Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Satu Langit, Dua Takdir

Satu Langit, Dua Takdir

Sabin | Bersambung
Jumlah kata
120.8K
Popular
125
Subscribe
36
Novel / Satu Langit, Dua Takdir
Satu Langit, Dua Takdir

Satu Langit, Dua Takdir

Sabin| Bersambung
Jumlah Kata
120.8K
Popular
125
Subscribe
36
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeUrbanMisteriTeka-teki
Satria, seorang fotografer muda yang gemar mengabadikan langit malam, tak pernah menyangka sebuah perjalanan singkat ke Yogyakarta akan mengubah seluruh hidupnya. Di sana, ia bertemu Bintang, mahasiswi seni yang selalu membawa buku sketsa ke mana pun pergi. Pertemuan mereka sederhana di sebuah jembatan tua saat hujan rintik namun meninggalkan jejak mendalam. Seiring waktu, Satria dan Bintang semakin dekat, berbagi mimpi di bawah langit yang sama. Namun, perbedaan jalan hidup mulai memisahkan mereka. Satria mendapat tawaran bekerja di luar negeri, sementara Bintang terikat janji keluarga untuk melanjutkan usaha seni yang diwariskan ayahnya. Cinta mereka diuji oleh waktu, jarak, dan pilihan yang sama-sama menyakitkan. Apakah mereka akan bertahan di bawah satu langit, atau takdir akan membawa keduanya pada arah yang berbeda?
Bab 1-- Hujan di jembatan tua

Hujan turun sejak setengah jam lalu, mengubah sore Yogyakarta menjadi dunia abu-abu yang tenang.

Langit yang tadinya menyimpan warna oranye senja kini dilapisi awan kelabu. Air mengalir dari atap-atap bangunan tua, menetes ke jalan berbatu yang mulai licin. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kayu dari tiang-tiang jembatan.

Satria berdiri di bawah atap kecil jembatan tua, tempatnya berteduh sementara. Kamera tergantung di lehernya, lensa masih dipenuhi titik-titik air yang menempel seperti embun. Dia tidak terburu-buru pulang. Bagi Satria, hujan selalu memberi alasan untuk berhenti, memperlambat langkah, dan mengamati dunia.

Ia menyukai caranya hujan meredam kebisingan kota. Motor-motor yang lewat di bawah jembatan terdengar sayup. Suara gemericik air seperti musik latar yang menenangkan. Setiap tetesnya memantulkan cahaya lampu jalan yang mulai menyala, menciptakan kilau kuning keemasan di permukaan air.

Dari balik kerah jaketnya, Satria menghela napas. Udara dingin menusuk hidung, tapi entah kenapa terasa menenangkan. Matanya menyapu sekitar, mencari momen yang layak diabadikan.

Lalu matanya berhenti pada satu titik.

Di ujung jembatan, seorang gadis duduk di bangku kayu, menghadap ke sungai kecil yang airnya mengalir deras karena hujan. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, ujungnya basah dan menempel di bahunya. Dia mengenakan sweater krem yang tampak sedikit kebesaran, membuatnya terlihat rapuh tapi hangat.

Yang membuat Satria tertarik bukan hanya penampilannya, tapi apa yang sedang ia lakukan. Gadis itu menunduk, memegang buku sketsa di pangkuannya. Pensilnya bergerak pelan, kadang berhenti, lalu kembali menggores. Seolah hujan di sekitarnya hanyalah gangguan kecil yang tak berarti.

Satria menatap lebih lama dari yang seharusnya. Dia terbiasa memotret orang asing—pejalan kaki, penjual makanan, anak-anak bermain di gang—tapi gadis ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya merasa, jika ia tidak memotret atau mengingatnya sekarang, momen ini akan hilang selamanya.

Dengan hati-hati, ia mengangkat kamera.

“Klik.”

Satu bidikan, diam-diam dari jarak beberapa meter. Foto itu akan jadi rahasia kecilnya.

Namun sebelum ia sempat mengambil bidikan kedua, gadis itu mengangkat wajah, dan pandangan mereka bertemu.

Satria sedikit kaget, tapi justru gadis itu tersenyum tipis, seolah sengaja membiarkan dirinya terlihat.

"Kamu nggak takut sketsanya basah kena hujan?" tanya Satria akhirnya, suaranya bercampur antara penasaran dan gugup.

Gadis itu mengangkat bahu. "Kalau hujan bisa bikin lukisan ini lebih hidup, kenapa harus takut?"

Jawaban itu membuat Satria tertawa pelan. Kebanyakan orang akan panik melindungi kertas dari air, tapi dia malah membiarkan hujan ikut “melukis”. Ada keberanian di balik sikap santainya.

"Boleh lihat?" Satria menunjuk buku sketsa itu.

Gadis itu menatapnya sebentar, ragu. Lalu ia mengangguk, menyerahkannya dengan hati-hati. Satria membuka halaman terakhir, dan matanya langsung terpaku.

Di atas kertas, ia melihat gambaran jembatan tua ini, langit kelabu di atasnya, dan… seorang laki-laki berdiri di ujung jembatan, memegang kamera.

Itu dirinya.

"Kok… ini aku?" Satria mengangkat alis, antara terkejut dan kagum.

Gadis itu tersenyum kecil. "Aku suka menggambar orang yang nggak sadar sedang kulihat. Kamu… kelihatan seperti lagi nyari sesuatu."

Satria menahan napas. Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari sore itu—sampai sekarang.

"Namamu siapa?" tanya Satria.

"Bintang," jawabnya singkat.

Nama itu terasa aneh di telinganya. Sederhana, tapi meninggalkan bekas.

"Bintang di tengah hujan… agak kontras, ya."

"Justru karena itu," katanya sambil menatap ke langit. "Bintang nggak selalu harus muncul di langit malam. Kadang… dia ada di tempat yang nggak kita duga."

Satria ingin bertanya lebih banyak. Tentang mengapa ia menggambar di tengah hujan, tentang arti senyumnya yang tenang. Tapi hujan mulai mereda. Gadis itu menutup buku sketsanya, lalu berdiri.

"Makasih udah nemenin hujan ini," ucapnya sambil melangkah pergi.

"Tunggu! Aku belum—" Satria menghentikan langkahnya. Dia bahkan belum sempat menanyakan nomor telepon atau alamatnya. Gadis itu sudah hilang di balik tikungan jalan.

Sore itu, Satria pulang dengan jaket sedikit basah, kamera penuh foto, dan satu nama yang terus berputar di kepalanya: Bintang.

Di kamarnya malam itu, suara hujan masih terdengar samar dari luar. Satria memindahkan foto-foto sore tadi ke laptop. Setiap gambar berisi detail yang membuatnya sulit berhenti menatap—pantulan cahaya di genangan air, tetesan hujan di rambut Bintang, garis tipis senyum di bibirnya.

Dia berhenti di satu foto.

Foto pertama. Foto sebelum Bintang tahu dirinya sedang diperhatikan.

Entah kenapa, foto itu terasa seperti awal dari sesuatu yang besar.

Satria menyandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan suara hujan menjadi latar. Matanya tetap tertuju pada foto itu—foto Bintang yang menggambar tanpa peduli dunia.

Hujan selalu punya cara memanggil kenangan.

Ia teringat masa kecilnya di kampung, saat duduk di teras rumah bersama ibunya, memandangi hujan jatuh di sawah. Ibunya pernah berkata, “Kalau kamu bingung harus ke mana, lihat langit. Dia selalu nunjukin jalan.”

Kalimat itu dulu hanya ia anggap nasihat biasa. Tapi malam ini, setelah bertemu Bintang, kata-kata itu terasa lain. Seperti ada sesuatu yang sedang diarahkan kepadanya, meski ia belum tahu apa.

Satria menutup laptopnya pelan. Dia tahu, kalau terlalu lama menatap foto itu, ia akan sulit tidur. Tapi sebelum lampu padam, satu hal sudah ia putuskan:

Ia harus bertemu lagi dengan Bintang.

Jalanan menuju kos tampak berkilau disapu lampu-lampu jalan. Genangan air di pinggir trotoar memantulkan cahaya seperti serpihan kaca. Bau tanah basah berpadu dengan aroma sate dari gerobak di ujung gang, membuat Satria melangkah lebih pelan, membiarkan setiap detail menempel di ingatan.

Orang-orang masih berlalu-lalang meski udara dingin menusuk. Ada yang menunduk sambil berlari, ada yang tertawa di bawah payung yang sempit untuk dua orang. Di tengah semua itu, Satria merasa seperti sedang berjalan di dunia yang berbeda—dunia yang baru saja memperkenalkan Bintang kepadanya.

Sampai di kos, ia membuka pintu kamarnya yang sederhana. Dindingnya dihiasi beberapa foto hitam-putih hasil jepretannya, sebagian besar potret jalanan. Tapi malam ini, foto-foto itu seakan kehilangan nyawa di matanya. Ada satu wajah yang kini mengisi pikirannya.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap kamera yang masih basah oleh sisa hujan. Jari-jarinya mengetuk pelan lensa, seakan mencoba menyentuh kembali momen di jembatan tua.

Lalu, tanpa sadar, ia tersenyum. Bukan senyum lebar, tapi cukup untuk membuat pipinya terasa hangat.

Di luar, sisa hujan jatuh dari atap dengan suara tik-tik yang teratur.

Satria memejamkan mata, membiarkan suara itu mengantar satu nama mengalun di kepalanya—Bintang.

Malam ini, ia yakin satu hal: hujan tadi bukan kebetulan.

Di luar jendela, langit masih kelabu, seakan menyimpan rahasia yang hanya mau diungkapkan pada waktu yang tepat.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca