"Andaikan aku diberikan kesempatan lagi ya Tuhan."
Pria tua itu terbaring terpuruk di atas ranjang rumah sakit, menatap langit-langit dengan kosong. Saat itu juga bayangan mantan istri dan anaknya terpampang jelas yang membuat Irfan Fadhillah cukup frustasi sehingga air matanya jatuh. Bahkan dia menggapai-nggapi langit-langit itu seolah-olah dia mengalami halusinasi yang cukup tinggi.
Dia adalah CEO PT Trisnu Nasional, yang saat ini berumur tua renta, 80 tahun usianya. Jangan berpikir ketika dia berada di ujung tanduk, cucu cucunya akan berkumpul untuk melihat momen terakhir dirinya. Tidak, selama puluhan tahun, dia hidup dalam kesendirian, yang kemudian dihantui oleh rasa penyesalan dan rasa bersalah yang masih membekas hingga saat ini.
Kala itu, perlahan-lahan dia menurunkan tangannya. Jantungnya yang lemah tiba-tiba terasa berdebar sangat kencang. Pria tua itu seolah tidak sanggup menahannya yang membuat dia meremas dadanya sendiri.
Namun cahaya matahari terlalu terang untuk bersinar. Irfan yang terbaring sedikit meredupkan matanya ketika dia melihat ke arah jendela. Matanya yang meredup semakin sayu, hingga dia tidak akan pernah membuka matanya lagi, untuk selamanya.
Sebelum meninggal, dia menyumbangkan seluruh hartanya sekitar 800 triliun kepada badan amal. Itulah yang bisa dia lakukan untuk berbuat baik untuk terakhir kali. Paling tidak, hanya itu saja yang bisa dia bayar kesalahannya di masa lalu.
Tapi, itu seperti sebuah mimpi indah yang berkepanjangan. Perlahan dia membuka matanya, dia bangun, dia melihat langit-langit rumah yang kumal, dia juga terbaring dan menyadari saat ini berada di ruang tamu yang berukuran 15 meter. Dinding kusam dengan noda hitam di beberapa sudut. Lantai dipenuhi puntung rokok, minuman keras yang terguling, dan cup Pop Mie yang belum dibuang.
"Bukankah aku sudah mati?"
Bagaimana dia memahami situasi seperti ini? "Ini, ini rumahku enam puluh tahun yang lalu?"
Hingga, dia menyadari, bahwa itu tadi bukanlah mimpi panjang. Tapi, dia baru saja terlahir kembali.
Kesadaran itu membuat dia diam dan membeku sejenak, lingkungan yang femillier, itu membuat dia merasa dejavu. Kenangan lama benar-benar membuat hari Irfan tertusuk yang membuat dia seperti merasa tertekan. Selama enam puluh tahun, ya, selama enam puluh tahun, dia harus menerima kenyataan pahit dan rasa bersalah.
Walau begitu, tiba-tiba seorang gadis berusia sekitar empat atau lima tahun berlari masuk dengan riang, wajahnya yang lucu tapi dengan tubuh kurus tak terurus langsung menggapai tangan Irfan yang penampilannya sama sekali tidak rapi dan berantakan.
"Ayah."
Itu tentu saja membuat Irfan merasa teriris usai anak kecil ini mengucapkan kata ayah kepadanya. Ini semakin membuat dia semakin teriris.
"Jangan bertengkar lagi dengan Ibu, Ayah… Jangan biarkan Ibu membawa Amelia ke rumah Nenek. Amelia ingin tetap bersama Ayah!"
"Amelia! Jangan dekat-dekat ke pria itu. sini nak. Amelia tidak ingin terluka kan?"
Bumm! Bak disambar petir, tubuh Irfan bergejolak ketika seorang wanita tiba-tiba bersuara. Wanita itu persis di hadapannya usai muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat sangat cantik dengan pakaian yang sederhana. Namun tatapanya terhadap Irfan benar-benar tajam seolah dia memendam sebuah kebencian.
Hilda Kurniawati.
