"Ini, Mas, obatnya. Totalnya 25 ribu," ujar Melati, apoteker di Apotek Koba Baru, sambil menyerahkan obat kepada pelanggannya.
Felzein, seorang pemuda yang sering berbelanja di sana, mengeluarkan uang 30 ribu rupiah, selembar 20 ribu dan selembar 10 ribu, lalu menyerahkannya kepada Melati.
Melati menerima uang itu, lalu mengambil kembalian 5 ribu rupiah dan menyerahkannya dengan ramah.
"Ini kembaliannya, Mas."
"Oh iya, Mbak. Makasih," jawab Felzein dengan senyum samar di balik masker hitamnya.
"Sama-sama. Semoga sehat selalu," balas Melati tulus.
Felzein mengangguk singkat sebelum berbalik dan melangkah keluar dari Apotek Koba Baru.
Dia menyalakan motor matic putihnya, lalu melaju perlahan hingga akhirnya menghilang di kejauhan.
Melati menghela nafas pelan, lalu duduk di belakang meja kasir bersama rekan kerja sekaligus sahabatnya, Rosa, yang akrab dipanggil Ocha.
"Aku sebenarnya penasaran sama Mas yang tadi," ucap Rosa tiba-tiba.
Melati menoleh, merasa sedikit heran, "Penasaran gimana, Cha?" tanyanya.
Rosa menghela nafas sebelum menjawab, "Sejak apotek ini buka, dari pertama kali dia beli obat sampai sekarang, dia gak pernah sekalipun buka maskernya."
Melati terkekeh, "Jangan-jangan kamu suka ya, Cha?" godanya.
Rosa menjawab, "Aku penasaran aja, Mel," katanya. "Kayaknya sih emang ganteng, Mel."
"Gimana kalau sebaliknya, Cha? Mungkin aja dia pake masker karena giginya maju atau gimana," balas Melati sambil terkekeh.
Rosa mendengus, "Jangan gitu, Mel," katanya. "Cuma ada dua kemungkinan."
Melati mengernyit, "Kemungkinan? Maksudnya?" tanyanya.
"Ya gitu deh. Bisa jadi dia emang kurang ganteng. Aku gak bilang Mas tadi jelek, lho," jawab Rosa.
"Yee... Sama aja," kata Melati sambil tertawa. Sahabatnya ini memang suka iseng.
"Terus kemungkinan kedua gimana?" tanya Melati lagi.
"Kemungkinan kedua..." Rosa berhenti sejenak, membuat suasana sedikit dramatis.
"Kemungkinan kedua, Mas yang tadi itu... Bisa jadi terlalu ganteng," lanjutnya akhirnya.
Melati terdiam, mencoba mengingat kembali wajah lelaki bernama Felzein itu.
Alisnya melengkung seperti busur panah, matanya tajam, dan kulitnya putih bersih.
Cukup masuk akal kalau Rosa berpikir seperti itu.
"Ada benernya juga," gumam Melati. "Jujur... Aku juga penasaran," lanjutnya.
"Nah, kan?" ledek Rosa sambil tertawa. "Sendirinya juga kepo!"
Mereka berdua tertawa kecil sebelum akhirnya mengakhiri pembicaraan, karena beberapa pelanggan lain mulai berdatangan ke Apotek Koba Baru.
*****
Sementara itu, Felzein yang baru saja membeli obat Paracetamol, pulang ke rumahnya.
Rumahnya besar, megah, dan luas. Dia melewati gerbang, lalu memarkirkan motornya di garasi sebelum masuk ke dalam.
Di usianya yang baru 24 tahun, Felzein tinggal sendirian. Orang tuanya berada jauh di luar kota.
Di mata tetangganya, Felzein tak lebih dari pemilik toko sembako.
Dia sendiri hampir tak pernah terlihat mengurus tokonya itu.
Felzein hanya menerima bersih pendapatannya. Itu saja.
Tak ada yang tahu bahwa di balik semua itu, dia adalah seorang dokter muda dengan segudang prestasi.
"Hari ini capek sekali," desah Felzein begitu membuka pintu rumahnya.
Dia membuka masker hitamnya lalu berjalan menuju sofa, lalu menjatuhkan diri dengan tubuh bersandar, menghela nafas panjang.
"Aku ingin cuti beberapa hari," gumamnya. "Aku butuh waktu untuk bersantai di rumah, menikmati hidup, dan merasakan masa mudaku sedikit lebih lama," lanjutnya pelan.
Felzein segera menghubungi Solehuddin, pemilik RS Mitrajaya, rumah sakit swasta besar tempatnya bekerja.
Meskipun usia mereka terpaut jauh, hubungan Felzein dan Solehuddin sangat akrab.
Bahkan, banyak yang menjuluki Felzein sebagai anak angkatnya Solehuddin.
