tanggung itu, lima murid perguruan Elang Putih meninggalkan puncak gunung Tandur. Itu karena raungan gunung, yang menandakan akan sebuah amarah yang besar.
"Hei jangan tinggalkan aku!" teriak anak muda yang terikat di sebatang kayu itu. Di ikat dengan sangat kuat.
"Mati saja kau Arya! Kau tak pantas jadi murid perguruan Elang Putih. Kau hanya pecundang yang akan jadi beban di perguruan elang putih!" teriak murid yang mengikat Arya.
"Tidak! Jangan tinggalkan aku! Aku takut disini!" teriak Arya.
Tapi teriakan Arya seolah tidak didengar, semua orang tinggalkan Arya di puncak gunung Tandur.
***
Langit biru mulai tertutupi oleh gelapnya, awan. Langit yang mempermainkan keindahan akan indahnya mayapada.
Gunung Tandur, sebuah gunung yang berdiri angkuh. Gunung yang menaungi belasan desa di bawah kaki gunung itu.
Gunung dengan hutan luas, pepohonan tinggi nan rimbun. Gunung yang menjulang tinggi hingga menyentuh awan.
Jledaaarrrrrrr.
Petir biru menyambar tepat di mulut gunung itu, dan sesuatu terjadi pada gunung yang sudah lama tidak mengeluarkan laharnya.
"Ada apa ini?" teriak warga desa yang bermukim di kaki gunung Tandur.
Terjadi goncangan yang sangat kuat. Dan itu karena goncangan dari gerakan gunung Tandur yang seolah akan meledak.
"Lari! gunung Tandur mengamuk!" teriak beberapa warga yang mulai merasakan akan adanya bahaya dari gunung itu.
Salah satu desa yang berdiri tepat di kaki gunung itu, desa Bambu, desa yang seluruh penduduknya hanyalah penduduk miskin.
"Dimana putraku? Dimana putraku?" teriak seorang ibu yang terus saja mencari keberadaan putranya.
Dia terus mencari ke segala arah. Tapi jangankan menemukan putranya, bau putra pun tidak bisa dia rasakan.
"Arya! Arya Aganta!" teriak perempuan lemah tanpa daya itu.
"Hei ibu tua! Segera tinggalkan desa ini. Apa kau ingin mati?"
"Tidak! aku masih harus menemukan putriku!"
"Tidak mungkin bisa kau menemukan putramu lagi. Apa kau tidak lihat, lahar panas sudah mulai turun dari mulut gunung Tandur?"
"Aku tidak peduli. aku hanya ingin menemukan putraku!" Kata ibu tua itu.
"Sudahlah! Jika dia tak peduli, tinggalkan saja dia. Mungkin dia memilih untuk bunuh diri!"
Tanpa memaksa lagi, orang-orang yang ada di desa bambu meninggalkan ibu tua yang masih terus mencari keberadaan putranya.
Hingga lahar panas datang, dia masih tetap ada di desa itu. Dan bahkan dia menuju ke puncak gunung untuk mencari putranya.
"Arya!" teriak ibu tua itu.
"Ibu! Arya disini!" Teriak seorang anak kecil membalas teriakan ibunya.
Ibu tua itu kaget, apalagi saat melihat kondisi putranya yang terikat dengan tali yang kuat.
Dengan segera ibu tua itu memeluk putranya dan membuka ikatan putranya yang memiliki julukan si sampah yang pengecut.
"Ibu! Arya takut!" ucap pemuda berusia tujuh belas tahun itu.
"Jangan takut! seorang laki-laki tidak boleh merasakan takut!" kata perempuan tua itu.
"Ibu Awas!" teriak Arya saat melihat lahar semakin dekat.
"Arya, segera naik ke batu besar itu, nak!"
"Tapi bagaimana dengan ibu?"
"Ibu akan baik-baik saja. kau sekarang yang penting!" kata ibu tua itu.
"Tapi ibu?"
"Jangan membantah Ibu, segera naik ke Batu besar itu!" kata ibu tua itu.
Tak ingin melawan perintah ibunya, Arya Aganta naik ke Batu besar yang berada tepat di belakangnya.
"Ayo ibu! ibu juga harus naik kemari!" teriak Surena.
"Jika kita berdua berada di atas batu itu, maka kita tidak akan muat di atas batu itu, putraku!" kata ini tua itu.
"Jadi ... jadi ibu akan tetap ada di bawah? ibu bisa mati!" kata Arya Aganta.
Ibu tua itu tersenyum. Dia tersenyum pada putra kecilnya yang berhasil dia selamatkan. Pemuda yang masih tetap dia anggap anak kecil.
"Ibu! jika ibu mati, siapa yang akan jadi Ibu Arya?"
"Putraku! pergilah ke kota Sambra. Cari orang yang bernama Ki Patu. Katakan ibu yang menyuruhmu!" kata ibu tua itu.
"Tapi ibu, Arya hanya ingin bersama dengan ibu!"
"Jangan manja putraku! ibu mungkin hanya sampai saat ini bisa menemani dirimu. Hidup terus putraku!"
"Ibu! Ibu!" jerit anak kecil itu.
Tapi pada saat itulah, lahar yang panas menyeret tubuh wanita tua yang sudah
tak memiliki daya itu.
"Ibu!!!!"
"Tolong! Tolong aku! Tolong ibuku!" jerit Arya Aganta.
Tapi lahar panas yang mengeluarkan suara begitu kuat, membuat suara Arya Aganta seolah ditelan.
"Aku mohon! Siapa saja. Tolong ibuku!" teriak Arya Aganta.
Tapi hingga ibunya hilang ditelan oleh lahar panas, tidak ada satupun bantuan yang didapatkannya oleh Arya Aganta.
"Ini tidak adil! Ini tidak adil!" jerit Arya Aganta.
"Dimana kalian semua! Dimana perguruan elang putih? Dimana golongan putih?" teriak Arya Aganta lagi.
Dan pada akhirnya Arya jatuh tak sadarkan diri di atas batu yang secara perlahan mulai habis digerus panasnya lahar dari gunung tandur.
"Itu dia! Itu Arya Aganta!"
Huppppp!!
Satu bayangan putih melesat, dan membawa tubuh Arya Aganta dari atas batu itu.
"Arya! Bangunlah!"
Dengan satu totokan, Arya berhasil disadarkan. Tapi kondisinya jauh dari kata baik. Dia sangat tertekan, dan putus asa.
Arya berdiri dalam kondisi yang sempoyongan. Matanya tajam menatap ke arah lima murid perguruan yang mengikatnya dan juga pada guru perguruan dan ketua Bika yang memberikan bantuan terlambat.
"Kalian terlambat! Aku tak akan maafkan kalian semua!" teriak Arya yang menyimpan dendam karena kematian sang ibu.
"Arya! Ini semua takdir! Kau tak bisa melawan takdir!"
"Takdir? Kalian lihat semuanya. Mulai sekarang, aku akan melawan takdir!" teriak Arya Aganta.
Mata Arya menatap tajam ke seluruh orang yang datang. Tatapan yang dipenuhi dendam, sakit hati dan amarah.
"Jangan mengira semuanya baik-baik saja," desis Arya dengan mata yang merah penuh amarah.
***