Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Wiro Pendekar Harem

Wiro Pendekar Harem

Johnly Johny | Bersambung
Jumlah kata
36.0K
Popular
443
Subscribe
85
Novel / Wiro Pendekar Harem
Wiro Pendekar Harem

Wiro Pendekar Harem

Johnly Johny| Bersambung
Jumlah Kata
36.0K
Popular
443
Subscribe
85
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurHarem21+Dewa Pedang
Terlahir sebagai anak ajaib, yang memiliki kekuatan sejak lahir, ternyata hingga dewasa, kekuatan Wiro tidak pernah berkembang. Keluarganya biarkan Wiro ditindas dan dianiaya oleh rekan sebaya yang kekuatannya lebih kuat darinya. Hingga saat Wiro hampir mati, seorang perempuan menemukannya dan memberikan ilmu agak lain. Dengan ilmu ini, tiap kali dia melakukan hubungan intim dengan wanita, maka kekuatannya akan naik berkali-kali lipat. Kekuatan Wiro naik pesat tiap kali dia enak-enakkan dengan para wanita dan Wiro menikmati ini
1 Wiro, Anak Ajaib yang Gagal Berkembang

Matahari baru saja terbit di ufuk timur ketika tangisan bayi menggema di kediaman keluarga Wiryono Dwipangga, sang Panglima Utama Kerajaan Kertagama. Namun bukan tangisan biasa yang terdengar pagi itu. Seluruh pelayan dan pengawal di rumah megah itu terpaku melihat bayi yang baru lahir itu memancarkan aura kekuatan yang luar biasa. Bidan yang menolong persalinan sampai terjatuh ke belakang karena terkejut.

"Panglima! Putra Anda... putra Anda lahir sudah memiliki tenaga dalam setara dengan tingkat kelima Tahap Pembentukan Tubuh!" seru bidan itu dengan suara bergetar.

Wiryono yang sedang mondar-mandir di luar kamar segera menyerbu masuk. Matanya membulat melihat bayinya yang masih berlumuran darah tapi sudah memancarkan cahaya samar di sekujur tubuhnya. Ini pertanda kekuatan tenaga dalam yang sudah terbentuk sempurna sejak lahir, sesuatu yang bahkan tidak pernah tercatat dalam sejarah Kerajaan Kertagama.

"Wiro... kau akan kuberi nama Wiro," gumam Wiryono dengan mata berkaca-kaca. "Nama yang berarti pahlawan sejati."

Berita tentang kelahiran ajaib itu menyebar dengan cepat ke seluruh Kota Singaparna. Para tetua dan ahli tenaga dalam berdatangan untuk menyaksikan sendiri bayi ajaib itu. Salah satunya adalah Eyang Prabu Santosa, seorang peramal ulung yang sudah mencapai Tahap Pembentukan Inti tingkat sembilan.

Eyang Prabu menatap lama bayi Wiro, kemudian mengangguk-angguk dengan senyum lebar. "Anak ini... anak ini akan menjadi legenda! Saya ramalkan dalam waktu lima tahun saja dia sudah akan mencapai Tahap Pembentukan Fondasi. Sepuluh tahun lagi, Tahap Pembentukan Inti bukanlah mimpi!"

Teriakan kegembiraan meledak di seluruh kediaman. Wiryono sampai mengadakan pesta besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Semua orang memuji-muji keberuntungan keluarga Wiryono. Bahkan Raja Kertagama sendiri mengirimkan hadiah berupa pusaka keris dengan warangka emas.

Tapi seperti kata pepatah, harapan dan kenyataan kadang berjarak sangat jauh.

***

Sembilan belas tahun kemudian, Wiro berdiri di tengah lapangan latihan dengan senyum lebar di wajahnya meski baju latihannya robek di sana-sini. Di sekelilingnya, sekelompok pemuda sebayanya tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya.

"Hahahaha! Lihat si genius yang katanya akan menjadi legenda!" teriak salah satu pemuda bernama Bambang. "Masih saja di tingkat kelima Tahap Pembentukan Tubuh! Bahkan adik sepupuku yang berumur lima belas tahun sudah melewatimu!"

