Bruuum! Bruuuuum!
Suara tarikan gas sontak membuat banyak orang meloncat menepi. Embusan kencang angin dari motor yang melaju kencang sampai menyibak rok pendek yang menjadi seragam siswi SMA Balekambang.
“ERLAAANG!!! PELANIN MOTORNYA!!!”
Dari balik helm, Erlang hanya melirik spion. Ekspresinya dingin, tak memedulikan jeritan dari teman-teman sekolahnya. Motor sport itu terus melaju kencang dan berhenti dengan ban berdecit di parkiran Kepala Sekolah.
“Erlang! Lagi-lagi kamu parkir di situ. Pindah! Itu tempat mobil Bapak Kepala Sekolah!” Satpam bergegas mengusir Erlang.
Yang diusir malah melempar helm ke pelukan satpam. “Simpenin, Pak. Duit rokok ada di dalam helm.”
Wajah satpam berubah. Ekspresinya serba salah.
“Entar aku yang ngomong ke Kepsek. Motor mahalku gak mungkin ditaruh barengan sama motor murah rakyat jelata di parkiran murid.” Laki-laki jangkung 180 sentimeter itu berseloroh.
Erlang, remaja 17 tahun yang duduk di kelas XII SMA Balekambang memang terkenal bengal. Posisi ayahnya yang pemilik sekolah menjadikan Erlang makin besar kepala. Sikapnya serampangan, suka bolos sekolah, suka balapan liar, dan sering menjadikan jalan sekolah yang lebar dan luas sebagai trek balapan.
Erlang juga ketua geng motor Taring Setan. Isinya anak-anak borjuis yang harga motornya setara ratusan gaji UMR Kota Surobhaya. Taruhan balapannya jangan ditanya. Semakin berbahaya balapannya, semakin eksklusif dan besar hadiahnya.
“Lang, pinjem PR!”
Baru saja menginjakkan kaki di bangku, Erlang sudah diberondong ocehan panik dua sahabatnya. Mereka adalah si gendut Nathan dan si kurus Reno. Dua orang yang sudah dikenal Erlang sejak kecil. Selain teman sekolah, mereka juga tetangga Erlang di rumah.
“Gak ngerjain.” Erlang berkata datar.
“Guru kimianya gak ngefek sama kamu, Lang. Mau anak pemilik sekolah juga bakal dihukum.” Nathan mengingatkan
Erlang bergeming. Terakhir kali berurusan dengan Guru Kimia yang lemah lembut dan soft spoken banget itu, Erlang malah kena hukuman harus nyumbang satu mobilnya sebagai kendaraan operasional ke panti asuhan tepi kota. Guru satu itu, level hukumannya sudah bukan berdiri di luar kelas lagi, tetapi sudah menyasar kelemahan sekaligus kelebihan utama murid-murid SMA Balekambang. Uang dan materi.
“Sial. Kenapa gak ngomong dari tadi?” Erlang sedikit panik. Cepat-cepat dia mengerjakan tugas Kimia yang hanya lima soal, tapi sulitnya serasa bikin kepala ngebul.
“Enak ya, jadi anak jenius. Ngerjain soal dajjal kayak gitu, lempeng aja.” Nathan melirik jawaban Erlang dan buru-buru menyalinnya ke bukunya sendiri.
“Anak tunggal dari Dokter Spesialis Jantung sama Dokter Spesialis Bedah Saraf terbaik di Surobhaya. Kamu mau ngarep dia jadi bego gitu?” Reno ikut menyalin jawaban Erlang.
"Jenius IPA, bolak-balik juara OSN, udah early admitted ke Fakultas Kedokteran. Coba aku punya 1% otakmu, Lang. Nggak perlu pake contek-contekan segala aku ini. Ngomong-ngomong, lulus sekolah nanti langsung ke Fakultas Kedokteran, Lang?” Reno bertanya di sela-sela keasyikan mencontek.
Erlang tak menjawab. Sebagai manusia, dia beruntung karena kepintaran kedua orang tuanya menurun langsung padanya. Namun, mengikuti jejak sebagai dokter dengan resiko nyaris tak punya waktu untuk diri sendiri dan keluarga, Erlang masih enggan. Apalagi pengalaman menemani orang tuanya di rumah sakit benar-benar membuka wawasan Erlang tentang resiko profesi dokter. Namun, tak dipungkiri Erlang juga mencintai bidang pengetahuan medis itu. Benar-benar pilihan yang membingungkan.
“Yes, kelar! Thanks, Lang!” Wajah Nathan berbinar. “Kutraktir Tanamera entar sore.” Nathan menyebut satu tempat tongkrongan elite yang harga segelas kopinya bisa langsung menaikkan tensi darah.
Erlang menggeleng. “Mau balapan entar malem. Geng Drakula Ijo nantangin. Bisa unboxing satu apartemen kalo menang. Lumayan nambah koleksi propertiku.”
“Gilaaa, makin hari Drakula Ijo makin jor-joran. Kapan nih, Taring Setan bakal ngasih hadiah gede juga?”
Erlang melengos. Sejak insiden kehilangan mobil sebagai hukuman karena tak mengerjakan PR Kimia, orang tuanya memang membatasi uang sakunya. Otomatis dia tak bisa menghamburkan uang untuk hadiah balapan.
Erlang menepuk bahu dua sahabatnya, pertanda pelajaran sudah dimulai. Walau malas berada di kelas, Erlang tetap butuh nilai kehadiran. Sudah kelas XII, tak bisa seenaknya lagi seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Namun, malamnya Erlang seperti setan yang dilepaskan dari belenggu. Kekesalan karena harus hadir di kelas dari pagi sampai sore membuatnya kalap. Pelampiasannya tentu dengan menggeber gas kencang-kencang di depan puluhan pasang mata anggota geng Taring Setan dan Drakula Ijo.
Awal balapan malam itu sudah disambut dengan gerimis. Makin lama makin deras. Jalur balapan sepanjang lima kilometer pun mulai licin.
Erlang membuktikan dia memang raja jalanan. Sangat lihai Erlang menggerakkan setir ke kanan dan ke kiri, memainkan gas dan rem bergantian, dan menyalip truk-truk besar di jalur luar kota. Trek balapan kali ini memang berada di pinggiran Surobhaya, tepat di sepanjang Sungai Blarantas yang berkelok kelok puluhan kilo meter melintasi tujuh kota itu.
Di balik helm, suara marshal terus memberikan informasi tentang kondisi trek. Namun, penyuara nirkabel di telinganya tiba-tiba berdering. Suara panduan dari marshal terhenti sejenak, berganti panggilan dari ibunya.
“Di mana kamu? Sudah jam dua belas malam, tapi belum pulang. Keluyuran lagi kamu?”
Erlang menurunkan gas dan mengganti gigi persneling Motor menggerung beberapa detik saat dia berbelok di tikungan. Lalu lintas relatif sepi karena waktu memang sudah masuk tengah malam. Erlang menurunkan kecepatan motornya karena harus membagi konsentrasi dengan panggilan ibunya.
“Gak bisa, Ma. Lagi ngerjain tugas.” Erlang melirik spion. Dia merasa ada cahaya yang memancar dari sungai, tetapi buru-buru menepis pikirannya sendiri. Konyol. Itu pasti hanya cahaya lampu kendaraan yang tak jelas akibat hujan deras.
“Tugas apa balapan lagi? Papa-mu sudah malas ketemu sama polisi-polisi itu. Jangan pulang kalau sampai tertangkap mereka. Kamu cuma bikin malu keluarga.”
Erlang tersenyum getir. Sejak dulu dia selalu disalahkan. “Kenapa Mama telepon? Rindu Erlang?” Lelaki itu mengalihkan topik pembicaraan.
“Mama suruh kamu pulang buat ambil uang. Rekeningmu diblokir Papa karena hukuman dari Guru Kimia-mu kemarin. Papa sama Mama mau workshop ke luar negeri. Jatah bulanan kamu Mama taruh di atas meja kamarmu. Cepat ambil sebelum pembantu rumah beres-beres. Bisa dicuri uang kamu sama mereka.”
Emosi Erlang memuncak. Suara omelan ibunya membuat kepalanya pening. Selain itu, dia juga baru disalip oleh anggota Geng Drakula Ijo. Persetan dengan orang tuanya yang merasa sudah cukup mengganti kasih sayang dengan segepok uang.
Tanpa basa-basi, Erlang mematikan telepon sepihak. Suara marshal trek kembali terdengar, menginformasikan hujan yang semakin deras turun. Ibunya kembali menelepon, tetapi Erlang mengabaikan. Gas terus digeber sampai hampir mentok.
Tiba-tiba dari balik tirai hujan dan lampu remang jalanan, muncul bayangan besar. Satu truk kontainer yang parkir di bahu jalan tanpa lampu hazard. Terlambat bagi Erlang.
“Anjing!” makinya keras-keras. Dia berusaha mengerem, tetapi laju kendaraannya terlalu kencang. Tak cukup waktu untuk berhenti, meski teknologi pengereman motornya sangat mumpuni.
Erlang memutar tajam setir ke arah kiri. Motor berputar setengah lingkaran, lalu menghantam pagar pembatas jalan. Terdengar suara logam melintir, ban pecah, dan bodi motor yang retak.
Bruakkk!
Motornya terpental, melayang seperti sobekan kaleng kosong, lalu jatuh masuk ke Sungai Blarantas dengan bunyi cipratan keras dan tumpul.
Air sungai yang dingin dan keruh menelan tubuh Erlang seketika. Helmnya terlepas. Kepalanya terbentur stir. Darah mengalir dari pelipis. Oksigen dengan cepat menipis. Pandangan Erlang mengabur.
Namun, sebelum segalanya gelap total, Erlang sempat melihat kilatan aneh dari dalam air. Seberkas cahaya kuning keemasan, seperti huruf-huruf asing yang berputar membentuk pusaran.
Dan saat semuanya benar-benar gelap …
… Dia justru mendengar suara asing memanggilnya, seperti suara dari dalam gua batu:
[“Ra Tanca …, bangkitlah. Waktumu belum habis .…”]