Jantung Irfan seakan berhenti berdetak. Wanita yang telah dia sakiti, wanita yang telah dia sia-siakan. Wanita yang di kehidupan sebelumnya meninggal dalam keadaan tragis bersama putri mereka. Dan sebelum Irfan meninggal, dia kerap kali bermimpi tentang Hilda, bahkan sebelum kematiannya sekalipun, bayang-bayang Hilda menghantui pikirannya.
Irfan menyesal seumur hidupnya selama enam puluh tahun akibat kematian istri dan putrinya yang tragis. Lebih kurang ajar lagi, setelah istrinya meninggal. Irfan masih menyimpan kebencian dan dendam yang mendalam karena menganggap bahwa istrinya telah berkhianat karena berselingkuh. Sayangnya, setelah setengah tahun kematian istrinya, dia benar-benar menyadari suatu hal, sebuah kebenaran yang terungkap yang membuat dia pada akhirnya menyesal seumur hidup.
Ketika itu, Irfan menangis selama tiga hari, bahkan seluruh hidupnya benar-benar sangat hancur. Dia tidak pernah merasa jatuh fatal seperti itu. depresi yang berat membuat dia tidak makan dan minum, dan mungkin jika dia tidak ditemukan oleh seseorang, dia hanya akan membusuk di pinggir jalan.
Tidak disangka, Tuhan memberinya kesempatan agar dia bisa memperbaiki kesalahannya. Doa yang dia ucapkan dikabulkan yang membuat dia tidak tahu harus bersikap apa. Kecuali, dia berjanji untuk menata ulang dan memperbaiki kesalahannya dari awal. Jika tidak, maka kejadian itu akan tetap terulang.
Dada Irfan terasa sesak. Air mata hampir jatuh dari matanya saat dia mampu untuk menatap kembali wajah Hilda.
Namun, sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata, Hilda melayangkan tatapan penuh kebencian padanya.
"Rumah ini baru kubersihkan lima hari lalu… dan sekarang kau membuatnya seperti kandang babi lagi!" suara wanita itu bergetar, matanya mulai memerah. "Irfan, kau mau menyiksaku sampai kapan?"
"Hilda .... aku minta ...." Irfan membuka mulut, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa dia bukan lagi pria yang sama. Bahwa dia telah berubah. Namun, lidahnya terasa kaku.
"Aku tidak tahan lagi. Kita cerai!"
Kata-kata itu menohok dada Irfan lebih dalam dari pisau.
Di kehidupan sebelumnya, dia memang pernah mendengar kalimat itu. Tapi saat itu, dia terlalu bodoh untuk peduli. Dia lebih memilih menenggak alkohol daripada mempertahankan keluarganya. Dia menandatangani surat cerai tanpa berpikir panjang, lalu tenggelam dalam utang, perjudian, dan kebencian terhadap wanita yang dulu dia cintai.
Dahulu, Hilda sangat cinta mati terhadap Irfan. Bahkan dia mengabaikan keluarganya yang saat ini menentang keras hubungan Hilda dengan Irfan. Bahkan, ketika ada orang kaya yang melamarnya, keluarga Hilda benar-benar sangat senang dan berharap Hilda untuk berpikir dua kali untuk memiliki hubungan dengan Irfan. Sayangnya Hilda benar-benar keras kepala dan tetap memilih Irfan dengan tegas.
Tak berpikir panjang, orang tua Hilda bahkan mengakhiri hubungan keluarga dengan Hilda, mereka sama sekali tidak akan pernah menganggap Hilda anak dan mengusirnya dari rumah jika tetap bersama dengan Irfan. Hilda tidak peduli, dan memilih untuk bersama Irfan.
Tapi dia tidak menyangka, setelah satu kali kegagalan dalam berwirausaha, Irfan Fadillah berubah drastis. Pria yang dulu penuh semangat dan ambisi kini kehilangan arah, tenggelam dalam keputusasaan. Alih-alih bangkit dan mencoba kembali, Irfan justru menyerah begitu saja.
Hari-harinya dihabiskan dengan mabuk-mabukan, tubuhnya selalu berbau alkohol, dan rumah yang dulu mereka bangun bersama perlahan berubah menjadi tempat yang suram dan berantakan. Setiap pulang dalam keadaan mabuk, Irfan menjadi sosok yang berbeda, kasar, penuh amarah, dan sering kali melampiaskan frustrasinya dengan pukulan.
Hilda Kurniawati telah memberikan banyak kesempatan, berharap suaminya akan sadar dan kembali seperti dulu. Namun, setiap kali dia mencoba percaya, setiap kali dia mencoba bertahan, Irfan justru semakin tenggelam dalam kebiasaan buruknya. Kata-kata penuh janji manis hanya menjadi angin lalu, dan perlahan-lahan, harapan yang dulu dia genggam mulai memudar. Mungkin, keluarganya ada benarnya juga dan dia sekarang menyesal.
Tidak ada apa-apa juga di sini. Mereka hidup sudah diambang batas kemiskinan. Apa yang ada? Barang-barang telah dijual oleh Irfan. Bukan untuk usaha agar dia terhindar dari keterpurukan, justru dia menjual seluruh barang-barang yang ada di rumah untuk berjudi. Ketika Hilda protes, maka Irfan akan memukulinya. Bahkan jika Hilda membuka bajunya, maka hanya akan ada luka.
"Hilda, ku mohon maafkan aku. Aku berjanji akan berubah. Beri aku kesempatan lagi, tolong!" Irfan mencoba untuk meminta maaf dengan nada suara yang bergetar dan penuh permohonan.
"Hah?" Hilda menatapnya dengan sinis, "Kau sudah mengatakan itu ribuan kali. Apakah aku akan mempercayaimu begitu saja? apa itu akan akan membuatmu berhenti? Atau kau mungkin kau akan memukulku setelah ini?" Hilda menyingsingkan lengan bajunya, dan memperlihatkan luka memar.
Irfan bergetar saat menyadari bahwa luka dibalik bajunya itu adalah bekas pukulan yang dia berikan. Itu membuat dia menyentuh kepalanya dan meneteskan air matanya. Sebegitu kejamnya kan dirinya saat ini?
"Aku sudah bukan yang seperti dulu lagi Hilda! Aku mohon, mohon maafkan aku. Aku berjanji akan berubah." Irfan berdiri, dan mencoba untuk mendekat dan menyentuh Hilda.
Sayangnya Hilda terlihat seperti trauma dan langsung mundur. "Omong kosong!" Teriakannya. Amelia yang ada di dekat Hilda, dia juga mendadak menjadi ketakutan dan akan menunjukkan wajah tangisnya karena dia takut keduanya akan cekcok untuk kesekian kalinya lagi.
"Hilda ...."
Belum sempat Irfan berbicara, sekelompok pria bertato masuk ke dalam rumah tanpa permisi.
"Siapa kalian!"
Hilda mendadak menjadi takut dan segera menggenggam Amelia dan mencoba untuk melindunginya. Prioritas utamanya adalah Amelia. Sayangnya, sekelompok pria bertato itu justru mendekati Irfan.
"Irfan," katanya sambil menepuk-nepuk bahu Irfan. "Utangmu sudah seminggu telat. Dengan bunga yang berjalan, totalnya jadi lima ratus empat puluh juta. Kau tahu maksud kami, kan?"
Darah Irfan berdesir. Sementara Hilda syok mendengar jumlah utang Irfan yang menggunung.
"Irfan, kau ....?" Dia hampir tidak percaya berharap bahwa itu adalah sebuah kebohongan belaka.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tubuh Hilda bak ditimpa ribuan gajah sekaligus yang membuat dia putus asa. 540 juta itu bukanlah uang kecil! Mereka bahkan tidak pernah menyentuh uang sebanyak itu?
Sementara itu, salah satu pria bertato menatap Hilda dengan penuh napsu, dia bahkan menjulurkan lidahnya yang membuat Irfan tahu betapa brengseknya dia. "Nona, mungkin kamu bisa membantu melunasi hutang suamimu dengan cara sesuatu."
"Keparat!" Hilda berteriak dengan lantang. "Irfan, jangan berpikir kau mau menjualku!"
