

Bab 1.
Suara derap sepatu Axel di koridor sekolah terdengar nyaring, beradu dengan teriakan kasar di belakangnya. "WOI, AXEL! BERHENTI LO, SIALAN!"
Axel Rengganis tidak menoleh. Kemeja seragamnya sudah keluar dari celana, dasinya entah ke mana, dan ada sedikit bercak darah di sudut bibirnya. Rambutnya yang biasanya agak gondrong kini sedikit berantakan. Tangan kirinya masuk saku celana, seolah santai, tapi otot-otot di rahangnya mengeras. Jantungnya bergemuruh hebat, tapi raut wajahnya tetap tenang, bahkan ada seringai tipis terukir di bibirnya, walau matanya awas memindai setiap celah dan sudut koridor yang ramai siswa baru bubar pelajaran.
Dia baru saja memberi pelajaran pada si ketua Geng Serpent yang berani mengusik adik kelas, dan sekarang, semua kroni Serpent mengejarnya kayak anjing kelaparan.
"Sialan, banyak banget nih kroco," gumam Axel, napasnya sedikit memburu. Dia menukik tajam melewati kerumunan siswa yang masih berdesakan di lorong, membuat beberapa di antaranya terhuyung dan menumpahkan minuman mereka.
Beberapa siswi sampai memekik kaget, tapi tak ada yang berani menghalangi jalannya. Reputasinya sebagai "Rebel Heart" di sekolah ini sudah sangat melekat.
"Mampus lo sekarang! Nggak bakal bisa lari!" teriak suara Bara, salah satu anggota inti Geng Serpent, suaranya terdengar makin dekat.
"Udah, Yel! Kita bantu!" Rian Ardiansyah, dengan tubuh kurusnya tapi lincah, berteriak dari ujung koridor yang berlawanan.
Kevin Pratama dan Zayn Nugraha, dua teman setia Axel, juga berlari menyusul, mencoba memecah konsentrasi pengejar Axel.
"Nggak usah! Kalian fokus amankan jalan keluar! Gue aja!" balas Axel cepat tanpa berhenti lari.
Dia membelok tajam di tikungan, menuju aula serbaguna. Tempat ini biasanya sepi kalau jam segini.
Seringainya melebar tipis. "Good, ini tempat yang pas."
Tiba-tiba, dari balik pintu aula yang terbuka separuh, muncul sosok perempuan. Rambut panjangnya tergerai rapi, seragamnya bersih tanpa noda sedikit pun, kontras sekali dengan penampilannya yang amburadul. Tangannya penuh menenteng setumpuk buku tebal, tingginya nyaris menutupi wajah. Wajahnya menunduk, sibuk membaca catatan di buku paling atas, seolah dunia lain tidak ada.
"Sial!"
Geng Serpent sudah di belakangnya, suara langkah kaki dan teriakan kasar mereka makin menggelegar di koridor.
"AWAS!" teriak Axel sekuat tenaga, mencoba memperingatkan, tapi sudah terlambat.
BRAK!
Tubuh mereka bertabrakan dengan keras. Buku-buku tebal Freya berhamburan ke lantai, dengan bunyi nyaring buku yang memilukan.
Kertas-kertas catatan yang terselip di antaranya beterbangan seperti salju di tengah pusaran udara kecil.
Gadis itu terhuyung, nyaris jatuh menimpa tumpukan bukunya sendiri. Matanya membulat sempurna, menatap Axel yang berdiri menjulang di depannya.
Itu Freya Amalia Wijaya, si 'Kutu Buku' yang terkenal dingin, cerdas, dan selalu dapat peringkat satu di angkatan. Orang-orang bahkan menjulukinya "Miss Perfect".
"Lo... lo gila ya?! Mata lo di mana sih?!" Freya berusaha menegakkan tubuhnya, tangannya bergerak reflek hendak memungut buku-bukunya yang malang. Matanya memancarkan kekesalan yang jelas.
Axel tidak memberinya kesempatan. Suara derap langkah Geng Serpent makin mendekat, napas Bara yang memburu sudah terdengar di dekat sana.
Tanpa berpikir panjang, tangannya menyambar pergelangan tangan Freya, menariknya kuat hingga gadis itu kehilangan keseimbangan.
