"Kamu mau uang kan? Ini cek Bank BGI, nilainya seratus juta. Bisa kamu cairin di bank mana saja. Bebas. Ambil cek ini dan jangan pernah ganggu hidup aku lagi," ucap Silvy angkuh sambil mendorong selembar cek yang ia letakkan di atas meja ke arah Hendra.
"Uang?" Sebelah alis mata Hendra tampak terangkat melihat bagaimana sambutan yang ia terima dari wanita pilihan dari keluarganya ini.
Ia melirik kertas rapuh dengan logo bank yang disodorkan Silvy padanya.
"Iya. Nggak usah sok kaget gitu deh. Aku tahu kamu datang ke sini karena uang, kan?" Sahut Silvy dingin.
Hendra tersenyum simpul mendengar suara ketus dari Silvy. Sejenak ia mengerjapkan matanya seolah tak percaya dengan keganasan makhluk di hadapannya.
Dengan masih tetap tersenyum, Hendra meraih cek yang tadi didorong ke arahnya oleh Silvy. Ia mengipasi wajahnya dengan kertas tipis rapuh dengan logo bank di salah satu sudutnya itu. "Berapa nominal cek ini kamu bilang tadi?"
"Baca saja sendiri. Memangnya kamu buta ya?" Salak Silvy tak sabaran karena ia tahu kalau Hendra sedang menggodanya. "Atau kamu masih merasa kurang? Bilang saja berapa yang kamu mau." Tambah Silvy lagi.
"Fyuuhhh ...." Hendra meniup kertas cek di tangannya dan mengangkat kertas itu ke depan wajahnya.
Lalu dengan ujung-ujung jarinya, Hendra merobek cek itu jadi dua bagian. Ia menumpuk dua bagian itu dan merobeknya lagi. Menumpuk dan merobeknya lagi. Begitu seterusnya hingga lembaran cek persegi panjang itu kini berubah jadi serpihan-serpihan kecil.
Hendra mengulurkan tangannya di atas meja dan menjatuhkan sobekan-sobekan kertas itu ke dalam asbak.
Beberapa tahun yang lalu tepat beberapa hari setelah lulus kuliah, Hendra harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dirinya diusir dari keluarga Besar Permana karena ia menolak untuk dijodohkan dengan wanita pilihan kakeknya.
Semangat jiwa muda Hendra berontak saat dirinya dipaksa untuk menikahi orang yang tidak ia cintai sementara dirinya sendiri juga sudah punya seorang kekasih.
Tak ada yang abadi di atas bumi ini. Termasuk rasa cinta Hendra pada kekasihnya tersebut.
Hendra, yang demi kekasihnya tersebut ia rela meninggalkan kemewahan hidup sebagai putra bungsu Gede Permana harus menelan pil paling pahit dalam hidupnya karena kekasihnya memutuskan mencampakkan dirinya dan menikah dengan seorang duda kaya raya.
Patah hati sekaligus putus asa karena jalan hidup yang ia pilih ternyata tidak sesuai yang ia harapkan, Hendra menjalani hidupnya dengan tanpa arah.
Bertahun-tahun Hendra kerja serabutan apa saja yang penting bisa menghasilkan uang halal untuk menyambung hidup yang ia rasa sudah tak layak diperjuangkan lagi.
Hingga akhirnya beberapa hari yang lalu datang kabar kalau kakeknya sudah meninggal dan sang kakek meninggalkan warisan yang jumlahnya tidak sedikit tentu saja. Tak hanya dalam bentuk uang, sang kakek juga mewariskan beberapa perusahaannya untuk Hendra.
Tapi, semua hal indah yang bisa mengangkat kehidupan Hendra dari lembah kegelapan itu tidak diberikan secara cuma-cuma. Ada satu syarat yang harus dipenuhi Hendra kalau ia ingin mengambil apa yang diwariskan sang kakek tersebut.
Yaitu, menikahi Silvy. Wanita yang dulu pernah ditolak oleh Hendra tersebut rupanya masih tetap lajang sampai sekarang.
Silvy, wanita yang dijodohkan dengannya itu adalah seorang Presiden Direktur dari sebuah perusahaan maskapai penerbangan yang adalah rekanan perusahaan papanya.
Hendra tersenyum kecut melihat fakta ini. Betapa Silvy sudah berkembang begitu pesat dalam beberapa tahun belakangan, dirinya justru harus terjerumus dalam lumpur kemelaratan.
