Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Penjelajah Waktu

Penjelajah Waktu

Rama AKP | Bersambung
Jumlah kata
40.7K
Popular
100
Subscribe
3
Novel / Penjelajah Waktu
Penjelajah Waktu

Penjelajah Waktu

Rama AKP| Bersambung
Jumlah Kata
40.7K
Popular
100
Subscribe
3
Sinopsis
18+PerkotaanAksiGangsterSpiritualIndigo
Apa jadinya jika waktu bukan lagi sesuatu yang berjalan lurus, melainkan pintu-pintu rahasia yang bisa dilalui? Ketika sebuah pusaran cahaya misterius muncul di hadapannya, seorang pemuda biasa mendapati dirinya melompat dari satu zaman ke zaman lain. Ia menyaksikan kejayaan peradaban kuno, berdiri di tengah gejolak revolusi, hingga terperangah pada wajah masa depan yang asing. Namun, perjalanan itu bukan tanpa harga. Setiap langkah membawa konsekuensi, setiap pilihan mengubah garis takdir. Di balik keindahan dan keajaiban lintas waktu, ia menemukan cinta, kehilangan, dan pertanyaan terbesar yang menghantuinya: apakah ia masih bisa kembali ke rumahnya sendiri? Penjelajah Waktu adalah kisah epik tentang petualangan, keberanian, dan cinta yang menembus batas sejarah. Novel ini akan membuat pembaca bertanya—jika kau bisa mengubah waktu, beranikah kau melakukannya.
Bab 1

Hujan turun deras malam itu. Butiran air menghantam genteng rumah-rumah tua di kota kecil bernama Lembang Jati, menimbulkan bunyi berirama yang bercampur dengan tiupan angin dingin. Jalanan lengang, hanya sesekali terdengar suara motor yang memecah kesunyian. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kuning pucat di atas aspal yang licin, sementara aroma tanah basah menguar tajam ke udara.

Di salah satu sudut kota kecil itu, berdiri sebuah rumah kayu sederhana peninggalan kakek. Rumah itu sudah tua, cat dindingnya mengelupas, dan di terasnya terdapat kursi goyang yang berdecit bila diduduki. Di rumah itulah Arka tinggal seorang diri.

Arka baru berusia 23 tahun, seorang pemuda sederhana yang kesehariannya diisi dengan bekerja di bengkel kecil milik sahabatnya. Hidupnya biasa saja, tak ada yang istimewa. Namun sejak wafatnya sang kakek dua tahun lalu, ada satu benda warisan yang selalu ia simpan rapat: sebuah jam saku tua.

Jam itu berbentuk bulat, dengan rantai pendek dari perunggu yang warnanya sudah pudar dimakan waktu. Jarum jamnya berhenti pada pukul 11:11, seakan membeku di satu titik. Di bagian belakangnya terukir simbol aneh mirip lingkaran dengan garis berlapis. Arka sudah berkali-kali mencoba memperbaikinya, bahkan membawanya ke tukang jam di pasar, tapi hasilnya selalu sama: jarum itu tidak mau bergerak.

Malam itu, Arka duduk di kamar kecilnya dengan jendela terbuka, membiarkan suara hujan menjadi temannya. Di tangannya, ia menggenggam jam saku itu. Ada perasaan aneh setiap kali ia menatap benda tersebut—campuran rindu, penasaran, sekaligus ketakutan.

"Kenapa Kakek menitipkan jam ini padaku, ya?” gumamnya pelan. “Bukannya ini cuma barang rusak?”

Ia teringat pesan terakhir kakeknya sebelum meninggal:

"Arka… jangan lepaskan jam ini. Suatu saat, kau akan mengerti kenapa ia memilihmu."

Pesan itu selalu menghantuinya, terutama ketika hujan deras turun. Karena entah kenapa, setiap kali hujan lebat mengguyur, jarum jam yang membeku itu bergerak. Tidak banyak, hanya bergetar atau melompat sedikit, seakan ada energi tersembunyi yang bangkit dari dalamnya.

Arka menatapnya lagi. Dan benar saja, malam itu jarum jam bergetar hebat. Detik demi detik, ia mendengar bunyi halus tik… tik… tik… yang selama ini tak pernah ada.

“Ap—apa?” Arka terperanjat. Ia hampir menjatuhkan jam itu ke lantai.

Cahaya biru keperakan tiba-tiba memancar dari sela-sela tutup jam. Semakin lama semakin terang, sampai menerangi seluruh kamar. Arka memejamkan mata, mengangkat tangannya untuk menutupi sinar menyilaukan itu.

Lalu terdengar suara… samar… bukan suara manusia, melainkan seperti bisikan dari jauh.

"Waktu bukan garis lurus, Arka. Waktu adalah pintu."

Jantung Arka berdegup kencang. Ia membuka matanya perlahan, dan di hadapannya—tepat di tengah kamar—udara bergetar seperti riak air. Dari riak itu muncul sebuah pusaran bercahaya, berwarna biru dan emas, berputar-putar seakan membuka jalan menuju sesuatu yang asing.

Arka terdiam. Kakinya seakan terpaku ke lantai, sementara napasnya memburu. Ia menatap pusaran itu dengan campuran takjub dan ngeri.

“Ini… ini apa?” bisiknya lirih.

Jam saku di tangannya semakin bergetar. Jarum yang tadinya beku kini berputar cepat, hingga akhirnya berhenti tepat di angka 12. Pada saat yang sama, pusaran itu mengembang semakin besar, cukup untuk menelan tubuh manusia.