"Nggak ada waktu! Ikut gue kalau lo nggak mau mampus!" Suaranya tegas, nadanya tidak bisa dibantah, penuh urgensi.
Mata Freya melebar. "Lepasin! Gue nggak mau ikut-ikutan urusan lo! Buku gue!" Dia memberontak, mencoba menarik tangannya dari genggaman Axel yang erat.
"Berisik!" Axel mengabaikan semua perlawanan Freya.
Siluet para anggota geng Serpent sudah terlihat jelas di ujung koridor, mereka seperti sekelompok hyena yang siap menerkam mangsa. "Mereka udah deket! Kalau lo nggak mau kena imbasnya, lari sama gue!"
Dia menyeret Freya yang masih terhuyung, yang anehnya masih memegang erat beberapa buku sisa di tangan satunya. Mereka berdua masuk dengan cepat ke dalam aula.
Axel langsung menarik Freya, membawanya lari lebih dalam ke balik deretan bangku penonton paling belakang, di antara tumpukan properti bekas pentas seni yang usang dan tertutup kain putih.
Napas Axel terengah, memegangi bahu Freya yang juga sama terengahnya, tapi lebih karena terkejut dan marah. Mereka berdua berjongkok dalam posisi yang sangat dekat, bahu saling bersentuhan, napas hangat Axel menerpa pipi Freya.
Gadis itu bisa mencium aroma samar keringat, maskulin, dan sedikit wangi rokok dari tubuh Axel. Jantungnya berdetak tak karuan, bukan hanya karena lari, tapi karena kedekatan yang tiba-tiba dan tak terduga ini. Otaknya kosong, hanya ada Axel di depannya.
"Lo... lo ngapain sih?! Ini gila!" bisik Freya, suaranya nyaris tak terdengar, gemetar. Matanya menatap Axel dengan campuran ketakutan, amarah, dan entah kenapa, sedikit rasa penasaran yang aneh.
"Kenapa dia dikejar seperti itu? Kenapa harus gue yang ikut sama dia!"
Axel tidak menjawab, matanya fokus pada celah sempit di balik tumpukan properti, mengamati situasi di luar.
Suara langkah kaki dan umpatan Geng Serpent terdengar semakin jelas, kini sudah di depan pintu aula.
"Kayaknya mereka masuk sini, Bara!" seru salah satu suara dari luar.
"Sial!" Axel mengumpat pelan, rahangnya mengeras.
Dia melirik Freya. Gadis itu menatapnya dengan tatapan memohon, seolah meminta penjelasan atau jalan keluar, tapi tidak ada waktu untuk itu. Dia harus bertindak cepat.
"Dengerin," bisik Axel, suaranya rendah, serak, dan serius. "Gue nggak tahu nama lo siapa, tapi kalau lo pengen selamat, diem. Jangan bersuara. Nanti gue jelasin."
Dia mengeratkan sedikit genggaman tangannya pada pergelangan Freya, seolah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Freya merasakan panas dari telapak tangan Axel merambat ke lengannya, seperti sengatan listrik. Debaran jantungnya makin gila, telinganya berdenging. Dia tidak tahu harus takut pada Axel yang menyeretnya ke dalam bahaya, atau pada bahaya yang jelas mengintai di luar sana. Dia hanya bisa mengangguk pelan, terlalu terkejut untuk membantah.
Suara langkah kaki berhenti tepat di depan pintu aula.
Cahaya masuk dari celah pintu yang sedikit terbuka, menembus kegelapan aula yang remang.
Seorang bayangan tinggi dan besar terlihat jelas di ambang pintu, diikuti oleh dua bayangan lain.
Axel menarik napas dalam, wajahnya tegang, matanya berkilat waspada.
Dia menatap Freya, memberikan isyarat keras agar gadis itu tetap diam.
"Ketemu lo, Axel Rengganis!" suara berat Bara, penuh ancaman dan dendam, menggelegar di dalam aula.
Langkahnya mulai masuk, diikuti oleh anggota gengnya.
Axel menoleh ke arah Freya, tatapan matanya tajam dan penuh peringatan, wajahnya menunjukkan dilema. Suasana mencekam.
"Sekarang, lo punya dua pilihan," bisik Axel, suaranya nyaris tak terdengar tapi menancap di benak Freya. "Mati di tangan gue, atau mati di tangan mereka. Pilih."