Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Sang Raja Neraka

Sang Raja Neraka

MinZimi | Bersambung
Jumlah kata
72.2K
Popular
180
Subscribe
86
Novel / Sang Raja Neraka
Sang Raja Neraka

Sang Raja Neraka

MinZimi| Bersambung
Jumlah Kata
72.2K
Popular
180
Subscribe
86
Sinopsis
18+PerkotaanAksiGangsterMafiaBalas Dendam
Dulu, Revan hanyalah bocah lemah dari Neraka Kecil. Hingga kematian ibunya dan pengkhianatan mengubahnya menjadi penguasa dunia bawah tanah. Kini, saat ia hampir menguasai segalanya, hadir seorang gadis luar bernama Liora Valeska, yang tanpa sadar menembus pertahanannya. Tapi di balik itu, masa lalu mulai terkuak, mengarah pada sosok yang diam-diam membentuk dan mengkhianatinya sejak awal. Revan pun harus memilih, membalas dendam atau menyelamatkan sisa terakhir dari dirinya sendiri.
1. Neraka yang Disebut Rumah

“Patahkan tangannya. Biar mereka ingat siapa yang punya jalanan ini!”

“Akhhh!”

Jeritan menggema lebih dulu sebelum langkah Revan terdengar. Bunyi tulang yang retak memantul di antara tembok lembab dan coretan penuh makian. Darah mengalir ke selokan, bercampur lumpur dan air kencing tikus kota.

Lalu dia datang.

Langkah-langkah Revan Vellare menggema seperti dentang kematian di lorong beton penuh bayangan dan bau busuk. Setiap hentakan sepatunya seakan menekan tenggorokan kota. Tak ada yang berani menatap. Bahkan suara napas pun ditahan.

“Revan datang,” bisik salah satu dari mereka. “Jangan cari masalah!”

Tak perlu teriakan, tak perlu ancaman. Mendengar nama Revan Vellare sudah cukup untuk membuat siapa pun menggigil. Anak-anak jalanan menyebutnya sebagai Anak Neraka. Nama itu bukan sekedar karena ia kejam tanpa sebab, tapi karena dunia yang membuatnya begitu.

Tubuh Revan tak lagi kurus dan kecil. Ia juga tak lagi takut.

Di tangannya tergenggam rantai besi berkarat, lambang kekuasaan yang direbutnya dari pemimpin lama. Darah, pengkhianatan, dan ketegasan adalah mata uang untuk naik ke atas di kota ini. Revan telah membayar lunas, berkali-kali lipat itu.

Ia berdiri di tepi atap bangunan tua, memandangi hiruk-pikuk lampu kota yang temaram. Neraka Kecil, begitu mereka menyebut distrik ini. Tempat hukum tak berlaku, tempat keadilan dibeli dan dikubur bersama para pengemis.

“Apa kita langsung serang mereka malam ini, Van?” tanya seseorang di belakang Revan.

Dia adalah Bara Bentala, anak buah setia Revan. Pria itu berdiri dengan punggung tegak, dan tatapan sama tajamnya dengan Revan.

Revan tak menjawab. Pandangannya masih terpaku pada satu titik di kejauhan. Tempat ibunya dibakar hidup-hidup oleh para penagih utang sepuluh tahun lalu.

Tempat itu menjadi saksi bisu di mana dunia pertama kali menunjukkan taringnya. Tempat itu juga dia dihabisi sebagai anak yang tak sempat tumbuh.

Dulu, Revan hanyalah seorang bocah dekil yang memohon ampun sambil menggenggam abu ibunya. Ia dituduh tanpa bukti, dipukuli, diborgol secara paksa, dan dibuang ke panti tahanan seperti sampah. Tak ada yang membela. Tak ada yang peduli padanya.

Sekarang?

Sekarang giliran dia yang memutuskan siapa yang hidup dan siapa yang mati.

“Belum,” ujar Revan dengan dingin. “Belum malam ini.”

Bara mengangguk cepat, tak berani bertanya lebih jauh lagi.

Revan menghela napas. Tangannya meremas rantai itu lebih erat. Suara berderak terdengar pelan seperti peringatan bagi siapa pun yang berani menghadapinya.

Dendamnya sama sekali belum mati, dan luka itu tak kunjung sembuh. Tapi Revan sudah belajar satu hal saat berada di dalam penjara dulu. Untuk hidup, ia harus memanipulasi semuanya. Setiap emosi yang menyakitkan, setiap kenangan yang menghantui, ia ubah menjadi senjata.

Tak ada yang lebih tajam dari kebencian yang dipupuk selama bertahun-tahun. Tak ada yang lebih mematikan daripada seorang yang tak lagi takut kehilangan apa pun.

Revan menoleh ke arah Bara, yang masih berdiri dengan punggung tegak.

“Kita bergerak besok malam,” katanya.

Suara itu serupa desisan ular. “Biarkan mereka berpikir mereka aman. Ketika mereka mulai meremehkan, kita ambil semuanya!”

Bara mengangguk lagi. Kali ini terlihat seringaian tipis di wajahnya. Ia sangat tahu, jika sekali Revan mengatakan sesuatu maka tak ada yang bisa mengubah dan menghentikannya.

Revan melangkah mudur, menyandarkan tubuhnya ke tembok dingin. Dendam itu menggerogotinya tiap saat. Tapi, justru itu membuatnya lebih kuat.

Malam ini, masih ada banyak yang harus dibayar. Tak ada yang bisa bebas di kota ini. Revan tahu itu lebih baik dari siapa pun.

Dengan satu langkah, ia menuruni tangga darurat, diikuti Bara. Setiap langkah menuruni besi tua yang berdecit terdengar seperti lonceng kematian. Di bawah, di gang sempit yang hanya diterangi lampu neon berkedip, dua geng kecil tengah berjudi dan tertawa. Mereka tak sadar ajal sedang mendekat.

"Target visual. Tiga belas orang. Empat bersenjata tajam, sisanya tangan kosong," bisik Bara, matanya menyapu sekeliling dengan cepat.

"Tak usah hitung," desis Revan. "Mereka semua mati malam ini."

Tanpa aba-aba, Revan meloncat turun ke tanah, suara benturan sepatunya seperti palu godam di tengah keheningan. Detik berikutnya, Bara menyambar dua dari mereka dengan pentungan baja, menghantam kepala yang langsung remuk dengan suara menjijikkan. Otak dan darah muncrat ke dinding gang.

“Apa-apaan ini?!” teriak salah satu anggota geng, baru berdiri setengah ketika rantai berkarat Revan melilit lehernya dan ditarik dengan brutal. Leher itu patah dalam sekali jerat.

Bara bergerak cepat, menebas pergelangan tangan salah satu musuh dengan parang kecil yang diselipkan di pinggang. Orang itu menjerit, tapi suaranya tak sempat keluar penuh sebelum Revan menendang rahangnya hingga giginya beterbangan.

Tiga orang mencoba kabur ke arah belakang gang, tapi bom molotov yang dilempar Bara lebih dulu menghantam dinding, meledak dan melahap mereka dalam api. Jeritan mereka bercampur dengan bau daging terbakar, membuat para pejalan kaki yang melihat dari kejauhan hanya bisa membeku, tak berani ikut campur.

Revan bergerak seperti iblis. Tak ada gerakan sia-sia, tak ada belas kasihan. Darah menyembur dari wajah seorang pria seusianya yang memohon ampun, tapi Revan hanya menatapnya dingin.

“Kau ikut membakar ibuku hidup-hidup di sini, sepuluh tahun lalu,” katanya datar. “Kau pikir aku lupa?”

Kemudian ia memukulkan rantai ke wajah pria itu berulang kali sampai tengkoraknya retak dan darah mengalir membentuk sungai kecil di gang sempit.

Ketika semua selesai, hanya asap, darah, dan tubuh-tubuh tak bernyawa yang tersisa. Dinding penuh bercak merah. Bau logam dan daging gosong menguasai udara.

Bara mendekat. "Kita harus pergi sebelum polisi bayaran datang."

Revan hanya menatap kegelapan. "Biar mereka datang."

Ia melempar rantai ke tanah, berdentang pelan.

"Aku ingin mereka tahu. Neraka Kecil sekarang milikku!"

"Revan," panggil seseorang dari ujung gang, membuat Revan dan Bara menoleh secara bersamaan.

Matanya sedikit menyipit, mencoba melihat siapa orang yang datang mengganggunya itu. Sosoknya berdiri tenang di tengah kabut asap dan nyala api yang masih membakar sisa-sisa kekacauan. Jaket panjang hitam berkibar pelan, dan di tangannya tergenggam sesuatu. Itu bukan senjata, tapi topeng berlapis logam berlumur darah.

Langkah orang itu tenang, tak tergesa, seolah bau kematian yang memenuhi lorong ini tak ada artinya.

“Sudah lima tahun,” katanya, suaranya berat namun tak asing. “Kau tumbuh cepat, Van.”

Revan menajamkan pandangan. Bibirnya menegang. “Kau…”

Orang itu mendekat hingga wajahnya mulai terlihat jelas di bawah cahaya temaram. Rahang tajam, dan mata tajam yang dulu pernah ia percaya.

“Kenapa kau di sini, Alex?” tanya Revan, suaranya dingin tapi tak mampu menyembunyikan luka yang baru saja disayat ulang.

Alex menyeringai kecil, mengangkat topeng itu dan memutar-mutarnya di jari. “Untuk melihat sejauh mana kau berubah. Dan sejujurnya… aku cukup terkesan.” Dia menoleh ke tubuh-tubuh yang berserakan. “Tapi ini... terlalu cepat.”

Bara mulai siaga, langkahnya maju satu, tetapi Revan mengangkat tangan menghentikannya.

“Cepat?” Revan meludah ke tanah. “Aku bahkan terlambat.”

“Justru karena itu,” gumam Alex. “Kau membuat terlalu banyak suara, dan orang-orang di atas mulai tidak nyaman.”

Revan mendekat, hanya berjarak dua langkah dari Alex. Wajahnya tak gentar.

“Biarkan mereka tidak nyaman. Aku tak lagi tunduk pada siapa pun. Termasuk padamu.”

Alex tertawa kecil, lalu melempar topeng itu tepat di kaki Revan. “Kalau begitu, bersiaplah. Mereka akan datang. Lebih dari yang bisa kau hadapi. Dunia lama akan mencoba mematahkanmu lagi dan kali ini, kau sendirian.”

Revan menatap topeng itu beberapa detik, lalu mengangkat pandangannya. “Aku dilahirkan dari neraka ini, Alex. Kalau mereka mau perang…” Dia melangkah maju, menabrak bahu Alex tanpa menoleh. “Maka biar aku yang bawa apinya!”

Alex berdiri diam, menatap punggung Revan yang mulai berjalan pergi bersama Bara.

“Lihat saja, Van,” gumamnya pelan, matanya menyipit tajam. “Kekuasaan bukan hanya soal darah. Tapi juga seberapa banyak yang rela kau hancurkan untuk tetap bertahan.”

Revan tidak menoleh. Hanya langkahnya yang semakin menjauh, tanpa peduli pada kata-kata itu.

Namun, sebelum Alex berbalik, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang tersembunyi di balik bayang-bayang. Seorang pria berpakaian lusuh, dengan wajah yang familiar, tampak muncul dari ujung gang.

Saat pria itu menatapnya, Alex merasa ada yang salah.

Dia mengenalnya.

Tapi pria itu sepertinya tidak mengenalnya.

"Revan!" Alex berteriak, mencoba menghentikan langkah sang penguasa jalanan yang semakin jauh.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca