Di sebuah rumah reot yang ada di pinggiran sebuah desa, tinggal seorang janda muda dan putranya yang masih berusia sepuluh tahun.
Kemiskinan melanda keluarga kecil itu dan itu terlihat jelas dari rumah mereka yang kecil, dan hampir tumbang.
"Ibu, aku lapar," ucap anak kecil yang terbaring di samping janda tua itu.
Mendengar ucapan putranya itu, janda tua yang bernama nyai Sumi itu meneteskan air matanya, karena hatinya sakit saat mendengar kata-kata putranya itu.
Dengan berat hati, perempuan muda itu bangkit, dan berjalan ke arah dapur, sekalian ia membuat kesibukan sendiri di dapur rumahnya itu.
Terdengar suara api yang menyala, dan itu membuat putranya bersemangat, karena merasa yakin kalau ibunya akan memasak sesuatu yang bisa untuk dimakan.
Dengan menahan rasa lapar, bocah kurus itu mendekat ke arah ibunya.
"Ibu akan memasak apa?" tanya bocah itu.
"Tenang saja, ibu akan memasak sesuatu yang enak!" ucap nyai Sumi.
"Benarkah itu, ibu?"
"Iya!" kata nyai Sumi sambil mengelus rambut putranya itu.
"Wira sudah tidak sabar ibu!"
"Tunggulah, dan berbaring di sana. Setelah makanan ini matang, ibu akan bangunkan dirimu, Wira!" kata janda muda itu.
Bocah kecil itu adalah Wira Pramudia, bocah kecil yang hidup dalam kemalangan, hidup dalam kemiskinan.
Masih menahan rasa lapar, Wira berjalan kembali ke ruangan tengah, dan berbaring sambil menunggu ibunya yang memasak.
Tukkkkkk!
Terdengar suara yang cukup keras saat nyai Sumi menjatuhkan sesuatu ke dalam panci yang berada di atas tungku api.
Jika dilihat dengan seksama, yang saat ini dimasak oleh nyai Sumi adalah sebuah batu sebesar kepalan tangan.
Nyai Sumi memasak batu, dan itu ia lakukan hanya untuk menenangkan putranya yang kelaparan.
"Aku harap ini akan membuat Wira tenang, meskipun ini hanya sesaat saja!" ucap nyai Sumi dan melirik ke arah Wira yang sudah tertidur dengan menahan rasa lapar.
Air mata nyai Sumi kembali jatuh, dan itu merupakan air mata kesedihan, ratapan dari seorang perempuan muda yang tak mendapatkan keadilan di desa itu.
Jledaar!!
Tiba-tiba saja, suara ledakan yang sangat keras terdengar di langit, dan itu membangunkan tidur Wira yang awalnya telah tertidur lelap.
"Suara apa itu ibu?" teriak Wira menjerit karena rasa takut yang melanda hati bocah kecil itu.
Nyai Sumi juga dilanda rasa takut, dan ia buru-buru memeluk tubuh Wira yang gemetaran karena rasa takut akan suara ledakan itu.
"Jangan takut, Wira, ibu bersamamu!" kata perempuan tua itu.
Saat mereka masih dilanda rasa takut, orang-orang di desa itu juga dilanda rasa takut, dan tidak hanya mereka, namun seluruh desa itu diliputi rasa takut yang mencekam.
***
Jledaar!!!
Suara ledakan yang begitu keras, terdengar di atas langit, dan ledakan itu seolah-olah akan membuka pintu langit yang telah tertutup selama ribuan tahun lamanya.
Setelah ledakan itu, tiga cahaya muncul di langit, yang mana cahaya merah, melesat dan terbang ke arah barat.
Cahaya putih, terbang ke arah timur, dan satu cahaya lagi, yaitu cahaya ungu, jatuh tepat di tengah-tengah dunia yang luas.
Ledakan keras di langit itu memancing rasa penasaran orang-orang yang ada di dunia, dan semuanya yakin kalau itu bukan sesuatu yang biasa, tapi sesuatu yang luar biasa telah turun dari langit biru.
Hal itu membuat, para pelaku dunia persilatan, baik pendekar golongan hitam, maupun pendekar golongan putih berbondong-bondong meninggalkan tempatnya, dan semua itu hanya untuk memastikan benda apakah yang turun dari langit.