Angin kencang berhembus dari dalam pusaran, menarik tirai jendela hingga berkibar liar. Kertas-kertas di meja beterbangan, buku-buku jatuh berdebam ke lantai. Arka berusaha bertahan dengan memegang pinggiran ranjang, namun tarikan itu begitu kuat.

“Tidak… tidak! Apa-apaan ini?!” teriaknya.

Namun semuanya terlambat. Dalam sekejap, tubuh Arka tersedot masuk ke dalam pusaran cahaya. Ruangan kamarnya lenyap, digantikan oleh gelap pekat.

---

Tubuh Arka melayang, jatuh tanpa arah. Ia merasa seperti dilemparkan ke dalam jurang tak berujung. Angin berputar kencang di sekelilingnya, tapi bukan angin biasa—ini seperti arus waktu yang menghempas, menampar, dan memelintir tubuhnya.

Matanya berusaha terbuka, namun hanya kilatan cahaya yang terlihat: ada bayangan kota modern dengan gedung-gedung menjulang, lalu sekejap berubah menjadi padang luas penuh piramida, lalu berganti lagi menjadi medan perang dengan prajurit bersenjata tombak. Semuanya muncul sekilas, seperti lembaran sejarah yang dibolak-balik terlalu cepat.

Arka berteriak, tapi suaranya lenyap ditelan pusaran.

“AAAAH—!”

Lalu… hening.

Tubuhnya menghantam sesuatu yang keras. Ia terbatuk hebat, udara dingin menusuk paru-parunya. Perlahan, ia membuka mata.

Ia tidak lagi berada di kamarnya.

Di hadapannya terbentang hamparan padang rumput luas, basah oleh embun. Angin berhembus membawa aroma tanah segar. Langit begitu biru, bersih, tanpa satu pun kabel listrik, menara, atau gedung tinggi yang biasa ia lihat. Di kejauhan, menjulang batu-batu raksasa berdiri melingkar, seperti monumen kuno yang hanya pernah ia lihat di buku sejarah.

“Di… di mana aku?” Arka bergumam, suaranya gemetar.

Ia berusaha berdiri, tubuhnya masih goyah. Di tangannya, jam saku tua itu tetap tergenggam erat. Aneh, benda itu kini terasa hangat, seperti memiliki denyut jantung. Jarum jam kembali membeku di pukul 11:11, seolah-olah perjalanan barusan hanyalah ilusi.

Namun jelas ini bukan mimpi. Rumput yang basah menempel di telapak tangannya, udara segar menusuk hidungnya, dan suara burung asing bergaung di kejauhan.

Arka berjalan perlahan, mendekati lingkaran batu raksasa itu. Semakin dekat, ia merasakan hawa aneh—dingin namun juga penuh energi. Ukiran-ukiran samar tampak di permukaan batu, simbol-simbol yang tidak ia kenali.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari belakang.

Arka menoleh cepat. Seorang lelaki berpakaian dari kulit binatang berdiri beberapa meter darinya, membawa tombak panjang. Wajahnya keras, matanya penuh curiga. Dari semak-semak, muncul beberapa orang lain, pria dan wanita dengan pakaian serupa. Mereka berbicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti Arka, cepat dan keras, sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya.

“Aku… aku tidak bermaksud apa-apa,” Arka mencoba mengangkat tangannya tanda damai. “Aku hanya tersesat…”

Namun jelas mereka tidak memahami. Salah satu dari mereka maju, mengacungkan tombaknya. Arka mundur selangkah, napasnya terengah.

“Astaga… jangan dekat-dekat…”

Jam saku di tangannya tiba-tiba bergetar lagi. Arka menunduk, terkejut—cahaya biru kembali memancar dari sela tutupnya. Orang-orang di depannya terperangah, sebagian mundur ketakutan. Mereka berbisik-bisik, seolah menyaksikan keajaiban.

Dalam kepanikan, Arka meremas jam itu erat-erat.

“Kalau benar ini yang membawaku ke sini… tolong… bawa aku pulang!”

Cahaya semakin terang. Angin berputar kencang, pusaran kecil muncul tepat di sampingnya. Orang-orang berteriak, sebagian lari ketakutan. Arka terseret lagi ke dalam arus itu, tubuhnya melayang tanpa kendali.

---

Kegelapan menyambutnya lagi. Namun kali ini berbeda—ia tidak melayang terlalu lama. Dalam sekejap, ia terhempas di jalan berbatu yang basah oleh hujan. Suara derap kaki kuda terdengar jelas, disusul teriakan orang banyak.

Arka mengangkat kepalanya. Sekelilingnya ramai oleh kerumunan. Api obor berderet sepanjang jalan. Orang-orang berpakaian lusuh, sebagian membawa senjata tajam. Ada sorak-sorai, teriakan marah, bau asap bercampur keringat.

Di ujung jalan, ia melihat pemandangan yang membuat darahnya membeku—seorang pria diikat di tiang kayu, tubuhnya babak belur, sementara kerumunan berteriak menuntut keadilan.

“Ya Tuhan… aku di mana lagi sekarang?” bisik Arka, wajahnya pucat.

Ia mundur perlahan, mencoba bersembunyi di balik tong kayu. Jam sakunya kini redup, seolah kehabisan energi. Tidak ada lagi cahaya, hanya detik sunyi yang membuat Arka benar-benar sadar:

Ia bukan bermimpi. Ia sedang terjebak… di perjalanan waktu.

---

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca