Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Brondong Milik Wanita-Wanita Dewasa

Brondong Milik Wanita-Wanita Dewasa

Batu Bata Merah | Bersambung
Jumlah kata
610.5K
Popular
234.4K
Subscribe
5.0K
Novel / Brondong Milik Wanita-Wanita Dewasa
Brondong Milik Wanita-Wanita Dewasa

Brondong Milik Wanita-Wanita Dewasa

Batu Bata Merah| Bersambung
Jumlah Kata
610.5K
Popular
234.4K
Subscribe
5.0K
Sinopsis
PerkotaanAksiKekuatan SuperHaremDokter Genius
Karena menolong janda tercantik di desa, Ananta malah jadi tenggelam di dalam sungai. Siapa sangka dia malah mendapatkan keberuntungan dari kecelakaan tersebut. Ia mendapatkan warisan ilmu medis misterius. Sejak saat itu, anak gadis kepala desa tidak pernah meninggalkannya lagi,si janda cantik juga hanya menginginkannya, bahkan istri yang sudah bersuami juga merindukannya. Ananta pun menjalani hidup bahagia dengan dikelilingi banyak wanita cantik dan menawan.
Bab 1

Ananta berguling untuk kesekian kalinya di atas ranjang kayu tua yang berbunyi setiap kali tubuhnya bergerak. Kamar sempitnya dipenuhi udara panas yang menyesakkan, khas malam di puncak musim panas bulan Juli. Keringat mengalir deras dari pelipis dan lehernya, membasahi pakaian tidurnya hingga terasa lengket di kulit. Ia menghela nafas panjang sambil menatap langit-langit yang tak juga memberinya kelegaan. Kepanasan membuat tidur menjadi mustahil.

Akhirnya, Ananta duduk dan mengusap wajah. "Tidak ada gunanya," gumamnya frustasi. Ia berdiri, berjalan pelan ke meja kayu kecil dan mengambil segelas air. Seteguk dingin menyegarkan kerongkongannya, namun tidak cukup untuk mendinginkan tubuhnya yang masih bergejolak karena panas. Ide gila mendadak terlintas di kepalanya. Ia menghela nafas sejenak, lalu memutuskan.

"Kenapa aku tidak berenang saja di Sungai Permata Biru?" gumamnya Ananta. Terasa bodoh, memang, tetapi menggoda. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berganti pakaian dan mengenakan celana pendek serta kaos tipis. Dengan langkah cepat, ia keluar dari rumah yang gelap dan sunyi.

Udara malam menyapa kulitnya, memberikan sedikit kelegaan. Desa Harmoni sudah sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan di jalan sempit yang menghubungkan rumah-rumah penduduk. Ananta mempercepat langkah, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Hanya bunyi derik serangga dan gemerisik dedaunan yang menemani perjalanannya.

Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di tepi Sungai Permata Biru. Air sungai memantulkan cahaya rembulan, berkilauan seperti permata. Ananta menarik napas dalam-dalam sebelum menceburkan diri ke dalam air yang dingin. Tubuhnya langsung merasakan perbedaan suhu, seolah-olah segala panas yang menekan segera terserap oleh dinginnya air.

"Ah, ini lebih baik," ujarnya pelan, sambil membiarkan dirinya terapung. Kesegaran itu mengalir ke seluruh tubuh, membuang penat dan panas yang menyiksanya. Ia berenang sejenak, membiarkan air membelai tubuhnya, hingga tubuhnya benar-benar rileks.

Selesai berenang, Ananta naik ke tepi sungai, mengeringkan dirinya dengan seadanya. Saat mulai berjalan pulang, suasana desa masih sama seperti sebelumnya—tenang dan gelap. Namun, ketika ia melewati rumah Kiara di ujung timur desa, matanya menangkap cahaya lampu yang masih menyala dari dalam rumah itu. Ananta terdiam. Kelihatannya Kiara belum tidur. Apakah dia juga merasa kepanasan sepertiku?

Ananta menduga bahwa seharusnya sekarang jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, mengingat bahwa dia pergi ke sungai benar-benar di tengah malam buta.

Ananta menatap rumah kecil itu dari kejauhan. Ia menduga Kiara mungkin saja mengalami kesulitan tidur karena panas, sama seperti dirinya. Kiara, seorang guru pengganti di sekolah dasar desa, terkenal karena kecantikan dan keteguhan hatinya. Wajah cantiknya, kulitnya yang putih, serta tubuhnya yang ramping membuat banyak pria tertarik, tetapi kisah hidupnya tidak semanis penampilannya. Ayah Kiara yang rakus pernah menikahkannya dengan Razka demi uang senilai satu miliar. Setengah tahun setelah menikah, Razka meninggal dunia akibat mabuk, membuat Kiara menjadi janda muda. Akan tetapi wanita itu masih menjaga kehormatannya dari incaran para pria yang menginginkannya.