***
Beberapa hari telah berlalu sejak ledakan yang keras itu terdengar di langit, dan sebagian orang sudah melupakan akan hal itu.
Namun, di saat itulah, muncul belasan orang dengan kuda, dan memasuki desa Bambu Lima, yang merupakan desa tempat tinggal dari Wira.
Kelompok itu merupakan kelompok dari sebuah perguruan hitam yang bernama Perguruan Gagak Hitam.
"Kumpulkan semua orang yang ada di desa ini!" teriak pemimpin kelompok itu.
"Baik, ketua!" teriak salah satu dari rombongan itu.
Tidak hanya dia seorang, namun bersama dengan tiga rekannya, dia turun dari kudanya, dan tanpa perduli pada keadaan di desa itu mereka memaksa semua orang untuk berkumpul di tengah-tengah desa itu.
"Rumah itu masih belum kita masuki!"
"Tunggu apa lagi, segera masuk ke sana, dan bawa paksa orang yang ada di rumah itu!" teriak pemimpin rombongan itu.
Ki Sarak, dia yang memimpin rombongan dari Perguruan Gagak Hitam itu, dan ia masih duduk di atas pelana kudanya dengan wajah yang angkuh.
"Terkunci, ketua!" teriak salah satu anak buahnya.
"Dasar bodoh!'
Huppppp!
Ki Sarak hentakkan tubuhnya ke atas, dan setelah itu melayang ke arah rumah reot yang terkunci dari dalam.
"Hal seperti ini saja tidak bisa kalian atasi!" kata Ki Sarak dengan wajah yang kesal.
Brakkkkkkk!!
Cukup satu tendangan, pintu rumah itu sudah hancur, dan mata Ki Sarak terbelalak saat melihat satu tubuh muda, dan cantik menggigil ketakutan di sudut rumah kecil itu.
"Desa ini ternyata menyimpan seorang bidadari!" ucap Ki Sarak dan masuk ke dalam rumah itu.
Ki Sarak membasahi bibirnya sendiri, dan tanpa ragu, dia menarik tubuh perempuan itu ke pelukannya.
"Aku mohon, jangan lakukan hal ini padaku tuan!" kata perempuan itu dengan air mata yang menetes.
Perempuan itu adalah nyai Sumi, dan sebagai janda muda, dia masih menarik bagi lelaki, termasuk Ki Sarak.
"Tenang saja, nyai! Aku akan memberikan kau kenikmatan yang tak akan pernah kau bayangkan selama ini!" ucap Ki Sarak dengan kekehan di bibirnya.
"Tidak!" teriak nyai Sumi di saat Ki Sarak menyeret tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar di rumah reot itu.
Plakkkkkk!
Namun, dengan kasar, Ki Sarak memberikan tamparan keras ke wajah nyai Sumi, dan itu cukup untuk membuat janda muda itu terkapar tak berdaya, serta tubuhnya jatuh ke tempat tidur.
"Jangan ganggu ibuku!" teriak Wira yang sembunyi di bawah tempat tidur.
Dengan sangat berani, Wira menendang punggung Ki Sarak, namun itu tak berarti apa-apa bagi Ki Sarak, malah itu memancing amarah lelaki itu.
"Mati saja aku bocah bodoh!"
Bammmmmmm!
Ki Sarak hantam dada, Wira, dan itu cukup untuk membuat bocah itu terkapar dengan darah yang muncrat dari mulutnya.
"Putraku!" teriak nyai Sumi dan berlari ke arah Wira.
"Kau tidak akan kemana-mana!" bentak Ki Sarak dan menarik tangan nyai Sumi.
Namun, nyai Sumi memilih untuk gigit tangan Ki Sarak, hingga itu membuat Ki Sarak semakin marah.
"Dasar bodoh!'
Bammmmmmm!!
Tanpa sadar, Ki Sarak alirkan tenaga dalam, dan satu hantaman ke kepala nyai Sumi, cukup untuk memecahkan kepala janda muda itu.
Nyai Sumi, dan Wira Pramudia, terkapar di lantai rumah reot itu, dan keduanya jelas sudah dianggap tewas.
"Dasar bodoh!" maki Ki Sarak dan keluar dari rumah itu dengan wajah yang kesal.