Matahari musim gugur menyinari alun-alun kotaraja Tembokbesi dengan cahaya keemasannya. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh para tabib dari seluruh penjuru negeri – pembukaan pendaftaran Turnamen Tabib Sejagad.
Barisan panjang telah terbentuk sejak fajar menyingsing. Para tabib dari berbagai kalangan, tua dan muda, berdiri dengan tegap mengenakan pakaian terbaik mereka. Ada yang mengenakan jubah sutra dengan sulaman benang emas, ada pula yang berpakaian sederhana namun tetap terlihat terpelajar. Semua mata tertuju pada meja pendaftaran yang dijaga oleh seorang kasim istana dan dua orang pengawal kerajaan.
Di tengah barisan, berdiri sosok yang begitu kontras dengan sekelilingnya. Seorang pemuda mengenakan pakaian yang tampak usang dimakan waktu, ditambah sepasang sepatu butut yang berlubang di beberapa bagian. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang, namun beberapa helai membandel menutupi sisi wajahnya yang tampak kusam karena debu.
Pemuda yang masih berusia sembilan belas tahun itu bernama Jerry, yang baru saja menempuh perjalanan panjang dari desanya yang terpencil di lereng gunung.
"Minggir kau!"
Sebuah dorongan keras membuat Jerry terhuyung ke samping. Seorang pria berusia tiga puluh tahunan, bertubuh kekar dengan pakaian mewah kini berdiri di tempatnya semula.
"Di sini bukan tempat antrian beras tapi antri mendaftar untuk mengikuti turnamen tabib terhebat. Dasar bodoh!" bentak pria itu dengan nada mencemooh.
Jerry berusaha mengambil alih tempatnya berdiri tadi dengan sopan. "Maaf, Tuan. Saya juga hendak mendaftar sebagai peserta turnamen tabib," ucapnya dengan suara tenang.
"Hah! Lelucon macam apa ini?" Pria itu tertawa mengejek, kembali mendorong Jerry menjauh darinya, "Minggir, Gembel tak tahu diri! Bisa-bisanya mengaku tabib."
Jerry akhirnya mengalah, terpaksa mengambil posisi antri di belakang pria angkuh dan kasar itu.
Setelah lama berdiri dalam antrian, akhirnya giliran Jerry pun tiba.
"Selanjutnya!"
Jerry melangkah maju. Kasim itu memicingkan mata, mengamati penampilannya dari atas ke bawah dengan tatapan menghina.
"Sepertinya kau salah tempat. Tempat mengemis ada di gerbang kota sebelah utara," ujar sang Kasim, disambut tawa menggelegar dari kedua pengawal di sampingnya.
Jerry tersenyum kikuk, "Maaf, Tuan. Saya datang untuk mendaftar Turnamen Tabib Terhebat Sejagad."
Tawa yang lebih keras meledak dari mulut pejabat itu. "Oh? Dan siapakah gerangan dirimu, wahai Tabib Muda'?" tanya Kasim dengan nada mengejek.
"Nama saya Jerry, dari desa di lereng Gunung Solara."
"Sudahlah, jangan buang-buang waktuku! Mana mungkin orang sepertimu memiliki ilmu pengobatan? Membayar biaya pendaftaran saja pasti kau tak mampu!" Kasim itu menadahkan tangannya, "Biayanya lima puluh gobang perak!"
Tanpa ragu, Jerryi membuka buntalan lusuh yang ia bawa. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah kantung kecil penuh tambalan. Dengan gerakan tenang, ia menuangkan isinya ke atas meja – puluhan keping uang gobang.
Mata Kasim membelalak tak percaya. Namun bukannya memproses pendaftaran Jerry, ia malah menatap pemuda lugu itu dengan pandangan penuh tuduhan. "Dari mana kau dapatkan uang sebanyak ini? Pasti uang ini hasil curian!"
Bisik-bisik mulai terdengar dari antrian di belakang. Beberapa orang mulai menunjuk-nunjuk ke arah Jerry dengan pandangan menuduh.
"Saya bukan pencuri," Jerry menjelaskan dengan suara bergetar. "Ibu saya menjual ternak kami satu-satunya agar saya bisa mengikuti turnamen ini."
Belum sempat Jerry menyelesaikan penjelasannya, pria yang tadi mendorongnya tiba-tiba muncul dan berteriak, "Uangku! Kantung itu milikku yang hilang!"
"Ah, benarkah?" Kasim menaikkan alisnya yang melengkung tipis. "Jadi dia pencuri uang Anda, Tuan Alan?"
"Bukan! Itu tidak benar!" Jerry berusaha membela diri, namun suaranya tenggelam begitu dua pengawal bersenjatakan tombak meringkus dan melipat kedua tangannya ke belakang dengan kasar.
Alan mengangkat tangannya dengan gestur yang dibuat-buat. "Sudahlah Tuan, bebaskan saja dia! Aku tak ingin memperpanjang masalah ini."
"Usir keluar pencuri ini!" perintah Kasim kepada dua pengawal.nya "Tuan Alan sungguh berbudi luhur, tapi kita tak bisa membiarkan pencuri berkeliaran di alun-alun kotaraja."
Jerry meronta saat kedua pengawal menyeret tubuhnya seperti penjahat. Mereka mendorongnya keluar dari alun-alun hingga ia terjatuh terjerembab di atas tanah berbatu.
Pemuda dusun itu hanya bisa pasrah akan nasibnya. Uang yang ia kumpulkan dengan susah payah, hasil penjualan ternak satu-satunya keluarganya, kini telah dirampas begitu saja.
Dengan langkah gontai, Jerry menyusuri jalanan yang padat. Pikirannya kacau, tak tahu harus kemana. Bagaimana ia bisa mengikuti turnamen sesuai pesan ibunya jika seluruh uangnya telah hilang?
"Menepi!"
Lagi-lagi sebuah dorongan keras nyaris membuat Jerry terjatuh untuk kesekian kalinya hari itu. Rombongan pasukan tentara kerajaan lewat, mengawal seorang jenderal yang menunggang kuda hitam nan gagah.
Meski usianya sudah sekitar lima puluh tahun, sang Jenderal masih terlihat gagah dan berwibawa. Namun insting Jerry yang terlatih sebagai tabib dapat melihat sesuatu yang berbeda – ada ketidakberesan dengan kesehatan sang Jenderal.
"Tuan!" Jerry berusaha mendekat, tetapi pengawal-pengawal di belakang sang Jenderal segera menghadangnya.
"Apa kau cari mati?" bentak salah seorang pengawal.
"Jangan-jangan dia pemberontak!" tuduh yang lain.
"Bukan, aku hanya ingin bertemu Tuanmu karena—"
"Memangnya sepenting apa dirimu ingin bertemu Jenderal kami?" ejek pengawal itu, memotong penjelasan Jerry.
Belum sempat Jerry menjawab, tiba-tiba sang Jenderal mencengkeram dadanya sendiri. Wajahnya memucat, dan dalam sekejap tubuhnya oleng dari atas kuda. Para pengawal yang tadinya mengancam Jerry kini berhamburan panik berusaha menolong jenderal mereka yang tergeletak di tanah.
Jerry memanfaatkan kekacauan itu untuk menerobos kerumunan. Dengan gerakan lincah, ia menyelinap di antara para pengawal yang panik dan berlutut di samping sang Jenderal.
Sebelum siapapun sempat mencegahnya, jemarinya yang terampil telah menyentuh pergelangan tangan sang jenderal.
"Apa yang kau lakukan? Menjauh dari Jenderal Magnus!" teriak salah seorang pengawal, namun Jerry mengabaikannya.
Mata sang Tabib muda terpejam, seluruh konsentrasinya terpusat pada denyut nadi yang ia rasakan di bawah jemarinya. Denyutan itu lemah dan tidak teratur – tanda klasik serangan jantung yang ia pelajari dari kitab kuno peninggalan gurunya.
"Cepat! Buka jubah dan ikat kepalanya!" perintah Jerry dengan suara tegas yang mengejutkan para pengawal. "Dia terkena serangan jantung!"
Para pengawal saling pandang dengan ragu, tapi melihat wajah jenderal mereka yang semakin pucat, mereka tak punya pilihan selain menuruti perintah pemuda lusuh itu.
Jerry meletakkan telapak tangannya di dada sang Jenderal. Matanya terpejam dalam konsentrasi penuh, mengabaikan keributan di sekelilingnya. Ia bisa merasakan aliran energi yang tersumbat di pembuluh-pembuluh vital pria separuh baya itu. Tanpa ragu, Jerry mulai mengalirkan energi spiritual dari dalam tubuhnya sendiri, menuntun dan membuka kembali jalur-jalur energi yang terhalang.
Para pengawal terkesima menyaksikan cahaya kebiruan samar yang memancar dari telapak tangan Jerry. Keringat mulai membasahi wajah pemuda itu sementara ia terus mengalirkan energi kehidupannya sendiri untuk menyelamatkan sang Jenderal.
Perlahan, warna mulai kembali ke wajah Jenderal Magnus. Nafasnya yang tersengal berangsur normal. Namun Jerry sendiri semakin pucat, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang kini berpindah ke dadanya sendiri.
"Jenderal akan baik-baik saja," ucap Jerry dengan suara lemah, sesaat sebelum tubuhnya oleng mau ambruk.
Jenderal Magnus membuka mata, kesadarannya pulih sepenuhnya. Ia segera bangkit duduk dan menangkap tubuh Jerry yang nyaris terjatuh.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap sang Jenderal dengan suara penuh wibawa.
Jerry hanya bisa mengangguk lemah, wajahnya masih pucat pasi menahan sakit.
"Katakan, apa yang bisa kulakukan untuk membalas budi?" tanya Jenderal Magnus.
Dengan suara pelan, Jerry menceritakan tentang uang pendaftarannya yang dirampas dan keinginannya mengikuti Turnamen Tabib Terhebat Sejagad.
"Mengapa tidak tinggal bersamaku saja?" tawar Jenderal Magnus. "Kau bisa menjadi asistenku. Aku melihat ketulusan dan kejujuran dalam dirimu."
Jerry menggeleng lemah. "Maaf, Jenderal. Saya Jerry, memiliki cita-cita untuk menjadi tabib yang bisa membantu banyak orang. Desa saya sangat terbelakang ... dengan hadiah emas dari turnamen ini, saya berharap bisa membangun desa dan memberikan fasilitas pengobatan untuk mereka secara cuma-cuma."
Sang Jenderal terdiam sejenak, tersentuh oleh ketulusan pemuda di hadapannya. Ia merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sekantung uang serta sebuah plakat kerajaan dengan ukiran burung phoenix.
"Aku menghormati tekadmu, Jerry!" puji pria setengah baya itu sambil tersenyum bijak,
"Ambillah uang ini untuk pendaftaran. Dan plakat phoenix ini ... tunjukkan saja bila ada yang menghalangimu. Tak akan ada yang berani menentang perintah Magnus, Jenderal Besar Kerajaan Langit Timur."
Jerry menerima pemberian itu dengan penuh rasa syukur. Setelah beristirahat sejenak dan rasa sakit di dadanya mereda, ia bangkit berdiri, membungkuk hormat pada sang Jenderal, lalu melangkah kembali menuju alun-alun dengan tekad yang semakin kuat.