Mentari pagi menyapa lembut lereng Gunung Tangkuban Perahu, cahayanya menyelinap di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi.
Kabut tipis masih bergelayutan di lembah, memberikan kesan magis pada gunung yang menyimpan legenda Sangkuriang.
Di salah satu puncaknya yang terjal, dengan bebatuan vulkanik yang menghitam dan kawah yang menganga di kejauhan, berdirilah dua sosok yang auranya mampu membuat bulu kuduk siapapun meremang.
Sosok pertama, Dewa Petir. Tubuhnya meski tak lagi muda, masih tegap dan berwibawa.
Sorot matanya tajam bagai kilat yang membelah kegelapan, memancarkan kekuatan yang tersembunyi namun mematikan.
Janggutnya yang putih panjang tergerai tertiup angin pagi, menambah kesan kuno dan sakti.
Di punggungnya tersampir jubah berwarna ungu gelap, sesekali memancarkan percikan energi samar saat bergerak.
Tongkat kayu dewata yang selalu menemaninya tertancap kokoh di sisinya, seolah menyalurkan kekuatan bumi.
Tak jauh darinya, berdiri sosok kedua, Dewa Angin. Perawakannya lebih ringan dan lincah. Gerakannya halus bagai hembusan angin, namun menyimpan kekuatan yang tak terduga.
Matanya seteduh langit biru, namun menyimpan kedalaman pengalaman pahit manis dunia persilatan. Rambutnya yang putih panjang terurai bebas, menari-nari ditiup angin pegunungan.
Jubah hijau lumut yang dikenakannya tampak berkibar tanpa henti, seolah menyatu dengan hembusan angin yang membelainya.
Di tangannya tergenggam sebilah kipas pusaka, bukan sekadar alat penyejuk, namun senjata mematikan yang mampu menciptakan badai.
Dua legenda yang namanya telah menjadi cerita bisu di kalangan pendekar muda, kini berdiri berhadapan.
Persahabatan yang terjalin puluhan tahun, rasa hormat yang tak pernah pudar, kini seolah terpinggirkan oleh gejolak hasrat untuk menguji batas kemampuan diri.
Di usia yang mendekati satu abad, semangat mereka untuk terus mengasah diri tak pernah surut.
“Sudah lama sekali, sahabatku,” suara Dewa Angin memecah keheningan pagi, lembut namun mengandung getaran kekuatan dalam.
Dewa Petir mengangguk pelan. “Benar, Dewa Angin. Alam telah memberikan kita kekuatan yang luar biasa. Namun, seperti sungai yang terus mengalir, kekuatan itu pun perlu diuji, dibuktikan.”
“Kau benar,” balas Dewa Angin, menggerakkan kipasnya perlahan. “Dan tempat ini… puncak gunung yang menyaksikan amarah Sangkuriang, rasanya pantas menjadi saksi pertarungan kita.”
Tanpa kata lagi, keduanya mengambil posisi. Aura kekuatan yang terpancar dari tubuh mereka semakin kuat, menggetarkan udara di sekitar.
Pepohonan di dekat mereka mulai bergoyang tanpa ada angin kencang, bebatuan kecil bergetar. Alam seolah menahan napas, menunggu dimulainya bentrokan dua kekuatan dahsyat.
Dewa Petir adalah yang pertama bergerak. Dengan raungan tertahan, ia mencabut tongkat dewata dari tanah.
Seketika, langit yang tadinya cerah mulai berawan gelap. Guntur menggelegar jauh di angkasa, seolah menyambut kedatangan sang penguasa petir.
Kilatan cahaya menyambar-nyambar di sekitar tongkatnya, memancarkan energi yang siap dilepaskan.
“Bersiaplah, sahabat!” seru Dewa Petir, mengayunkan tongkatnya ke depan.
Duaarrr!
Suara petir yang memekakkan telinga mengguncang puncak gunung.
Bola-bola energi listrik berwarna biru keunguan melesat cepat menuju Dewa Angin, meninggalkan jejak cahaya yang membakar udara.
Tanah di bawah kaki Dewa Petir retak-retak akibat kekuatan yang dahsyat.
Dewa Angin tidak tinggal diam. Kipas pusakanya berputar dengan kecepatan yang mencengangkan, menciptakan pusaran angin di sekelilingnya.
Angin bertiup semakin kencang, membentuk dinding tak kasat mata yang menghadang serangan petir.
Wussssh! Braaakk!
Bola-bola petir menghantam dinding angin dengan ledakan keras.
Beberapa di antaranya berhasil menembus, namun kehilangan sebagian besar kekuatannya sebelum mencapai Dewa Angin.
Dengan gerakan lincah, ia melompat ke samping, menghindari sisa-sisa energi listrik yang menyambar bebatuan di tempatnya berdiri.
“Kau semakin lihai mengendalikan amarah langit, Dewa Petir!” seru Dewa Angin, sambil terus memutar kipasnya.
“Kau pun tak kalah hebat dalam menaklukkan hembusan semesta, Dewa Angin!” balas Dewa Petir, kembali mengayunkan tongkatnya.
Kali ini, bukan hanya bola petir, melainkan sambaran kilat yang dahsyat menghujani area di sekitar Dewa Angin.
Dewa Angin melesat bagai burung elang yang menukik.
Kipasnya ia kibaskan dengan gerakan memutar, menciptakan badai angin lokal yang berpusat di sekelilingnya.
Angin bertiup dari segala arah, membentuk tornado mini yang meliuk-liuk, menangkis sambaran kilat dan bahkan membelokkannya ke arah lain.
Pepohonan di sekitar mereka tumbang dengan suara gemeretak, dedaunan beterbangan seperti hujan.
Pertarungan semakin sengit.
Dewa Petir terus menyerang dengan kekuatan petirnya yang tak terbatas, menciptakan kawah-kawah kecil di tanah dan membakar semak belukar.
Dewa Angin dengan kelincahannya terus menghindar, memanfaatkan setiap hembusan angin untuk bergerak dan menyerang balik dengan pusaran angin yang mampu merobohkan batu-batu besar.
Hari pertama pertarungan berlalu dengan dahsyat. Langit Tangkuban Perahu terus bergemuruh dan berkilat.
Malam harinya, meskipun rembulan mencoba mengintip di antara awan gelap.
Cahaya petir yang sesekali menyambar dan pusaran angin yang tak pernah berhenti menciptakan pemandangan yang menakutkan sekaligus memukau.
Memasuki hari kedua, intensitas pertarungan tidak menurun sedikit pun.
Dewa Petir mulai menggunakan teknik yang lebih tinggi.
Ia mampu memanggil hujan petir yang menghujani seluruh puncak gunung, setiap tetesnya mengandung energi listrik yang mematikan.
Dewa Angin tak gentar. Ia merentangkan kedua tangannya, memusatkan seluruh kekuatannya untuk menciptakan perisai angin raksasa yang melengkung di atas mereka, menahan gempuran hujan petir.
Srrraaaakkkk! Bummm!
Suara benturan petir dengan perisai angin terdengar bagai dentuman meriam yang tak henti-hentinya.
Tanah di bawah perisai bergetar hebat, namun perisai itu tetap kokoh, membuktikan kekuatan pengendalian angin Dewa Angin yang luar biasa.
Pertarungan berlangsung selama berhari-hari. Tujuh hari tujuh malam tanpa henti. Keduanya saling mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik mereka.
Dewa Petir mampu menciptakan bola petir raksasa sebesar rumah, sementara Dewa Angin mampu memanggil angin topan yang memporak-porandakan seisi puncak gunung.
Pemandangan di puncak Tangkuban Perahu telah berubah drastis.
Pohon-pohon tumbang dan tercabik-cabik, bebatuan besar hancur menjadi serpihan kecil, tanahnya menghitam bekas sambaran petir dan tererosi oleh terjangan angin kencang.
Kawah di kejauhan tampak berasap lebih hebat dari biasanya, seolah ikut merasakan gejolak pertarungan dua pendekar sakti.
Di hari ketujuh, kekuatan keduanya mulai menunjukkan penurunan. Serangan-serangan mereka tidak lagi sekuat dan secepat sebelumnya.
Tubuh mereka penuh luka dan memar, jubah mereka robek di beberapa bagian. Namun, semangat untuk menguji diri hingga batas akhir masih membara di mata mereka.
Saat senja mulai merayap, Dewa Petir melancarkan serangan terakhirnya. Ia mengumpulkan seluruh sisa energinya, memanggil petir terkuat yang pernah ia kendalikan.
Kilatan cahaya putih menyilaukan membutakan mata, diikuti dengan suara gemuruh yang memecah gendang telinga.
Bola energi petir sebesar gunung kecil meluncur deras menuju Dewa Angin.
Dewa Angin menyambut serangan itu dengan senyuman tipis.
Ia merentangkan kedua tangannya ke samping, kemudian menariknya ke depan dengan gerakan menyapu.
Angin dari segala penjuru berpusat di hadapannya, membentuk pusaran angin hitam yang pekat, berlawanan arah dengan bola petir.
Wussssh! Braaaaaakkkkkk!
***