“Langit pertama terbuka ketika manusia pertama kali bermimpi menembus kematian.”
Dunia ini disebut Daratan Perintis, sebuah tanah luas yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai panggung ujian bagi umat manusia. Di atas daratan ini terbentang tujuh lapisan langit, masing-masing hanya dapat dicapai oleh mereka yang melampaui batas kehidupan fana.
Namun, pada zaman dahulu kala, manusia tak lebih dari makhluk lemah—terikat oleh daging dan waktu, digulung oleh alam. Dunia belum mengenal kultivasi, belum memiliki cara untuk mengendalikan Energi Alam, belum mengetahui jalan kekuatan. Kematian adalah akhir.
Hingga seribu tahun yang lalu … ketika harapan terakhir manusia hanya berupa doa tanpa suara … ia muncul.
Bukan dari langit. Bukan dari darah bangsawan.
Ia lahir dari tanah dan kesunyian, seperti benih kecil yang tumbuh di balik batu, menembus kerasnya dunia dengan tekad yang tak bisa dijelaskan.
Muncullah seorang lelaki yang menolak untuk menerima kenyataan itu.
Namanya telah hilang dari sejarah, namun dunia mengingatnya sebagai Sang Mahardika.
Ia berjalan sendirian tanpa guru, ia menolak langit, mengubah takdir, dan menghantam batas hidup dengan tangan berdarah. Saat orang lain mati dalam pencarian kekuatan, ia justru menempah tubuhnya hingga sekeras baja, menyatukan pikirannya dengan kehendak alam, dan membakar jiwanya demi menerobos kematian itu sendiri.
Hingga ia mencapai sesuatu yang tak pernah terpikirkan makhluk hidup mana pun:
Ranah Kesepuluh—Penggabungan Hidup dan Mati.
Dengan kekuatan itu, ia membuka Langit Pertama—sebuah celah menuju dunia di atas Daratan Perintis. Sebelum ia naik ke sana, Sang Mahardika meninggalkan ajarannya kepada manusia, dan mendirikan satu perkumpulan atau sekte: Sekte Embun Langit.
Namun, ia sadar bahwa kekuatan sejati tidak boleh diwariskan sembarangan.
Ia pun memilih delapan murid untuk menerima bagian dari inti ajarannya. Kepada mereka, ia meninggalkan delapan manuskrip rahasia, yang masing-masing memuat pecahan dari kunci menuju Ranah Kesepuluh.
Setelah itu, ia pun lenyap dari dunia ini. Seribu tahun berlalu.
Ajarannya telah menjadi legenda. Sekte Embun Langit nyaris dilupakan. Tapi warisan itu belum sirna. Ia masih tertidur dalam reruntuhan, tersembunyi dalam darah keturunan, dan menanti satu hal: seorang pewaris yang cukup setia, cukup berbakti, dan cukup tegar untuk melanjutkan jalannya.
Karena Sang Mahardika bukan tuhan. Ia hanyalah seorang manusia … yang berjalan sejauh mungkin untuk mendekati rahasia kehidupan.
Dan ini adalah kisah tentang pemuda itu—tentang Zayyan.
Seseorang yang tidak mencari kemuliaan … tapi menemukan jalan menuju langit dengan menapak bumi.
Karena untuk menjadi cahaya, ia harus memahami gelap. Tidak semua orang bisa berjalan di jalan ini. Sebagian berhenti di tubuh, sebagian tersesat dalam pikirannya sendiri, dan sebagian lain terbakar oleh jiwanya.
Tapi bagi mereka yang bersedia melepaskan segalanya … inilah jalan yang terbentang:
Jalan Kultivasi 9 Ranah Utama
1. Pemurnian Darah
Langkah pertama: menyucikan darah dari kelemahan fana. Tubuh menjadi kuat, vitalitas meningkat, dan daya tahan melampaui manusia biasa.
2. Pemurnian Tulang
Tulang diperkuat laksana baja. Gerakan menjadi mantap, tubuh mampu menahan tekanan luar biasa, dan menjadi benteng dalam pertarungan fisik.
3. Pembentukan Inti
Inti energi spiritual terbentuk di dalam tubuh. Di sinilah kemampuan untuk menyerap energi langit dan bumi mulai terbuka. Seorang kultivator kini telah melampaui batas manusia biasa.
4. Penempaan Hati
Setelah tubuh kuat, pikiran pun harus ditempa. Di ranah ini, seseorang belajar menguasai emosinya—tidak memadamkan, tapi menyelaraskan. Keteguhan hati menjadi senjata yang tak kasat mata.
5. Karsa Murka
Amarah, ambisi, dan dendam tidak lagi menjadi kelemahan. Di tangan kultivator sejati, itu semua menjadi kekuatan tajam. Tekad mereka tak tergoyahkan, dan setiap langkah disertai alasan yang dalam.
6. Kesadaran Batin
Ketika suara hati sejati terdengar, seorang kultivator mulai memahami takdirnya, memandang dunia dari tempat yang lebih tinggi. Ia tidak lagi melawan nasib, tapi menenunnya ulang.
7. Seru Atma
Di tahap ini, kultivator benar-benar meninggalkan batas tubuh dan pikiran. Energi di sekitarnya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus diraih atau dikendalikan, melainkan datang sendiri, tunduk pada keberadaannya.
Seorang Seru Atma cukup berdiri, dan udara di sekitarnya mengeras, tanah bergetar, bahkan senjata musuh bergetar ketakutan. Jurus tidak lagi memerlukan persiapan, sebab satu niat saja sudah cukup untuk menindas.
Perbedaan paling mendasar adalah cakupan kekuatan yang merambah ribuan langkah, tekanan jiwa yang bisa melumpuhkan lawan sebelum pedang terangkat.
Namun, gema semesta yang mereka bangunkan bagaikan pedang bermata dua—jika jiwa tidak mampu menguasai gaungnya sendiri, ia akan koyak, larut, dan ditelan panggilan yang ia jawab.
8. Lelaku Niskala
Jika Seru Atma menundukkan dunia dengan resonansi jiwa, maka Lelaku Niskala adalah ketika jiwa itu sendiri meninggalkan dunia nyata. Tubuh tak lagi menjadi pusat keberadaan, sebab jiwa mampu melintasi batas ruang dan hadir di tempat lain tanpa harus melangkah.
Mereka bisa berjalan di antara bayangan, merasuk ke dalam mimpi, atau meninggalkan jejak pada gema suara, menjadikan dunia fisik hanya salah satu lapisan keberadaan yang bisa mereka singgahi.
Kekuatan yang tercipta bukan lagi sekadar penindasan, melainkan ketidakterbatasan—mereka dapat muncul di dua tempat sekaligus, menindih waktu dan ruang, lalu mengakhiri musuh bahkan sebelum musuh menyadari kehadirannya.
Cakupannya meluas sejauh mata tak sanggup mengukur, dan setiap langkah jiwa adalah pemindahan yang mustahil ditangkap nalar.
9. Nirmala
Jika Lelaku Niskala adalah saat jiwa meninggalkan tubuh untuk melintasi batas dunia, maka Nirmala adalah saat tubuh, jiwa, dan roh berhenti menjadi tiga. Mereka melebur, larut satu sama lain, lalu hilang ke dalam sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri: Kesadaran Murni.
Di ranah ini, tidak ada lagi perbedaan antara dalam dan luar, antara yang melihat dan yang dilihat. Tidak ada “aku” yang menatap langit—karena “aku” telah menjadi langit itu sendiri. Tekanan, penindasan, bahkan keagungan bukan lagi makna yang relevan. Yang tersisa hanyalah keheningan yang mendahului segala bunyi.
Ranah Nirmala bukan keabadian, karena keabadian masih terikat waktu. Ia adalah kelahiran ulang sebelum dunia diciptakan, tempat semua pertanyaan berhenti, dan semua jawaban larut menjadi wajah baru yang bahkan langit pun enggan menyebut namanya.
Mereka yang mencapai ranah ini tidak naik, tidak turun. Mereka lenyap dengan damai—namun jejak yang mereka tinggalkan membelah zaman, seperti goresan cahaya di batu paling purba. Dunia tidak lagi memanggil mereka manusia, dewa, atau roh. Hanya satu sebutan tersisa: Yang Telah Bangkit.
Dan di luar itu … tersembunyi satu ranah terakhir: Ranah Kesepuluh—Gerbang Langit Pertama.
Tidak ada nama resmi. Tidak ada warisan. Tidak ada petunjuk. Para kultivator menyebutnya hanya dengan satu istilah: Langit Pertama adalah sebuah batas yang tidak diciptakan untuk dilanggar.
Jika Nirmala adalah penghilangan bentuk dan ego, maka Ranah Kesepuluh adalah kebangkitan dari kehampaan itu sendiri. Bukan sekadar hidup kedua, tapi eksistensi baru yang tidak pernah dirancang oleh langit.
Di ranah ini, seseorang tidak lagi menjadi kuat. Ia menjadi hukum. Tidak lagi bertanya, tidak lagi menjawab. Ia adalah akal dari kekosongan, hasrat dari kehendak yang bahkan langit tidak bisa pahami. Mereka yang mencapai titik ini tidak dikenal sejarah—karena sejarah ditulis oleh mereka yang masih hidup.
Dan makhluk di ranah ini … telah hidup, mati, bangkit, lalu memusnahkan konsep waktu itu sendiri.
Satu orang … seribu tahun lalu … telah menjejakkan kakinya di sana.
Langit bergetar. Hukum-hukum patah. Dan dunia membuka mata untuk pertama kalinya. Maka, terbukalah sebuah jalan.
Jalan ke Langit Pertama. Delapan fragmen ia tinggalkan. Bukan sebagai warisan, tapi sebagai kunci bagi mereka yang berani mati lebih dalam daripada kematian itu sendiri.
Catatan Daratan Perintis: Mereka yang mencari kekuatan akan tersesat. Mereka yang mencari keabadian akan binasa. Tapi mereka yang mencari pemahaman akan lenyap … dan dilahirkan sebagai sesuatu yang bahkan langit pun tidak bisa kendalikan.
Dan kelak, ketika Langit Pertama kembali terbuka … dunia akan tahu: bahwa Sang Mahardika hanyalah awal. Dan Zayyan … adalah percikan yang akan menerangi seluruh lapisan langit.