Tak butuh waktu lama, panggilan segera tersambung ke ponsel pribadi Solehuddin.
"Assalamualaikum, Dokter Felzein," sapa Solehuddin begitu mengangkat telepon.
Ada nada senang dalam suaranya setiap kali menerima panggilan dari dokter muda itu.
"Wa'alaikumussalam, Pak Soleh," balas Felzein sopan.
Solehuddin terkekeh, "Tumben ini, Dok. Kok tiba-tiba hubungin saya? Ada apa?" tanyanya setengah bercanda.
Felzein tersenyum, "Gini, Pak Soleh..." katanya, sedikit ragu. "Saya mau ajukan cuti. Kira-kira bisa tidak, Pak?"
Solehuddin tertawa kecil, "Lho, kenapa minta izin ke saya, Dok?" ujarnya. "Kan bisa langsung urus ke HRD."
Felzein ikut tertawa, "Saya lebih suka izin langsung ke pemiliknya. Lebih afdal, haha," balasnya dengan nada bercanda.
Percakapan itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Solehuddin memberikan izin cuti kepada Felzein.
"Gak apa-apa, Dok," ujar Solehuddin. "Saya juga paham kalau Dokter Felzein pasti kecapekan ngurus pasien terus-menerus."
"Iya, Pak. Saya cuma pengin refreshing sebentar. Beberapa hari aja gak masalah, kok," balas Felzein.
Solehuddin tertawa, "Udah, Dok. Saya kasih izin cuti satu bulan sekalian, gak papa."
"Gak usah khawatir soal gaji. Tetap dibayar full," lanjutnya santai.
Felzein terdiam sejenak, merasa sedikit tidak enak hati.
"Aduh, Pak Soleh. Saya jadi gak enak hati, nih," katanya jujur.
"Tenang aja, Dok," jawab Solehuddin dengan nada tulus.
"RS Mitrajaya bisa sebesar ini juga karena prestasi Dokter. Justru saya yang harusnya berterima kasih dan merasa gak enak hati."
Percakapan mereka pun terus berlanjut, hingga akhirnya Solehuddin resmi mengizinkan Felzein mengambil cuti selama satu bulan penuh.
Setelah mengakhiri percakapan dengan Solehuddin, Felzein menghela nafas panjang.
"Alhamdulillah... Akhirnya... Sebulan bebas tanpa pasien, tanpa nulis resep, dan..." ucapnya, lalu berhenti sejenak.
"Tanpa obat, tentunya..." lanjutnya dengan senyum kecil.
Felzein meregangkan tubuhnya sebentar, lalu bangkit dari sofa, "Aku mandi dulu ah," gumamnya.
Sebelum menuju kamar mandi, dia mengambil obat Paracetamol yang baru dibelinya dan menyimpannya ke dalam kotak P3K yang menempel di dinding.
Obat itu sebagai stok di rumahnya, tentu saja.
*****
(Malam hari, 21.00, Apotek Koba Baru)
Setelah memastikan semua pekerjaannya selesai, Melati dan Rosa merapikan barang-barangnya dan bersiap pulang.
Hari ini cukup melelahkan dengan banyaknya pelanggan yang datang ke Apotek Koba Baru.
"Udah semua ya, Cha?" tanya Melati kepada Rosa yang masih sibuk merapikan meja kasir.
Rosa mengangguk, "Aman, Mel. Yuk kita pulang," jawabnya sambil mengambil tas.
Melati tersenyum saat melihat seseorang berdiri di depan apotek, "Wah, aku udah dijemput ayang, nih," katanya dengan nada menggoda.
Rosa langsung meledeknya, "Cieee… yang udah punya pacar. Ayang nomor satu, nih!"
Melati tertawa kecil, "Haha... Kamu sendiri gimana, Cha? Nggak pengen punya ayang?", tanyanya sambil melirik sahabatnya itu.
Rosa menggeleng santai, "Gak ah, belum saatnya," balasnya ringan.
Melati menatap Rosa dengan penuh arti, lalu menyipitkan mata, "Jangan-jangan... kamu masih penasaran sama Mas yang tadi ya?" godanya.
Rosa langsung mendelik, "Ish! Jangan sembarangan!" katanya, pura-pura kesal.
Melati tertawa melihat ekspresi sahabatnya, "Ya udah, ya udah. Aku bercanda, kok."
Rosa mendengus, lalu mengambil tasnya, "Udah sana, kamu pacaran aja dulu," katanya dengan nada pura-pura cemberut.
"Haha, dasar kamu!" Melati tertawa, lalu melambaikan tangan. "Besok kita kerja satu shift lagi ya, Cha!"
"Iya, iya. Hati-hati di jalan!" balas Rosa sebelum akhirnya melihat Melati berboncengan dengan kekasihnya.