

“Sudah dengar belum? Si roh gagal itu ikut ujian lagi kali ini!”
“Ya, entah siapa yang akan beruntung kali ini. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti naik tingkat tanpa susah payah!”
“Benar juga! Aku heran, apa dia memang cenderung suka disakiti? Sudah gagal berkali-kali tapi tetap gigih begitu!”
Ren Solarian hanya mendengarkan ejekan di sekitarnya dengan wajah datar. Ia tahu orang-orang itu berbicara keras-keras memang agar ia mendengar. Tapi selain menjaga ketenangan, ia tak bisa berbuat apa pun. Ia hanya mempercepat langkah, menjauh dari kerumunan.
Di tepi tebing tinggi, di bawah langit biru yang berawan, Ren duduk seorang diri. Ia berbaring menatap awan putih yang perlahan melayang di atas, lalu berkata datar.
“Sudah datang, bukan? Keluarlah, pak tua.”
Tiba-tiba, muncullah seorang pria tua berpakaian jubah berwarna hijau. Tubuhnya kurus seperti batang kering, wajahnya dipenuhi keriput yang menggumpal seperti bunga krisan yang mekar. Ia berdiri goyah, menggaruk sana-sini tanpa malu, matanya tampak keruh tapi di kedalamannya memancarkan cahaya tajam yang tak bisa dijelaskan.
Saat pertama kali bertemu pria tua itu, Ren sempat mengira ia seorang pertapa sakti yang bermain-main di dunia fana. Namun kemudian ia sadar bahwa dirinya salah besar.
“Heh, bocah, kepekaan spritualmu meningkat lagi! Kali ini ikut aku mencari harta, tempatnya luar biasa.”
“Sudahlah, Kakek, aku tak akan tertipu lagi. Pertama kali kau bilang mau cari harta, ternyata cuma mengintip murid perempuan mandi. Sejak itu aku bersumpah tak akan percaya padamu lagi. Sekalipun air mengalir ke atas dan besi berbunga, aku tetap tak akan ikut! Dan setiap kali ketahuan, kau pasti kabur duluan, meninggalkanku menanggung akibatnya!”
Pria tua itu sama sekali tidak malu. Ia malah menatap Ren dari kepala sampai kaki, tersenyum menyebalkan, lalu pergi tanpa berkata apa pun.
Ren mendengus kesal. Setiap kali pria tua itu menatapnya seperti itu, tubuhnya terasa geli campur jijik, seolah disentuh jari-jari tulang kering. Apalagi setiap kali si tua itu tertawa kecil dengan suara “hehe” khasnya, Ren selalu ingin melempar batu ke kepalanya. Ia bahkan mulai curiga apakah pria tua itu punya kelainan.
Turun dari puncak, Ren menyusuri jalan kecil menuju gubuknya. Di sepanjang jalan, tatapan dan bisikan para murid lain terus mengiringinya. Begitu masuk ke kamar kecil berukuran tak lebih dari dua puluh meter persegi, ia duduk di ranjang dan mulai bermeditasi.
Berkali-kali ia mencoba menembus tahap pertama, namun setiap kali mencapai titik penting, energi spiritualnya selalu lenyap tanpa sebab. Setelah sekian kali gagal, ia hanya bisa tersenyum pahit dan berbaring untuk memulihkan diri. Meski kepekaan Spritualnya sedikit meningkat, ia sama sekali tidak merasakan adanya kekuatan baru dalam tubuhnya.
Sudah tiga tahun Ren tinggal di sekte itu, Sekte Kabut Awan, sebuah sekte kecil yang nyaris tak dikenal di Benua Awan Kuning. Dalam dunia ini, para kultivator dibagi ke dalam sepuluh tingkat. Tingkat pertama adalah awal dari segalanya; setelah menembus sepuluh tingkat, seseorang akan menjadi Suci. Di atasnya adalah mereka yang mampu memecah ruang dan menembus ke alam para dewa.
Namun jauh di lubuk hatinya, Ren selalu merasa geli mendengar pembagian itu, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang menertawakan sistem kekuatan dunia ini, menganggap semua tingkatan itu tidak berarti.
Ia berasal dari sebuah desa kecil. Orang-orang tua di sana berkata bahwa mereka adalah keturunan dari Klan Seratus. Tapi tentang asal-usul klan itu, tidak ada yang mau menjelaskan. Ia tidak tahu siapa orang tuanya, apakah ia punya saudara, bahkan usianya pun tidak pasti. Setiap kali ia bertanya, para tetua hanya tersenyum aneh, senyum yang membuatnya merinding.
Ren merasa hanya dirinya yang normal di desa itu. Karena kepekaan Spritualnya yang tinggi, ia selalu bisa merasakan getaran aneh ketika orang-orang desa menyebut tentang “Zaman Purba”. Saat itu, mereka seolah dipenuhi rasa bangga, tapi juga gentar, suatu perasaan yang sulit dijelaskan, seolah darah mereka mengandung kekuatan yang berasal dari masa tak terhingga.
Dari cerita orang luar, Ren tahu bahwa zaman purba telah berakhir lebih dari sepuluh ribu tahun lalu. Dunia terus berganti, legenda tentang para tokoh purba pun perlahan menghilang. Kadang terdengar kabar ada seorang tua yang menembus langit menuju dunia lain, atau jenius muda yang mengguncang seluruh benua, atau sekte besar yang menemukan murid berbakat seratus tahun sekali. Semua itu terdengar jauh baginya.
Dulu, di desanya, hidup berjalan sederhana, bekerja di ladang saat matahari terbit, beristirahat saat matahari terbenam. Hingga tiga tahun lalu, penduduk desa mengantarnya naik ke gunung untuk masuk Sekte Kabut Awan. Mereka hanya berpesan agar ia mengikuti ujian tahunan selama tiga tahun penuh, dan baru boleh turun gunung setelahnya. Sejak itu, mereka tak pernah datang menjenguk.
Ujian tahunan sekte terbagi menjadi tiga tahap. Dua tahap pertama dilakukan di pegunungan luas. Para tetua menyembunyikan benda khusus di dalam hutan, dan siapa pun yang menemukannya serta bertahan selama sepuluh hari akan dianggap lulus. Tahap ketiga adalah pertarungan antar murid.
Dengan kepekaan spritualnya, Ren selalu berhasil melewati dua tahap pertama meski kekuatannya hanya tingkat satu. Namun di tahap ketiga, ia tak pernah punya peluang menang. Karena itulah, ia mendapat julukan Roh Tingkat Satu yang Gagal.
Ia tidak tahu kenapa tidak bisa menembus batas itu. Padahal, bakat dan fondasinya sangat baik. Tapi seolah ada sesuatu yang mengurung kekuatannya dari dalam.
Lebih aneh lagi, Ren hanya memiliki ingatan tiga tahun terakhir. Sebelum itu, pikirannya kosong. Ia pernah bertanya kepada penduduk desa, namun tak pernah mendapat jawaban, hanya senyum aneh yang sama. Pernah suatu kali, seorang peramal tua berkata kepadanya.
“Tiga tahun lagi... Batu Reinkarnasi akan muncul kembali.”
Setelah itu, seolah semua orang melupakannya. Tak ada satu pun yang datang menemuinya di gunung. Untung masih ada pria tua mesum itu, meski kehadirannya lebih sering membawa masalah daripada hiburan.
Setiap kali Ren selesai bermeditasi, pria tua itu akan muncul seperti jam yang tak pernah terlambat. Maka kali ini pun, Ren membuka pintu dan menunggu, berharap tidak ada masalah baru.
Tak lama kemudian, pria tua itu muncul. Kali ini tampaknya sendirian, tidak dikejar murid perempuan seperti biasanya.
“Katakan saja, Kakek,” tanya Ren datar sambil menuang air. “Masalah apa lagi kali ini?”
“Bocah, apa aku terlihat seperti orang yang hanya datang kalau ada masalah?”
Ren menatapnya mantap dan mengangguk.
“Setelah ujian kali ini,” katanya, “aku akan pergi dari sini. Kakek jaga diri baik-baik. Jangan buat ulah lagi, karena nanti tak ada aku yang menanggung akibat untukmu.”
Pria tua itu hanya terkekeh, lalu berjalan mengelilingi ruangan. Tiba-tiba langkahnya berhenti. Wajahnya berubah serius, dan aura di tubuhnya mendadak berbeda, hening, tapi agung.
Dalam pandangan Ren, pria tua itu tampak seperti sosok besar yang berdiri di antara langit dan bumi. Langit di atas terasa bergetar. Udara berubah berat. Ia menatap ke atas, dan di sana muncul wajah raksasa di antara awan. Pria tua itu mengangkat tangannya dan menarik langit ke bawah, seolah hendak merobek dunia. Langit bergetar hebat, wajah raksasa itu tampak ketakutan, lalu murka. Pria tua itu meninju ke atas, dan seluruh langit seketika retak seperti kaca pecah.
Di tengah kehancuran itu, terdengar suara samar bergema di telinga Ren:
“...Bersama... kau adalah rekan seperjuangan-Ku... Aku adalah Raja Penakluk... Aku akan kembali...”
Saat kesadarannya pulih, pria tua itu sudah menghilang. Ren berusaha mengingat setiap detailnya, tapi semuanya kabur. Siapa wajah di langit itu? Siapa pria tua itu sebenarnya? Mengapa ia menyebut dirinya Raja Penakluk?
Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalanya tanpa jawaban.
“Sudahlah,” gumamnya. “Tiga tahun hampir berlalu. Ketika waktunya tiba, mungkin semuanya akan terjawab.”
Ia berbaring di tempat tidur, mencoba tenang. Namun tangannya menyentuh sesuatu yang lembut. Saat ditarik, ternyata itu sepotong pakaian dalam wanita, masih harum dan bersih, hanya saja ada bekas cap tangan hitam di bagian bawahnya.
Ren langsung tahu siapa pelakunya.
“Dasar kakek mesum...” geramnya.
Ia segera membungkus benda itu dengan kain usang dan berlari keluar untuk membakarnya, takut tertuduh lagi. Dalam hati ia bersumpah, jika suatu hari nanti ia cukup kuat untuk menangkap pria tua itu, ia akan menghajarnya sampai puas, sebagai balas dendam atas “perlakuan” yang diberikan selama tiga tahun ini.