Seorang laki-laki yang bertubuh gagah dan tinggi, berparas rupawan dengan usia sekitar dua puluh lima tahun, bermata tegas, hidung mancung dan rahang kokoh dengan balutan pakaian salah satu abdi kerajaan berjalan menyusuri koridor istana yang malam ini cukup sepi. Di tangan kanannya menggenggam sebuah kertas yang bertuliskan sebuah surat bertuius huruf Jawa Kuno dengan stempel kerajaan tanpa nama pengirim. Nama laki-laki itu adalah Jayantaka yang merupakan Senopati di Kerajaan Rajapura. Sebuah kerajaan yang kental dengan adat Jawa.
Meskipun ada yang berbeda dari suasana di malam ini, tetapi Senopati yang bernama Jayantaka itu terus berjalan menyusuri koridor istana yang cukup sepi dan tak ada manusia yang berlalu lalang di sekitarnya selain hanya obor yang menyala di sepanjang sisi kanan dan kiri dinding istana juga tiang-tiang yang berderet rapi di sepanjang koridor.
Tapak kaki Jayantaka yang tegas terdengar menggema saat melewati lantai istana. Tatapan matanya lurus ke depan, memandang ke salah satu kamar yang paling luas dari kamar yang lainnya. Kamar Sang Prabu.
Sesampainya di depan kamar Raja Rajapura, Senopati Jayantaka lantas berhenti melangkah. Matanya memandang ke sekitar istana lebih-lebih kamar dari Sang Prabu sendiri. Meskipun terasa agak janggal dan tidak adanya penjaga di depan kamar, pemuda itu terdiam untuk beberapa saat. Ia menghela nafas sekilas lalu tangan kanannya mulai terangkat untuk mengetuk.
"Gusti Prabu ..." Suara Senopati Jayantaka pelan dan bahkan terdengar samar karena ia merasa sudah terlalu larut untuk bertamu ke kamar seorang raja.
Cukup lama Senopati Jayantaka menunggu tetapi Sang Prabu tidak juga membuka pintu. Senopati Jayantaka lalu menjauhkan daun telinganya dari dinding pintu tersebut. Ia mulai ragu.
Saat Senopati Jayantaka menjauhi daun pintu, tangannya melihat pada selembar surat yang ia pegang yang bertuliskan panggilan untuk datang ke dalam kamar Sang Prabu. Laki-laki itu lalu menghela nafas.
Kembali Senopati Jayantaka mengulangi tindakannya. Tangan kanannya kembali terkepal dan mulai mengetuk lagi.
Kali ini daun pintu itu melenggang dan terbuka sedikit. Senopati Jayantaka memperhatikan keadaan di depannya lagi. Di luar, halaman tampak sepi dan gelap. Ia menjatuhkan lagi pandangan matanya ke arah daun pintu yang mulai terbuka.
Malam ini yang ada di dalam pikiran Senopati Jayantaka adalah Gusti Prabu sedang memanggilnya pasti ada misi rahasia yang ingin dibicarakan hanya dengan dirinya seorang karena selama ini dialah kaki tangan dari Sang Prabu dan merupakan orang kepercayaannya.
Meski merasa ragu akhirnya Senopati Jayantaka secara perlahan mendorong daun pintu tersebut dari luar sampai terbuka. Ia mulai melangkah dan masuk ke dalam kamar tersebut. Anehnya di dalam, kamar itu terlihat gelap bahkan sama sekali tidak ada penerangan dari lampu cuplak.
Mata Jayantaka bergerak ke kanan dan kiri. Yang tampak di depan matanya kini hanyalah ruangan yang luas dengan perabotan mewah tetapi gelap. Hanya terlihat cahaya dari bulan yang menembus celah jendela kamar bernuansa kuno. Tirai putih tampak melambai tertiup oleh angin. Ia merasa bingung sekaligus curiga akan keanehan ini. Kedua telapak kakinya yang kokoh melangkah dengan penuh hati-hati tetapi tegas.
"Gusti Prabu ..." panggil Jayantaka sekali lagi.
Mata Jayantaka yang setajam elang melihat pada keadaan di sekitarnya. Ia tetap memasang sikap waspada.
Seklebat bayangan hitam melesat lewat di belakang punggung. Sontak Senopati Jayantaka segera menoleh tapi bayangan itu menghilang.
Kedua tangan Jayantaka terkepal. Sebelah alisnya terangkat. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.
Tak ingin ada sesuatu yang buruk menimpa, Senopati Jayantaka segera mengurungkan niat. Ia mengurungkan niat dan pergi dari kamar itu dengan mempercepat langkahnya. Namun ....
Dug!
Sebuah tendangan keras mendarat ke punggung.
Tubuh Senopati Jayantaka terjungkal ke depan tetapi tidak sampai jatuh. Ia sempoyongan dan berusaha untuk berdiri dengan benar. Pada saat ia berbalik ke belakang sebuah tendangan kini mendarat ke salah satu rahang.
Dug!
Kepala Senopati Jayantaka menoleh ke samping. Tubuhnya terseret ke belakang dan kini benar-benar tumbang.
Sebelum Senopati Jayantaka dapat berdiri dan dalam kondisi terbaring, bayangan hitam itu menghentakkan kaki lalu melompat sambil menghantam ujung belati yang runcing ke arahnya.
Zzzzzt!
Sebelum benda yang tajam itu akan mendarat ke perutnya, tangan Jayantaka yang kokoh terburu mencekal pergelangan tangan si penjahat.
Terjadilah aksi dorong di atas perut Senopati Jayantaka. Ia yang berusaha untuk mempertahankan diri agar tidak tertusuk dan tangan itu yang mati-matian ingin merobek kulit perutnya.
Ujung belati yang runcing itu kini berjarak seujung kuku dari perut Jayantaka. Pada saat itu pula Jayantaka dengan cepat memelintir pergelangan tangan si penjahat. Dalam gerakan cepat ia berhasil menarik tangan si penjahat itu lalu membanting tubuhnya di atas lantai.
Zzzzzt!
Bugh!
"Au!" teriak penjahat yang sedang merintih kesakitan dengan tubuh terbaring di atas lantai.
Senopati Jayantaka segera berdiri dan belati yang dipegang oleh penjahat itu terlempar ke sudut ruangan. Pemuda itu segera mengambil belati itu akan menyerang balik penjahat tapi sebuah bubuk penjahat itu lemparkan ke arah Jayantaka.
Wuuuus!
Senopati Jayantaka terkejut. Asap hitam mengepul di udara. Dan penjahat itu segera melompat di atas ranjang keluar lewat jendela kamar. Ia lari.
Gludak!
Bola mata Senopati Jayantaka membulat. Perasaannya tiba-tiba tidak enak setelah ia mendengar suara seperti sesuatu yang jatuh dari atas. Ia mempercepat langkahnya menuju ke ranjang tempat tidur Sang Prabu yang dikelilingi oleh tirai putih lembut melambai-lambai samar tertiup oleh angin.
Senopati Jayantaka membuka kelambu putih itu yang lembut dengan tangannya yang kokoh. Begitu ia melihat siapa yang ada di atas ranjang tersebut lagi dan lagi bola matanya terbelalak lebar.
Sang Prabu telah tewas dengan sebuah tikaman di bagian perut dengan mata terbelalak.
"Gusti Prabu!" panggil Senopati Jayantaka kepada junjungannya itu yang kini sudah tak bernyawa. Ia memegang bahu Sang Prabu dengan kedua tangannya dan digoyangkan.
Tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka dengan begitu lebar dari arah luar. Beberapa orang petinggi kerajaan muncul dan prajurit membawa obor di tangan sebagai penerangan.
"Senopati Jayantaka, apa yang sudah kau lakukan!?" tegur seorang laki-laki dengan suara baritonnya ke arah Jayantaka.
Senopati Jayantaka terkejut dan berbalik badan. Pada saat itu pula semua mata memandang ke arahnya dan terkejut saat melihat tubuh Sang Prabu sudah tewas tak bernyawa.
"Kanda!" teriak seorang perempuan yang merupakan istri dari Prabu Rajapura. Ia berlari ke arah suaminya tersebut dan menarik-narik tubuh suaminya itu yang sudah tak bernyawa sambil menangis dan memeluknya.
Dari kerumunan para manusia tersebut muncul seorang pemuda yang usianya sepantaran Jayantaka. Ia juga bertubuh gagah dan tinggi juga berparas rupawan. Dia adalah adik dari Raja Rajapura. Melihat kakaknya tak bernyawa matanya memandang ke arah Jayantaka. Memerah dan terbelalak lebar.
"Berani-beraninya kau melenyapkan nyawa kakakku!" tegur laki-laki itu yang bernama Pangeran Kusuma.
Dituduh atas kejahatan yang tidak Senopati Jayantaka lakukan membuat pemuda itu matanya terbelalak lebar. Hatinya bagai disambar petir di malam hari.