Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Semesta di Dalam Kabut

Semesta di Dalam Kabut

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
321.7K
Popular
436
Subscribe
81
Novel / Semesta di Dalam Kabut
Semesta di Dalam Kabut

Semesta di Dalam Kabut

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
321.7K
Popular
436
Subscribe
81
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeSpiritualMisteriPertualangan
Raka, seorang fotografer alam yang tengah dilanda krisis batin, memutuskan menepi dari hiruk-pikuk kota dengan menjelajahi sebuah kawasan pegunungan berkabut di timur Indonesia. Di sana, ia bukan hanya menemukan lanskap yang menakjubkan, tetapi juga bertemu orang-orang desa yang hidup seirama dengan alam dan menyimpan banyak kearifan yang nyaris terlupakan. Namun, saat ia menembus hutan-hutan yang jarang dijamah, kabut tebal tak hanya menyelimuti jalannya, tapi juga membuka tabir tentang luka lama yang selama ini ia hindari. Perjalanan fisik ini perlahan berubah menjadi perjalanan jiwa—tentang kehilangan, penemuan, dan berdamai dengan masa lalu. Dalam kabut, Raka belajar bahwa semesta tak selalu bicara dengan suara, tapi dengan keheningan.
Bab 1 : Kabut Pertama

Langit masih kelabu ketika Raka menjejakkan kakinya di desa Lembah Ranu, sebuah perkampungan kecil yang terletak di pelukan gunung. Embun membasahi rumput dan kabut menggantung rendah, seakan menyembunyikan sesuatu yang lebih dari sekadar pepohonan dan tanah basah. Di atas kepalanya, daun-daun saling berbisik tertiup angin pagi, sementara kamera tua di lehernya bergoyang pelan seiring langkah.

Ia datang bukan untuk sekadar memotret. Ada sesuatu yang ingin ia cari, meski ia sendiri belum tahu apa.

Raka telah menghabiskan bertahun-tahun mengabadikan bentang alam dan wajah-wajah dunia. Tapi setelah kehilangan ibunya enam bulan lalu dan berpisah dari seseorang yang ia cintai, semua yang dulu berarti menjadi hampa. Kota hanya memperparah sepi. Maka ia pergi—tidak untuk lari, tapi untuk menepi. Untuk diam dan mendengar lagi suara dirinya sendiri.

Di desa itu, waktu seperti melambat. Orang-orang menyapa dengan anggukan kepala, tak banyak bicara, seolah tahu bahwa tamu kadang datang bukan untuk ditanyai, tapi dibiarkan sendiri dulu. Ia menginap di rumah panggung milik Pak Ndaru, seorang pria tua penjaga hutan yang konon pernah “hilang” selama tiga hari di dalam kabut, lalu kembali dengan mata yang berbeda.

Hari pertama, Raka berjalan tanpa arah, hanya mengikuti suara air dan desir angin. Semakin jauh ia melangkah, semakin pekat kabut menyelimuti. Ia berhenti di tepi jurang kecil, membidikkan kameranya ke pepohonan di kejauhan. Tapi lensa tak mampu menangkap apa yang ia rasakan. Ada yang sunyi namun hidup di balik kabut itu—sebuah semesta yang belum ia mengerti.

Malamnya, saat kabut turun lebih tebal, Pak Ndaru duduk di depan tungku, memecah keheningan.

"Kabut di sini bukan cuma udara lembap," katanya, matanya tajam menatap api. "Kadang dia membawa yang tak terlihat oleh mata biasa."

Raka tak menjawab. Tapi kalimat itu tinggal lama di pikirannya, seperti gema yang tak kunjung padam.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bermimpi—tentang hutan, tentang suara ibunya yang memanggil dari kejauhan, dan tentang dirinya sendiri, berjalan sendirian, menuju sesuatu yang belum ia pahami.

Pagi berikutnya, kabut masih menyelimuti desa seperti selimut tebal yang tak ingin terlepas. Raka bangun lebih awal, merasa ada sesuatu yang memanggilnya. Tanpa ragu, ia menyusuri jalan setapak yang mengarah ke hutan. Langkahnya terasa ringan meski tanah lembap di bawahnya mengisap sepatu botnya. Kamera di lehernya tetap bergoyang pelan, tapi kali ini ia tidak merasa tergesa. Ada perasaan aneh, seolah setiap langkah membawa dia lebih dekat pada sesuatu yang tak tampak.

Di dalam hutan, kabut semakin tebal, menutupi pandangannya hingga hanya beberapa meter ke depan yang terlihat. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga, menyerap semua cahaya matahari yang berusaha menembus. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Raka berhenti beberapa kali, menatap dan memotret tanpa tujuan jelas. Ia hanya merasa bahwa ia harus berada di sini, seakan hutan ini lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki. Bukan langkahnya sendiri. Bukan juga langkah hewan. Suara itu halus, seperti bisikan, namun terasa nyata. Raka menoleh ke kiri dan kanan, namun tak ada apa-apa selain kabut dan pepohonan yang tampak semakin memburam. Hatinya berdebar, dan ia melangkah lebih hati-hati. Lalu, di kejauhan, ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat di balik kabut. Sosok itu tampak seperti manusia, namun gerakannya tak wajar—seperti melayang, lebih cepat dari yang bisa ia ikuti dengan matanya.

Raka berlari mengejarnya tanpa berpikir panjang. Ia menyusuri jalan setapak yang semakin sempit, membiarkan kamera yang tergantung di lehernya berayun bebas. Semakin ia berlari, semakin kabut itu memadat, hingga pandangannya hanya dipenuhi oleh kelabu. Bayangan itu semakin jauh, seolah menghilang ke dalam kabut. Tiba-tiba, ia berhenti di depan sebuah batu besar, dan di sana, di sisi batu yang tertutup lumut, ia melihat sesuatu yang tak terduga—sebuah lukisan kuno yang tampak terukir di permukaan batu. Gambar itu menggambarkan pohon-pohon dengan akar-akarnya yang mengikat sebuah simbol yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Ia menyentuh batu itu dengan hati-hati, merasakan tekstur kasar di bawah jari-jarinya. Ketika ia menekan sedikit lebih keras, sesuatu yang aneh terjadi. Batu itu bergetar, lalu sebuah suara lembut terdengar di telinganya, "Temukan jalanmu, Raka." Suara itu familiar—suara ibunya.

Hatinya berdebar kencang, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa sesuatu yang lebih dari sekadar kesepian. Ada sebuah petunjuk, sebuah jalan yang terbuka di hadapannya. Tapi kabut ini—kabut yang menutupi segala sesuatu—seperti menantangnya untuk menemukan apa yang tersembunyi di baliknya.

Dengan ragu, Raka mengangkat kamera dan memotret lukisan itu. Namun, ketika ia melihat kembali, gambar pada batu itu telah berubah. Sekarang, ia hanya melihat gambaran kabut yang lebih tebal, seolah-olah lukisan itu menanggapi apa yang baru saja terjadi. Sesaat, rasa takut merayap ke dalam dirinya, tapi kemudian ia tersadar—ini adalah langkah pertama dari perjalanan yang telah lama ia hindari.

"Temukan jalanmu," bisik suara itu lagi, dan Raka tahu, tidak ada jalan lain selain melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang penuh misteri ini.

Raka duduk sejenak di dekat batu itu, mencoba menenangkan napasnya yang memburu. Sekelilingnya senyap, hanya suara burung-burung hutan yang terdengar samar dari kejauhan. Udara terasa lebih dingin di tempat itu, menusuk hingga ke tulang. Tapi ada sesuatu yang menahannya untuk kembali, seakan tempat ini menyimpan jawaban yang belum terucap.

Ia membuka buku kecil dari sakunya—sebuah jurnal kulit usang yang dulu sering digunakan ibunya untuk mencatat pengamatan alam. Sejak kematian sang ibu, Raka selalu membawanya ke mana pun ia pergi, meski belum pernah ia tulisi satu halaman pun. Kini, tangannya gemetar saat membuka lembar pertama dan mulai menulis:

“Kabut pertama. Aku merasa dia bukan sekadar uap air. Ada napas lain yang mengalir di dalamnya, sesuatu yang menyimpan ingatan dan mungkin, pertanda.”

Ia menutup buku itu dan berdiri. Ketika ia berbalik untuk kembali ke jalan semula, sebuah kejutan menantinya—jalur yang tadi ia lewati kini tampak berbeda. Tanaman menjalar di batang pohon yang sebelumnya tak ada, dan sebuah pohon tua dengan lubang besar di batangnya berdiri di tengah jalan, seperti tak pernah ia lihat sebelumnya.

Raka berjalan pelan ke arah pohon itu. Di lubang pohon, ia menemukan secarik kain putih terlipat rapi. Saat dibuka, ia melihat sulaman kasar berbentuk spiral dan garis-garis seperti peta kuno. Tak ada tulisan, hanya simbol. Namun entah mengapa, hatinya bergetar saat melihatnya, seakan kain itu adalah bagian dari dirinya yang terlupakan.

Langkahnya terhenti ketika angin kembali berhembus, kali ini membawa aroma yang sangat dikenalnya—bunga melati. Aroma yang selalu tercium dari rambut ibunya setiap kali ia memeluknya saat kecil. Raka menutup mata. Hening. Tapi hatinya seperti diisi sesuatu yang hangat. Ia tahu, ini bukan kebetulan. Ia telah memulai sesuatu, sesuatu yang akan mengubahnya.

Dan ketika ia membuka mata, kabut tampak mulai menipis. Matahari menembus celah-celah dedaunan, memantulkan cahaya lembut ke wajahnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat jalan setapak lain yang menurun menuju sebuah lembah kecil, jauh lebih dalam dari yang ia jelajahi sebelumnya.

Dengan kain bersimbol di tangannya dan kamera tergantung di leher, Raka melangkah. Tak lagi ragu. Kabut boleh menutupi pandangan, tapi kini ia tahu: jawabannya tak selalu berada di tempat terang. Kadang, ia justru tersembunyi di balik yang samar.

Dan di sanalah kisah ini benar-benar dimulai. Di antara kabut pertama dan langkah yang tak pernah sama lagi.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca