Langit Surabhayang malam ini penuh kilau.
Cahaya dari gedung-gedung kaca memantul di kanal-kanal biru yang berkelok di tengah kota, membuat semuanya tampak seperti lautan bintang yang tidak pernah tidur. Monorel meluncur mulus di atas rel magnetik, membawa orang-orang yang terburu-buru menuju hidup yang sama buru-burunya. Drone pengantar paket beterbangan rendah, lengan robotiknya mengeluarkan desis pelan saat melewati batas sensor lalu lintas.
Kota ini cepat. Keras. Dingin.
Tapi di tengah semua gemerlap itu, Klinik Sehat Prima berdiri seperti satu-satunya oase yang masih punya sisa-sisa kehangatan manusia.
Dr. Bagas Santoso baru keluar dari ruang operasi. Kaus dalamnya basah kuyup, rambutnya acak-acakan, dan tangan kanannya masih memegang tablet diagnostik yang layarnya menampilkan grafik detak jantung pasien yang baru saja ia tangani.
Ia berjalan pelan menyusuri lorong. Cahaya putih dingin memantul di lantai granit yang terlalu bersih, terlalu steril. Asisten holografik di lobi menyapa pasien dengan suara lembut yang terlalu sempurna.
“Selamat malam, Bapak. Mohon duduk sebentar. Tim medis akan segera memeriksa Anda.”
Bagas hanya meliriknya sekilas, lalu mendorong pintu ke ruang istirahat.
“Pasien ruang dua sudah stabil, Dok,” ucap Lira, perawat dengan rambut perak sintetis yang selalu rapi. Suaranya tenang seperti biasa, tapi ada ketegangan di ujung nadanya. “Tapi ada yang baru masuk. Kondisinya... aneh.”
Bagas berhenti di depan layar data. Grafik detak jantung pasien baru itu naik-turun liar, seperti ombak badai. Ia menyipitkan mata.
“Ada jejak mineral asing di darahnya. Ini apa...”
Tangannya menyapu layar, memperbesar hasil laboratorium cepat.
“Piritanox,” gumamnya pelan.
Lira melangkah mendekat. “Tapi zat itu... enggak mungkin ada di sini, kan? Bukannya cuma tumbuh di Kalimandala?”
“Seharusnya, ya.”
Piritanox adalah zat mineral yang hanya muncul di kawasan sakral hutan suci Kalimandala, tempat yang dilindungi undang-undang dan kepercayaan leluhur. Zat itu bersifat parasit—masuk ke tubuh manusia, lalu mengubah struktur jaringan dari dalam.
“Bawa ke ruang isolasi,” ujar Bagas cepat, matanya masih tertempel di layar.
“Aku tangani sendiri.”
“Bagas...” Lira ragu. “Kalau ini beneran Piritanox, harusnya dirujuk ke Pusat Medika Kota aja. Kita enggak punya protokol buat ini.”
Bagas menoleh perlahan. “Aku tahu apa yang kulakukan.”
Rian. Itu nama pasien yang dibawa Lira masuk dengan hover-stretcher.
Cowok itu masih muda, mungkin awal dua puluhan. Badannya kurus, kulitnya pucat, dan ada urat kehitaman di leher serta lengan. Ia tampak seperti turis nyasar yang salah belok ke zona kelabu. Tapi bukan pekerja tambang, bukan pula pencari tumbuhan langka.
Bagas menempelkan kapsul pemindai ke dada Rian.
“Namamu siapa?”
“...Rian...” suara itu serak, nyaris tak terdengar.
Hologram hasil pemindaian muncul. Mineral itu sudah menyebar ke paru-paru dan jantung. Membentuk jaringan asing yang menyerang sistem imun. Parah.
“Kalau cuma pakai obat biasa, dia enggak akan tahan sampai subuh,” gumam Bagas pelan.
Lira berdiri di belakang, tangan kanannya menyentuh panel kontrol.
“Kita... kita harus lapor, Bagas.”
“Enggak,” potongnya tajam. “Aku bawa dia ke bawah.”
“Kau gila?” suara Lira meninggi. “Tempat itu...”
“Jaga atas. Kunci pintu belakang. Sekarang.”
Lira menatapnya lama, wajahnya menyimpan banyak kata yang tak diucapkan. Tapi akhirnya dia mengangguk. “Aku kasih kau satu jam.”
Ruang bawah tanah klinik. Dulu tempat ini hanya berisi server dan alat cadangan. Tapi sekarang jadi sesuatu yang tak tercatat di sistem mana pun.
Gelap. Lembap. Dinding beton dihiasi ukiran simbol-simbol kuno Dayangkara—lingkaran dengan empat roh penjaga: Angin, Api, Tanah, dan Hujan. Di tengah ruangan, ada meja batu tua yang warnanya telah memudar, tapi ukirannya masih tajam. Meja ritual.
Bagas mengangkat tubuh Rian dengan hati-hati. Cowok itu mulai kejang. Badannya melengkung, matanya mendelik putih.
Dari mulutnya keluar suara berdesis. Bukan manusiawi. Bukan bahasa.
Seketika, suhu ruangan menurun drastis.
Bagas mundur selangkah. Tangan kanannya membuka laci rahasia. Di dalamnya, ada satu botol kecil berisi cairan hijau tua. Ramuan dari akar Wisa—tumbuhan langka yang hanya tumbuh di lereng Kalimandala. Sumber kekuatan dan perlindungan Dayangkara.
Lira masuk dari balik pintu baja, wajahnya pucat.
“Apa yang kau lakukan, Bagas?” teriaknya.
Rian tiba-tiba bangkit dari meja. Matanya nyala putih. Tangannya mencakar udara. Lira menjerit dan mundur ke dinding, nyaris kena pukulan liar.
“Jangan dekati dia!” Bagas menahan tubuh pemuda itu dengan satu tangan, lalu dengan tangan lain membuka botol ramuan. Suaranya nyaris seperti doa.
“Dayangkara... penjaga hutan dan jiwa. Tolong dia.”
Ia meneteskan ramuan ke dada Rian. Cairan itu menguap seketika, membentuk asap hijau tipis.
Udara bergetar. Dinding seolah mengembuskan napas kuno. Dari sudut gelap, muncul cahaya lembut seperti dedaunan bercahaya. Roh Penjaga Hujan.
Cahaya itu melayang perlahan, menyentuh tubuh Rian. Mineral hitam dari kulitnya mulai mencair, mengalir keluar bersama napas terakhir dari racun.
Tapi Bagas merasakan sesuatu. Ada bisikan dalam kepalanya, dingin dan dalam.
Ia melihat bayangan pohon-pohon raksasa terbakar. Tanah retak. Akar-akarnya menangis darah.
Mereka menggali jantung hutan. Darahnya akan tumpah.
Bagas jatuh terduduk. Tangannya menggenggam dada. Pandangannya buram.
Rian perlahan rebah kembali di meja. Napasnya tenang. Matanya tertutup. Racunnya tersapu. Tapi tubuhnya masih rapuh.
Lira memandang semua itu tanpa suara. Matanya membesar. “Tadi... tadi itu roh, ya?”
Bagas mengangguk pelan.
“Kalau benar Piritanox udah sampai ke kota, berarti mereka... mereka udah masuk terlalu jauh.”
Belum sempat ia menjawab, terdengar suara dengung halus dari ventilasi.
Bagas menoleh cepat.
Satu drone kecil melayang di atas kepala mereka. Lensa merahnya berkedip. Di badannya tertulis jelas: Haryanto Corp.
“Lira, tutup pintu!”
Bagas melompat, mencoba menangkap drone itu, tapi benda itu lebih cepat. Menyelinap lewat celah ventilasi dan menghilang ke atas.
Di atap klinik, angin malam menyapu wajahnya.
Bagas menatap langit Surabhayang yang kelabu. Tak ada tanda drone itu lagi. Tapi dia tahu, rekamannya sudah dikirim. Sudah ada yang menonton.
Langit tiba-tiba pecah.
Kilat menyambar. Suara seperti retakan tulang bumi menggema di udara. Dan dari dada Bagas, keluar cahaya biru lembut. Simbol Dayangkara membentuk lingkaran di udara.
Kekuatan warisan, pikirnya.
Suara roh itu muncul kembali, kali ini jelas.
Kekuatan warisan ada di dalammu. Lindungi hutan, atau darah akan tumpah.
Bagas jatuh berlutut. Napasnya sesak. Tapi bukan karena lelah. Karena rasa yang selama ini ia tahan: panggilan darah. Ia adalah keturunan Dayangkara, penjaga hutan dan penawar kutuk zaman.
Dan sekarang, dunia butuh dia lagi.
Saat cahaya memudar, ia berdiri pelan. Dari kejauhan, di atap gedung sebelah, ada satu sosok bayangan yang mengawasi.
Bukan Lira.
Bukan Maya.
Seseorang yang tahu siapa dirinya.
Ponsel Bagas bergetar. Satu pesan masuk.
[AWAS. Mereka tahu kau Dayangkara.]
Tangannya mengepal.
Surabhayang tidak lagi hanya kota. Ini sudah jadi medan perang. Antara mereka yang menggali bumi, dan mereka yang bersumpah melindunginya.