"Kyaa!"

Tiba-tiba lamunan Ananta buyar oleh suara jeritan yang memecah keheningan malam. Suara itu berasal dari rumah Kiara. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa khawatir dan mengira ada sesuatu yang buruk terjadi. Tanpa pikir panjang, Ananta berlari ke arah rumah Kiara dan memanjat tembok halaman dengan cekatan. Begitu kakinya menyentuh tanah, ia mendapati dirinya berada dalam suasana yang tegang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ananta bersiap siaga, berharap dirinya mampu menghadapi apapun yang akan terjadi di depan matanya.

Ananta melangkah pelan ke arah sumber suara jeritan Kiara yang berasal dari kamar mandi luar rumahnya. Ia menajamkan pendengaran, berjaga-jaga seandainya ada penjahat yang menyelinap. Kamar mandi itu remang-remang, dinding bambunya tak begitu rapat, memudahkan suara jeritan Kiara terdengar jelas. Jantung Ananta berdegup kencang. Apa yang terjadi di sana?

Perlahan, ia mendekat sambil menahan napas, tetapi seketika ia terdiam membatu. Dari celah dinding, Kiara terlihat dalam kondisi telanjang bulat, basah kuyup oleh air. Ia menjerit lagi, kali ini dengan wajah panik. Ananta tak mampu mengalihkan pandangannya meski tahu itu salah. Tubuh Kiara yang basah terlihat sangat memikat di bawah cahaya bulan yang redup. Wajahnya yang cantik kini tampak pucat, membuat rasa panik semakin menguasainya.

Kiara yang mendengar suara langkah kaki lantas menoleh ke arah datangnya suara dan melihat Ananta berdiri di sana. Wanita itu memandangnya, lalu berteriak meminta tolong. "Ananta! Tolong! Ada... ada ular!"

Kalimat itu membuyarkan keterkejutan Ananta. Ia segera menoleh ke arah yang ditunjukkan Kiara. Di sana, sekitar sepuluh sentimeter dari sisinya, seekor ular melingkar, tubuhnya tegang, siap menyerang kapan saja. Nafas Ananta memburu. Ia menyadari betapa gentingnya situasi ini—gigitan ular bisa sangat berbahaya, terlebih di desa terpencil seperti Desa Harmoni. Tak ada jaminan Kiara bisa dibawa ke rumah sakit tepat waktu jika terkena gigitannya.

"Kiara, jangan bergerak!" Ananta menginstruksikan dengan suara tenang, berusaha menenangkan wanita yang gemetaran di hadapannya. "Tetap diam di tempat."

Kiara mengangguk, tubuhnya kaku. Matanya memandang Ananta dengan penuh harap dan ketakutan. Ananta menoleh cepat, mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengatasi ular tersebut. Matanya menemukan tongkat kayu tua yang tergeletak di dekat semak-semak. Ia meraihnya perlahan, tidak mau gerakannya membuat ular menjadi lebih agresif.

"Dengarkan aku. Jangan panik, oke?" Ananta menatap Kiara sebentar, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menyelesaikan ini. Dengan cekatan, ia memancing ular untuk melilit tongkat. Ular itu bergerak, mengikuti gerakan tongkat hingga tubuhnya melilit kuat. Dengan kecepatan dan keberanian yang mengejutkan dirinya sendiri, Ananta mengambil kantong kulit ular yang tergeletak di dekat dinding, lalu memasukkan reptil itu ke dalamnya. Ia mengikat mulut kantong dengan erat, memastikan ular itu tidak bisa keluar.

"Sudah... sudah selesai," ujar Ananta dengan napas tersengal. Ia menoleh ke arah Kiara yang berdiri merapat ke dinding. Wajah wanita itu basah oleh keringat dan air, tetapi ia tampak lega. Kiara segera berlari menghampiri, tanpa memikirkan apa-apa lagi, lalu memeluk Ananta erat. Ananta terdiam kaku. Pelukan itu penuh rasa terima kasih, tetapi tubuh telanjang Kiara menyentuh kulitnya, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

"Terima kasih, Ananta. Terima kasih..." suara Kiara bergetar, masih dipenuhi ketakutan. Namun, Ananta justru semakin gugup. Ia menunduk, menyadari keadaan mereka.

"Kiara..." bisiknya, berusaha menahan diri. "Kau... kau harus mengenakan pakaian dulu."

Kata-kata itu menyadarkan Kiara. Ia tertegun sejenak, lalu menyadari kondisinya yang telanjang. Wajahnya langsung memerah seketika. Ia mendorong Ananta, membuat lelaki itu terhuyung mundur. Tanpa sepatah kata, Kiara berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ananta yang masih berdiri dengan wajah memerah dan perasaan campur aduk.

Kiara melangkah keluar dari rumah dengan mengenakan gaun bermotif bunga-bunga yang lembut, tampak kontras dengan rambutnya yang masih basah. Embun di rambutnya memantulkan cahaya bulan, membuatnya terlihat semakin memikat. Wajahnya berseri-seri meskipun tadi sempat panik. Ananta yang masih berdiri di halaman tak dapat mengalihkan pandangan. Kiara berhenti beberapa langkah dari Ananta, lalu tersenyum malu-malu.

"Ular ini... apakah kau mau menyimpannya? Jika tidak, aku akan membawanya bersamaku," tanya Ananta sambil melirik kantong kulit yang ia letakkan di tanah.

Kiara menggeleng cepat. "Tidak. Tolong bawa saja jauh-jauh dari sini."

Ananta mengangguk, lalu bersiap pamit. "Kalau begitu, aku akan pergi sekarang. Kau baik-baik saja, kan?"

Kiara menggigit bibirnya. Tatapan matanya berubah gelisah. "Tunggu," ujarnya mendadak. "Jangan pergi dulu." Dia melangkah maju dan menatap Ananta dengan tatapan penuh harap. "Aku... aku masih takut. Bisa kau temani aku sebentar? Masuklah, aku ingin berterima kasih dengan benar."

Tanpa menunggu jawaban, Kiara menarik tangan Ananta, membimbingnya masuk ke dalam rumah. Ananta menurut, meski hatinya berdebar. Ia meletakkan kantong berisi ular di sudut luar pintu sebelum melangkah masuk. Rumah Kiara sederhana, namun sangat bersih dan rapi. Aroma melati menyambut Ananta begitu ia masuk, menciptakan suasana yang menenangkan.

"Silakan duduk," ujar Kiara, menunjuk kursi kayu di ruang tamu. Ananta duduk dengan canggung, sementara Kiara berjalan ke dapur kecil di sudut ruangan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan dua gelas minuman dingin.

"Ini, minumlah," katanya seraya menuangkan minuman untuk Ananta. "Sebagai ucapan terima kasih atas pertolonganmu tadi."

Ananta meneguk minuman itu. "Ah, itu hanya bantuan kecil. Siapa pun pasti akan melakukannya."

Kiara tersenyum. Mereka berdua minum lagi, dan suasana di antara mereka perlahan menjadi lebih santai. Namun, tiba-tiba Kiara menatap Ananta dengan mata yang tajam, penuh rasa penasaran. "Ananta... apakah menurutmu, aku cantik?"

Pertanyaan itu mengejutkan Ananta. Ia menatap wajah Kiara yang memang sangat memikat, lalu menjawab pelan, "Kau seperti bidadari."

Kiara tersenyum lembut. "Bidadari, ya?" gumamnya, lalu menatap Ananta lebih dalam. Hening menyelimuti kebersamaan mereka untuk sesaat sebelum akhirnya Kiara kembali berbicara, memecah keheningan di antara mereka.

"Ananta, bisakah kau tetap tinggal malam ini?"

Ananta terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa suasana mendadak berubah, seolah-olah menjadi lebih intim. Di dalam hati, ia bertanya-tanya apakah Kiara mabuk. Namun Kiara mendekat, menggenggam tangan Ananta. Matanya tak lagi sekadar menatap penuh rasa syukur, tetapi memancarkan keberanian yang tak biasa.

"Aku hanya ingin jujur... Aku menginginkanmu, Ananta."

Ananta merasa nafasnya tertahan. Ia tak pernah menyangka Kiara bisa seberani ini. Ananta menatap Kiara dalam diam. Selama ini, ia tak pernah tahu bahwa perasaan itu ada di antara mereka. Perlahan, ia mengangkat tangannya, membalas genggaman Kiara. Keberanian dan ketulusan wanita itu membuatnya tak sanggup menolak. Di dalam hati, ia tahu bahwa ia pun tak bisa mengelak dari hasrat yang perlahan tumbuh di antara mereka.

Mereka duduk berdua dalam keheningan, namun kehangatan dan rasa cinta yang baru saja terbuka membuat malam itu terasa berbeda. Keduanya saling pandang dalam waktu yang cukup lama.

Kiara menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan dengan suara yang bergetar, "Sudah tiga tahun aku hidup sendirian... dan aku ingin kau menemaniku malam ini."

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca