

Malam itu, Laksana sedang asik menulis artikel tentang Negeri yang belum pernah dijamah manusia, sebuah dunia misterius yang hanya ada dalam imajinasinya. Jemarinya terus menari di atas keyboard, menuliskan gunung-gunung berwarna perak, hutan yang berbisik, dan kota-kota terapung yang hanya bisa dilihat oleh orang terpilih.
Saking tenggelamnya dalam cerita, ia tidak menyadari betapa pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya semakin berat, dan kepala perlahan tertunduk. Laksana masih berusaha menuliskan satu kalimat terakhir, namun huruf-hurufnya mulai melompat tak beraturan.Hingga akhirnya, tanpa ia sadari, rasa lelah itu menang.
Laptopnya masih menyala, halaman artikelnya tetap terbuka, sementara Laksana terlelap di atas meja, ditemani cahaya layar yang temaram dan dunia fantasi yang belum selesai ia ciptakan.
"kepalaku rasanya berat sekali, aku sepertinya harus tidur dulu malam ini."
Laksana kemudian meletakan kepalanya di atas meja, ia kemudian memejamkan matanya perlahan.
Laptopnya masih menyala, kipasnya berdengung pelan seperti sedang menjaga Laksana yang tertidur. Di layar, paragraf terakhir yang ia tulis masih berkedip menunggu dilanjutkan, tentang negeri yang belum pernah dijamah manusia. Namun kini Laksana sudah terlelap, napasnya teratur, bahunya naik turun pelan dalam diam malam.
Tiba-tiba cahaya putih memantul dari kaca jendela kamar. Cahaya itu bukan pantulan kendaraan, bukan pula bulan. Cahaya itu berputar pelan, lalu semakin lama semakin terang… hingga akhirnya menyambar.
Dalam sekejap, cahaya itu menarik tubuh Laksana dari kursinya. Udara di sekelilingnya berubah menjadi dingin, seperti jatuh tanpa gravitasi. Suara gemuruh halus terdengar, sebelum semuanya memudar menjadi putih.
***
Pagi harinya, Laksana terbangun dengan kepala pusing dan pandangan buram. Laksana meraba-raba sekitar, berharap menemukan meja belajarnya atau laptop yang menyala. Namun yang ia sentuh hanya, sesuatu yang lembut. Seperti kabut, namun padat.
Laksana mendongak.
Hamparan awan mengelilinginya. Bukan awan di langit yang dilihat dari bawah, ini seperti daratan yang terbuat dari kapas putih yang berkilauan. Bangunan-bangunan kecil berdiri dari kabut yang mengeras, berpendar lembut oleh cahaya biru muda. Udara terasa ringan, namun dingin menusuk.
“Aku di mana?” gumamnya Laksana, panik.
Tak lama kemudian, seorang penduduk mendekat. Tubuhnya ramping, kulitnya tampak seperti terbuat dari butiran cahaya, rambutnya berayun seperti asap putih yang dipenuhi bintang kecil.
“Kau akhirnya tiba,” ucapnya lembut.
Laksana terbelalak. “Tiba? Tapi aku enggak pernah datang ke sini! Ini di mana? Kenapa aku bisa..”
Penduduk itu tersenyum tipis, senyumnya seperti kilau embun pagi.
“Selamat datang di Negeri Awan, Laksana. Cahaya yang membawamu ke sini bukanlah kebetulan. Dunia ini memanggilmu, karena hanya seseorang sepertimulah yang bisa melihat, menulis, dan menghidupkannya.”
Laksana menelan ludah, bingung dan setengah percaya.
“Negeri Awan, panggil aku? Untuk apa?”
Penduduk itu menatap jauh ke balik horizon awan yang beriak pelan.
“Karena negeri ini sedang menuju kehancuran, dan kau adalah satu-satunya yang bisa menuliskan penyelamatannya.”
Laksana menggeleng pelan, "Aku tidak bisa, maaf aku harus kembali keduniaku." Ia kemudian berjalan mundur, panik.
"Jangan takut, aku disini datang untuk membantumu, kalau masih takut kau boleh, tinggal dirumahku untuk sesaat." ucap warga itu.
Kemudian warga itu memperkenalkan dirinya dengan hangat.
"Sebelumnya perkenalkan aku Arion, salah satu penduduk yang biasa membantu bilamana ada yang tersesat di Negeri Awan" ucapnya sambil menjabat tangan Laksana.
Laksana kemudian membalas jabatan tangan itu, "Aku laksamana Awan, kamu bisa panggil aku Laksana."
Arion sedikit membungkukkan badannya, "Senang bertemu denganmu. Mau berjalan-jalan sebentar di Negeri Awan?" Tawarnya.
Laksana kemudian mengangguk kecil, "boleh," namun ia menjeda ucapannya dan sedikit gugup. "Tapi apa boleh aku berkeliling? sedangkan aku baru saja disini." Laksana kemudian menghembuskan napas pelan.
Arion menatap Laksana penuh keyakinan."Tentu saja boleh, apalagi berita tentang pangeran yang turun dari langit sudah tersebar di seluruh Negeri ini."
Laksana kemudian mengernyit pelan," siapakah pangeran itu kalau boleh tau?" ia kemudian mengetuk dagunya penasaran.
"Tentu saja.... Ah sebenarnya aku salah ucap sepertinya, tapi lebih baik kita menyamar saja dulu. Sebelum raja mengetahuimu bersamaku, Kalau ketahuan yang ada kita tidak dapat berkeliling. "
Laksana terdiam sesaat, 'apa maksut Arion tentang pangeran? Sedangkan ia sama sekali tidak menulis kata pangeran dalam artikel yang di buatnya semalam. Mungkin Arion benar salah ucap.' batin Laksana sammbil memandangi Arion penuh tanda tanya.
Arion tersenyum tipis, seolah bisa membaca kebingungan yang menari di mata Laksana. Ia kemudian memberi isyarat agar Laksana mengikutinya ke jalan kecil yang dikelilingi kabut lembut berwarna keperakan.
“Baiklah, sebelum kita berjalan terlalu jauh, ada baiknya aku memperkenalkan Negeri Awan padamu,” ucap Arion sambil melangkah pelan. “Negeri ini… bukan hanya sekadar tempat tinggi di langit. Ini adalah dunia yang terbentuk dari mimpi, harapan, dan bayangan manusia di dunia bawah. Karena itu bentuknya selalu berubah, kadang seperti kota, kadang seperti hutan, kadang seperti istana."
Laksana melangkah di sampingnya, mencoba memahami. Setiap pijakan kakinya seperti menyentuh tanah namun tidak sepenuhnya, lebih lembut, lebih hangat, seperti berjalan di atas kapas hidup.
Arion melanjutkan, “Kita menyebut bagian ini Kaumira, distrik pertama yang biasanya dikunjungi para pendatang. Di sini para penjaga awan tinggal, mereka yang mengatur arus kabut, cahaya, dan arah angin. Tanpa mereka, Negeri Awan bisa runtuh ke bumi.”
Laksana menatap sekeliling, bangunan-bangunan yang seakan terbuat dari cahaya dan uap, berkilau ketika disentuh sinar putih yang tidak terlihat asalnya.
“Semua ini.... indah,” gumam Laksana takjub.
Arion menoleh, tersenyum, “Itu baru permulaan. Masih ada Punggung Senja tempat matahari tidak pernah padam, dan Lembah Hening, tempat suara manusia lenyap digantikan bisikan awan. Tapi untuk sekarang, kita tetap di Kaumira, agar aman.”
“Kenapa harus aman?” tanya Laksana pelan.
Arion terdiam sesaat, menimbang-nimbang, lalu menjawab dengan lembut, “Karena setiap makhluk yang datang dari dunia bawah dianggap istimewa. Tidak semua orang bisa tiba di Negeri Awan tanpa dipanggil. Biasanya hanya mereka yang, ditakdirkan.”
Laksana berkedip cepat, jantungnya berdebar.
“Aku hanya menulis artikel,” gumamnya, seolah meyakinkan diri sendiri.
Arion hanya tersenyum misterius. “Di Negeri Awan, tulisan bisa jadi pintu, mimpi bisa jadi kunci, dan kamu, bisa jadi sesuatu yang lebih dari yang kau kira.”
Ia kemudian menunjuk ke sebuah jembatan awan tipis yang menghadap panorama luas.
“Ayo, Laksana. Aku tunjukkan tempat pertama. Dari sini biasanya para pendatang mulai memahami siapa mereka sebenarnya.”
Laksana menelan ludah, sedikit gugup, tapi kakinya tetap melangkah mengikuti Arion
menuju jembatan itu.
“Mari kita mulai perjalananmu di Negeri Awan,” ucap Arion dengan suara lembut, penuh janji petualangan.
Laksana hanya mematung di tempat.
Laksana tidak pernah terpikir akan sejauh ini, ia tidak pernah terbayangkan jika sekarang hidup dalam dunia yang dulu ia karang saat menulis artikel.