

"Dirgha Alvendra."
"kau pergi aja!"
Pergi?
Dirgha natap gurunya yang berdiri di depannya—Seorang cewek cantik dengan gaun ungu panjang, berwibawa, dan punya kecantikan luar biasa. Mata Dirgha dipenuhin kebingungan.
"Guru, kenapa?"
"Murid masih pengen tetep ada di samping guru. Murid nggak rela ninggalin anda,"kata Dirgha dengan sedih.
Denger kata-kata itu, muka gurunya yang luar biasa cantik nunjukin sedikit perubahan. Tapi itu bukan karena terharu, tapi karena dia lagi nahan rasa kesel di hatinya.
"Sepuluh ribu tahun!"
"Udah sepuluh ribu tahun penuh!"
"Tau nggak gimana aku ngelewatin sepuluh ribu tahun ini?" Tanya sang guru dengan suara dingin.
"Tentu aja aku tau. Selama sepuluh ribu tahun ini, guru ditemenin sama aku. Nggak lagi ngerasain kesepian. Tentu aja guru seneng dan selalu dikelilingin sama kebahagiaan tiap hari." Kata Dirgha sambil senyum ceria.
Bahagia ?
selalu dikelilingi sama kebahagiaan ?
"Huh!"
Dyah Kirana natap Dirgha yang senyum lebar dan pengen banget nampar dia!
Sepuluh ribu tahun yang lalu, Dyah Kirana nggak sengaja nemuin Dirgha yang baru umur 6 tahun. Dia liat kalau bocah ini punya fisik yang unik dan belum pernah ada sebelumnya. Jadi dia mutusin buat ngambilnya jadi murid.
Tapi dia nggak nyangka kalau itu awal dari mimpi buruknya!
Emang, Dirgha punya fisik khusus dan kepinteran luar biasa. Tiap ilmu yang diajarin Dyah Kirana bisa dihafal Dirgha cuma sekali denger.
Tapi, makin lama, Dyah Kirana nyadar ada yang aneh. Nggak peduli seberapa rajin Dirgha latihan, dia sama sekali nggak bisa dapet terobosan. Bahkan buat nyampe tahap awal kultivasi aja mustahil!
Karena udah nerima dia jadi murid, Dyah Kirana nggak bisa ninggalin dia gitu aja. Jadi dia juga ngajarin semua ilmu yang udah dia pelajarin seumur hidupnya ke Dirgha.
Dirgha nggak ngecewain harapan gurunya, dia bener-bener nguasain semua ilmu yang Dyah Kirana ajarin.
Tapi, meskipun dia bisa ngafalin semuanya dengan sempurna, dia tetep nggak bisa latihan kultivasi.
Dyah Kirana bahkan udah nyari macem-macem harta langka dan bahan berharga dari seluruh dunia, tetep aja semuanya percuma!
Akhirnya, Dyah Kirana terpaksa nyerah.
Awalnya, dia mikir buat ngebiarin Dirgha tetep tinggal di sisinya dan ngejalanin hidup dengan damai sampe akhir hayat.
Tapi, siapa sangka bocah ini ternyata nggak bisa menua, apalagi mati.
Kalau dia anak yang penurut, mungkin Dyah Kirana masih bisa bertahan. Tapi sayangnya, dia itu bocah yang nggak bisa diem tenang!
Selama sepuluh ribu tahun ini, hidup Dyah Kirana kayak di neraka! Dia akhirnya udah nggak tahan lagi dan pengen ngusir Dirgha.
"Guru, apa bener guru pengen aku pergi?"
Ngeliat ekspresi serius Dyah Kirana, muka Dirgha agak berubah.
Gimanapun juga, sejak umur 6 tahun, dia udah hidup bareng Dyah Kirana selama sepuluh ribu tahun. Dia nggak pernah bayangin suatu hari bakal pisah dari dia.
"Pergi aja, kamu udah tinggal di sini selama sepuluh ribu tahun. Udah waktunya kamu pergi."
Ngeliat ekspresi murung Dirgha, Dyah Kirana ngerasa sedikit nggak tega. Tapi akalnya bilang, bocah ini harus cepet-cepet enyah!
"Guru, aku udah ngikutin Anda selama sepuluh ribu tahun. Aku nggak punya keluarga atau tempat buat pulang. Dunia ini luas, tapi nggak ada tempat buat aku berteduh," kata Dirgha dengan nada sedih.
"Kamu punya."
Dyah Kirana nggak mau banyak omong. Dengan satu ayunan tangan, sebuah peta rute muncul di udara.
Dyah Kirana nunjuk ke satu titik di peta, dan ngomong dengan tenang, "Aku udah nyariin info buat kamu. Meskipun udah lewat sepuluh ribu tahun, garis keturunan keluarga Alvendra masih ada. Kamu bisa balik dan liat keturunan keluargamu."
Dirgha nggak nyangka kalau gurunya bener-bener udah nyiapin semuanya. Jelas banget dia bener-bener pengen ngusir dia. Semuanya udah dipersiapin dengan matang!
"Perintah guru, murid nggak berani ngeyel."
"Kalau guru nyuruh aku pergi, meskipun sebenernya berat banget, aku cuma bisa nurut."
"Semoga guru tetep bisa hidup bahagia walaupun sendirian. Kalau gitu, aku juga bisa ngerasa tenang."
Ngeliat ekspresi serius Dirgha yang jarang keliatan, Dyah Kirana cuma bisa ngehelah napas dalam hati. Gimanapun juga, bocah ini udah ada di sampingnya selama sepuluh ribu tahun. Masa iya dia nggak punya sedikit pun perasaan?
"Pergi aja. Kamu udah bareng aku dari umur enam tahun dan jarang keluar."
"Inget, hati manusia itu licik. Jangan gampang percaya sama orang lain."
Abis ngomong gitu, Dyah Kirana agak nyesel. Apa peringatan ini kelewat? Soalnya bocah ini emang licik juga!
"Baik, guru,"
Dirgha jawab dengan serius, ngenatap Dyah Kirana dengan tatapan tulus, bikin Dyah Kirana ngernyit.
Kenapa dia masih di sini?
Nunggu apa lagi?
"Aku tau kamu berat buat pisah, tapi perpisahan itu nggak bisa dihindarin. Pergi sana."
"Baik, Guru!"
Nada suara dan jawaban yang sama persis, tapi Dirgha masih berdiri di tempatnya tanpa gerak sedikit pun.
"Kamu masih ada urusan?" tanya Dyah Kirana dengan curiga.
"Guru, kita udah bareng selama sepuluh ribu tahun."
"Aku tau."
"Aku bakal pergi sekarang."
"Aku juga tau."
"Abis perpisahan ini, entah kapan kita bisa ketemu lagi."
"Apa sebenernya yang pengen kamu omongin sih?!"
Kesabaran Dyah Kirana hampir abis, soalnya Dirgha terus muter-muter ngomongnya.
"Aku nggak bisa pergi dengan tangan kosong, kan?"
"Guru, harusnya anda ngasih sesuatu ke aku buat bekal, kan?"
Dyah Kirana tuh orang yang biasanya tetep tenang dalam situasi apa pun. Tapi kalo udah ngadepin muridnya yang satu ini, dia selalu ngerasa pengen mencekik lehernya.
Masalahnya, bocah ini nggak bisa tua dan nggak bisa mati.
Meskipun Dyah Kirana udah punya kekuatan yang nggak ada tandingannya di dunia, dia tetep nggak bisa ngapa-ngapain ke Dirgha.
"Selama sepuluh ribu tahun ini, kamu makan, minum, dan pake semua punyaku."
"Sekarang sebelum pergi, kamu masih mau ngembat barang-barangku juga?"
"Kamu emang murid yang 'baik' buatku."
"Makasih atas pujiannya, Guru. Tapi menurutku, anda tetep harus ngasih sesuatu ke aku sebagai tanda perpisahan."
Harus ngasih sesuatu?
"Apa maksud kata-katamu itu?"
"Guru, coba pikir deh. Sebagai murid anda, kalo aku pulang dengan tangan kosong, bukannya itu bikin malu anda juga?"
"Lagian, aku udah sepuluh ribu tahun nggak balik ke keluarga Alvendra. Kalo pulang dengan tangan kosong, itu rasanya nggak pantes."
"Selama sepuluh ribu tahun ini, aku selalu ada di samping anda. Aku bener-bener nggak punya apa-apa."
Nggak punya apa-apa?
Dyah Kirana ketawa dingin dalam hati.
Bocah ini emang selalu bareng dia, tapi dia bukan bocah yang jujur dan penurut.
Dari waktu ke waktu, dia sering diam-diam kabur selama tiga sampe lima bulan buat seneng-seneng!
Walaupun barang berharganya nggak sebanyak punya Dyah Kirana, dia jelas nggak bisa dibilang "nggak punya apa-apa."
"Sudahlah!"
"Ambil ini."
Biar cepet ngusir bocah pembawa sial ini, Dyah Kirana nggak mau debat panjang lebar.
Dia langsung ngelemparin sebuah cincin penyimpanan ke Dirgha.
"Di dalemnya ada barang-barang berharga yang kukumpulin selama hampir seribu tahun. Semuanya itu benda luar biasa."
"Itu udah cukup buat bikin kamu keliatan berwibawa pas keluar dari sini."
Dyah Kirana ngomong dengan pasrah.
"Makasih, Guru."
Dirgha nerima cincin penyimpanan itu dengan senyum lebar. Dia simpen barang itu dengan puas banget.
Tapi abis itu, dia tetep berdiri di tempat, senyum-senyum tanpa ada niat buat pergi.
"Sekarang kamu mau apa lagi?!"
Dyah Kirana ngerasa marahnya udah mau meledak.
"Guru, Anda juga tau aku ini bodoh dan sama sekali nggak punya kekuatan."
"Dunia di luar sana tuh bahaya banget. Minimal Anda pikirin keselamatanku juga, dong?"
Bahaya?
Di dunia ini, masih ada yang lebih bahaya dari kamu?
Dyah Kirana natap dia dengan dingin dan bilang,
"Kamu lupa sifat aslimu sendiri?"
"Bahkan aku aja nggak bisa ngebunuh kamu!
Di seluruh dunia ini, nggak ada satu orang pun yang bisa nyakitin kamu, walau cuma sedikit!"
Nada suara Dyah Kirana udah penuh kejengkelan.
"Ini soal harga diri, Guru!"
"Coba pikir, siapa Anda dan siapa saya?"
"Emang saya nggak bisa mati, tapi kalo saya kalah dalam berantem, bukannya itu bikin malu?"
"Bukannya itu juga nyangkut nama baik Anda, Guru?"
Dirgha pasang muka seolah-olah semua ini dia lakuin demi nama baik Dyah Kirana.
"Ngomong aja! Sebenernya kamu mau apa lagi?!"
"He he, aku pengen bawa satu pengawal. Menurut Guru gimana?"
"Pengawal? Kamu mau aku jadi pengawalmu?"
"Murid mana berani nyusahin guru buat hal kayak gitu?"
"Aku pengen... Kilin."