"Betul, betul!" sahut pemuda lain. "Pantas saja keluarganya malu. Dengar-dengar ayahnya sampai tidak mau mengajarinya lagi karena itu cuma sia-sia!"

Wiro hanya tersenyum sambil membersihkan debu di wajahnya. "Kalian ini lebay banget sih. Aku kan masih muda, masih ada waktu untuk berkembang. Lagipula, lebih baik lambat asal selamat kan?"

"Selamat apanya! Kau bahkan tidak kemana-mana!" ledek pemuda bernama Joko sambil mendorong bahu Wiro. "Coba tunjukkan kalau kau memang ada gunanya!"

Wiro mundur beberapa langkah karena dorongan itu, tapi dia tetap tertawa. "Wah, kalau aku tunjukkan kemampuanku nanti kalian pada iri lho. Aku kan ganteng, baik hati, ramah, dan punya ayah yang kaya. Kalau aku juga kuat, kalian mau hadapi hidup kalian gimana, hayo?"

Bambang dan kawan-kawannya malah semakin kesal mendengar jawaban santai Wiro. Mereka sudah sering memukuli Wiro dalam beberapa tahun terakhir, berharap anak dari Panglima Wiryono itu akan marah dan menunjukkan kekuatan tersembunyinya. Tapi sampai sekarang, Wiro hanya tertawa-tawa saja seperti orang yang tidak waras.

Yang membuat mereka lebih berani adalah sikap keluarga Wiro sendiri. Wiryono dan istrinya, Dewi Kusuma, sama sekali tidak pernah membela Wiro ketika dia dipukuli. Bahkan ketika Wiro pulang dengan mata lebam dan bibir berdarah, ayahnya hanya menatap dengan tatapan dingin lalu pergi begitu saja.

Padahal Wiryono adalah Panglima Utama. Satu kata darinya bisa membuat siapa saja di Kota Singaparna gemetar ketakutan. Tapi untuk anaknya sendiri, dia membiarkan saja perlakuan kasar itu terjadi. Konon katanya ini adalah cara Wiryono untuk memancing kekuatan tersembunyi Wiro agar bangkit.

"Sudah, jangan buang-buang waktu dengan sampah ini," kata Bambang akhirnya sambil meludah ke tanah. "Ayo kita latihan yang benar."

Setelah kelompok pemuda itu pergi, Wiro menghela napas panjang sambil memijat lengannya yang lebam. "Aduh, sakit juga ya pukulan Bambang tadi. Kayaknya dia sudah naik ke tingkat enam Tahap Pemurnian Tubuh deh. Hebat juga."

"Tuan muda, kenapa Tuan muda selalu membiarkan mereka memukuli Tuan muda seperti ini?" tanya seorang gadis cantik yang tiba-tiba muncul dari balik pohon.

Dia adalah Paramita, pelayan pribadi Wiro yang sudah mengikutinya sejak kecil. Usianya delapan belas tahun, setahun lebih muda dari Wiro, dengan wajah yang manis dan mata yang selalu memancarkan kekhawatiran setiap kali melihat majikannya terluka.

Wiro meringis sambil tersenyum. "Mita, kalau aku melawan mereka, bukannya menang malah tambah babak belur nanti. Mending aku terima saja dengan ikhlas. Kan kata orang bijak, rezeki tidak akan kemana."

(Apa hubungannya coba? Mungkin Wiro sudah terlalu banyak dipukul sehingga omongannya ngawur atau bisa saja penulisnya yang ngawur karena lagi ingat mantan. Hadeuh. Jadi curhat.)

"Tapi Tuan muda selalu terluka seperti ini..."

"Ah, luka ini mah cuma luka di luar. Yang penting luka di dalam hati tidak ada," jawab Wiro sambil menepuk dadanya. "Aku selalu bahagia kok. Lihat, aku masih bisa tersenyum begini."

Paramita menggeleng-gelengkan kepala. Dia sudah lama kenal dengan Wiro dan tahu kalau pemuda ini memang memiliki sifat yang aneh. Di tengah penderitaan dan hinaan, Wiro tetap bisa tertawa dan bercanda. Entah itu karena dia memang tegar atau karena dia sudah menyerah pada nasib.

"Sudah yuk pulang, Mita. Aku lapar nih. Tadi pagi belum sempat sarapan karena langsung diseret ke lapangan sama Bambang dan gengnya," kata Wiro sambil merangkul bahu Paramita dengan santai.

"Tuan muda ingin makan apa? Biar nanti Mita yang buatkan."

"Kamu bisa buat cheese burger, nggak?"

"Apa itu, tuan muda?"

"Aku juga gak tahu. Penulisnya lagi gabut. Jaman kuno kok nulis cheese burger. Hadeh." Protes Wiro sambil melotot. Penulis buku ini pura-pura gak lihat.

Karena dipeluk tuan mudanya, Paramita merona merah. Meski Wiro lemah dan menjadi bahan ejekan semua orang, tapi bagi Paramita, pemuda ini tetap adalah orang yang paling istimewa. Sifatnya yang ceria, kebaikannya yang tulus, dan senyumnya yang tidak pernah hilang membuat Paramita jatuh cinta sejak lama. Tapi tentu saja dia tidak pernah berani mengatakannya.

***

Kediaman keluarga Wiryono adalah rumah yang megah dengan halaman luas dan pagar tinggi. Ada puluhan pelayan dan pengawal yang bekerja di sana. Tapi ketika Wiro melewati mereka, tidak ada yang menyapa dengan hormat. Bahkan beberapa pelayan malah berbisik-bisik sambil melirik dengan pandangan meremehkan.

"Dasar anak gagal," gumam seorang pengawal muda. "Malu-maluin keluarga besar Wiryono saja."

Wiro mendengar itu tapi dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan. "Selamat pagi, Paman Karso! Wah, kumisnya tambah lebat ya! Keren!"

Karso yang dipuji malah cemberut dan berpaling.

Wiro hanya mengangkat bahu lalu melanjutkan berjalan.

Di ruang makan, ayahnya sedang duduk sambil membaca gulungan surat. Wiryono adalah pria paruh baya dengan postur tubuh tegap dan aura yang menakutkan. Janggutnya yang lebat dan matanya yang tajam membuat siapa saja yang menatapnya merasa seperti ditatap oleh harimau yang siap menerkam.

"Selamat pagi, Ayah!" sapa Wiro dengan ceria sambil masuk.

Wiryono hanya melirik sekilas lalu kembali membaca suratnya tanpa menjawab. Di sebelahnya, ibunya Dewi Kusuma juga duduk sambil menyeruput teh. Wanita cantik berusia empat puluh tahun itu menghela napas panjang ketika melihat Wiro.

"Wiro, kamu berkelahi lagi, ya?" tanya Dewi Kusuma dengan nada datar.

"Bukan berkelahi, Bu. Cuma latihan sedikit dengan teman-teman," jawab Wiro sambil duduk dan langsung menyambar sepiring nasi uduk yang sudah disiapkan Paramita.

"Latihan apa yang membuat wajahmu lebam seperti itu?" sergah Dewi Kusuma. "Kau ini... sampai kapan kau akan terus begini?"

Wiro mengunyah nasinya dengan lahap. "Aku juga tidak tahu, Bu. Mungkin sampai aku tua nanti."

"Dasar tidak tahu malu!" bentak Wiryono tiba-tiba sambil membanting gulungan suratnya ke meja. "Sudah sembilan belas tahun tapi kau masih saja di tingkat kelima Tahap Pembentukan Tubuh! Aku sudah mengajarimu ratusan jurus, memberimu ratusan buku ilmu tenaga dalam, tapi semuanya sia-sia! Kau membuat malu nama keluarga kita!"

Lanjut membaca
Lanjut membaca