Ini dia. Awal dari kehancurannya. Ingatan atau kilas balik Irfan tiba-tiba muncul di benaknya. Ketika Hilda digoda seperti itu, Irfan memilih diam dan tidak bersuara. Dia mungkin kala itu memikirkan bagaimana caranya untuk melunasi hutangnya. Walau, pada akhirnya dia dipukuli habis-habisan hingga berdarah-darah dan Irfan diberikan jangka waktu seminggu untuk bisa melunasinya.
Melunasi hutang sebesar 540 juta dalam waktu seminggu? Itu adalah hal yang gila dan dibilang sangat mustahil untuk dipenuhi Irfan. Siapa yang bisa melakukannya? Uang tidak akan pernah bisa turun dari langit begitu saja, atau mungkin dipetik dari dedaunan dengan begitu mudah. Dan ketika hari itu tiba, Irfan tidak memiliki jalan lain, dia memilih untuk melarikan diri.
Sayangnya, hari apes tidak ada di kalender, sekelompok preman bertato itu mencegatnya diujung jalan. Yang berakhir Irfan dihajar habis-habisan. Namun alih-alih preman bertato itu membunuh Irfan, Irfan hanya dipukuli hingga babak belur, lalu meninggalkannya tanpa mengambil uang.
Dan tak lama setelah itu, Hilda memilih untuk menikah lagi dan membawa pergi Amelia. Alih-alih menikah dengan pria yang tampan dan rupawan, dia menikahi CEO tua yang botak. Tentu saja, ini membuat Irfan merasa dikhianati dan menganggap Hilda sebagai seorang pelacur yang berselingkuh dan memilih untuk menikahi seseorang yang kaya rasa. Dan itulah yang membuat Irfan menyetujui tanda tangan perceraian.
Usai perceraian itu, Irfan masih menyimpan kebencian dan dendam yang mendalam. Dan dia menganggap Hilda adalah wanita paling buruk yang pernah dia temui. Sayangnya, sebuah kebenaran terungkap setelah setengah tahun Hilda dan Amelia tewas secara tragis. Apa itu memangnya?
Menurut kabar yang beredar, alasan Irfan dilepaskan oleh para preman bertato, rentenir dibalik peminjam uang Irfan telah menelpon Hilda dan akan mengancam akan membunuh Irfan jika tidak dilunasi. Meski Hilda memiliki sangat membenci Irfan, dia masih memiliki setitik rasa cinta dan tidak ingin Irdan dibunuh, sehingga dia berusaha untuk menyelamatkan Irfan.
Hilda secara diam-diam meminjam uang seorang CEO tua yang lebih dahulu mengejar-ngejar Hilda. Sehingga Hilda tidak memiliki pilihan lain. CEO itu tentu saja setuju untuk memberikan sebuah pinjaman, dengan syarat, Hilda harus menikah dengan dirinya.
Mungkin dengan menikahi CEO itu, hidupnya akan jauh lebih baik dibanding bersama dengan Irfan. Sayangnya, CEO itu tidak ada bedanya dengan Irfan, bahkan jauh lebih parah lagi yang bahkan dia berani untuk memukuli Amelia Fadhilah yang berumur antara empat dan lima tahun.
Hilda tentu saja mengalami depresi yang luar biasa. Dia tidak tahan untuk merasakan penderitaan yang terus menerus seperti ini. sehingga dia memilih aksi nekat dengan memasukkan obat tidur ke dalam minuman CEO tua. Kemudian, dia membakar rumah tersebut dan memilih untuk ikut bunuh diri, mengakhiri hidupnya bersama dengan Amelia Fadhilah.
Barulah, setengah tahun kemudian, Irfan harus menerima kenyataan pahit yang membuat dia harus menanggung rasa bersalah seumur hidupnya. Untungnya, Tuhan memberikan kesempatan agar dia memperbaiki dan menebus kesalahannya. Agar dia tidak boleh mengulangi tragedi itu lagi.
Di dalam lamunannya, saat yang bersamaan, salah satu preman bertato itu sudah mendekati Hilda dengan tatapan napsu. Irfan yang baru saja tersadar, dia segera menggertakkan giginya. Wajahnya merah dan tersulut emosi, dan dia segera menghampiri preman itu dengan tatapan tajam.