'Andai dulu aku menurut untuk dijodohkan dengan Silvy, tentu nasibku tak akan seperti sekarang ini ....' Hendra mengeluh dalam hati menyadari kebodohan yang sudah ia lakukan.
Dan itulah yang hari ini terjadi, Hendra datang ke sebuah restoran menemui Silvy untuk membahas perjodohan mereka.
Meski Hendra tahu kalau ini tak akan mudah, tapi ia tak akan menyiakan kesempatan yang akan mengangkat dirinya dari lembah kegelapan ini.
Lima menit sebelum kejadian merobek cek, Hendra berdiri di depan restoran tempat di mana Silvy sudah menunggunya. Ia memeriksa penampilannya melalui bayangan yang dipantulkan dinding-dinding kaca restoran.
Memang pakaian yang ia kenakan bukan baru, tapi Hendra merasa cukup karena tadi ia sempatkan diri untuk menyetrika pakaian yang ia kenakan saat ini.
Hendra melangkah santai memasuki restoran sambil mengedarkan pandangan mencari sosok Silvy yang katanya hari ini akan memakai gaun warna putih polos dengan jepit rambut motif kupu-kupu hijau muda.
Hendra, dalam balutan kemeja kasual warna putih lengan panjang dan celana jeans biru tua tampak demikian mempesona. Bentuk rahang kokoh dan alis tebal yang ia warisi dari papanya, membuat Hendra tampak berwibawa tapi juga sekaligus memancarkan energi jiwa muda. Sebuah kombinasi langka yang sudah membuat banyak wanita bertekuk lutut di hadapannya.
Tapi, itu dulu ... saat dirinya masih menjadi tuan muda Keluarga Permana. Karena sejak ia jatuh miskin, Hendra merasa kalau tiba-tiba semua orang yang ia kenal mendadak berubah jadi super sibuk semuanya dan susah untuk dihubungi.
Hendra berdiri di tengah restoran fine dining memandang pada sosok wanita cantik dalam balutan gaun warna putih polos yang duduk di belakang meja paling sudut.
Mereka berdua bertemu pandang sejenak, sesaat sebelum wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan rahang mengertak.
Karena hanya wanita itu satu-satunya pengunjung restoran yang mengenakan baju warna putih, Hendra pun langsung menghampirinya dengan dada sedikit berdebar karena penasaran.
Semakin dekat, wanita muda bergaun putih itu tampak semakin menawan di mata Hendra. Dalam hati kembali Hendra merutuki dirinya yang menolak untuk dijodohkan dengan wanita secantik ini.
"Silvy ya?" Sapa Hendra dengan suaranya yang sedikit serak.
"Iya," sahut wanita bergaun putih tanpa mengangkat wajahnya menghadap Hendra.
Tirai rambut hitam legam tampak berbaris rapi di dahi Silvy, menghalangi Hendra untuk bisa menatap wajah Silvy lebih jelas.
Jantung Hendra berdegup begitu kencang dan tak beraturan. Tak hanya cantik, ternyata Silvy juga memiliki sesuatu yang magis di wajahnya. Semacam keanggunan yang memancar lembut seperti cahaya bulan.
"Hendra." Hendra mengulurkan tangannya ke arah Silvy.
Tengadahlah, cantik. Tatap mataku. Bisik Hendra di dalam hati.
Seolah dapat mendengar bisikan di dalam hati Hendra, Silvy menyambut uluran tangan Hendra seraya mendongakkan wajahnya menatap balik pada Hendra.
Saat itulah Hendra akhirnya percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu memang ada.
"Silakan duduk." Ucap Silvy sambil menarik lepas tangannya dari genggaman tangan Hendra seolah ia tak mau berjabat tangan terlalu lama.
Sambil terus merutuki kebodohan dirinya yang dulu lebih memilih pacarnya ketimbang Silvy, Hendra duduk tanpa melepas pandangannya dari sosok menawan Silvy yang dalam balutan gaun putih panjang ini tampak seperti seekor angsa yang cantik jelita.
Begitu Hendra meletakkan tubuh di kursi, tanpa basi-basi, Silvy langsung mengeluarkan selembar kertas cek dan meletakkannya di atas meja.
Dan kertas cek itulah yang baru saja dirobek oleh Hendra.
Silvy yang tak menyangka kalau Hendra akan melakukan hal seperti itu tampak sangat terguncang sekaligus terhina. Matanya tak lepas dari serpihan kertas cek yang kini teronggok sia-sia di dalam asbak.
Bersambung ....