Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Banyu Mengubah Arus

Banyu Mengubah Arus

Inspirasi Kopi | Bersambung
Jumlah kata
194.3K
Popular
15.6K
Subscribe
383
Novel / Banyu Mengubah Arus
Banyu Mengubah Arus

Banyu Mengubah Arus

Inspirasi Kopi| Bersambung
Jumlah Kata
194.3K
Popular
15.6K
Subscribe
383
Sinopsis
18+PerkotaanAksiAnak Yatim PiatuHaremRaja
Di hari yang sama ketika ia menggenggam surat beasiswa sebagai tiketnya keluar dari kemiskinan, Banyu, seorang pemuda jenius dari desa terpencil, harus menelan pil pahit takdir: ayah satu-satunya telah meninggal dunia. Dengan hati yang remuk namun tekad yang sekeras baja, ia meninggalkan satu-satunya nisan di kampung halamannya untuk menaklukkan gemerlap kota besar. Kehidupan kampus terbukti lebih kejam dari yang ia bayangkan. Statusnya sebagai "anak desa" penerima beasiswa membuatnya menjadi sasaran empuk cemoohan dan pandangan sebelah mata dari mahasiswa kaya. Di tengah belantara sosial yang asing ini, Banyu hanya berpegang pada tiga hal: janjinya di depan makam ayahnya, beberapa sahabat yang tulus, dan sebuah getar rasa yang mulai tumbuh untuk seorang gadis yang tampaknya berasal dari dunia yang berbeda. Titik balik hidupnya datang di saat yang paling tak terduga. Selama kegiatan orientasi mahasiswa baru di tengah hutan, Banyu menemukan seorang anak kecil yang tersesat, kelaparan, dan ketakutan. Didorong oleh kebaikan hatinya yang murni, Banyu merawat anak itu, membagikan bekalnya yang tak seberapa, dan melindunginya tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Pertolongan tulus itu ternyata adalah kunci yang membuka gerbang takdir. Anak kecil itu adalah pewaris tunggal salah satu keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negeri ini. Sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga, keluarga tersebut "mengadopsi" Banyu ke dalam dunia mereka. Dalam semalam, kehidupannya berubah drastis—dari pemuda miskin yang menghitung setiap rupiah menjadi seorang pangeran baru yang bergelimang kemewahan. Namun, arus takdir yang baru ini ternyata lebih deras dan berbahaya. Kekayaan tidak serta-merta memberinya kebahagiaan atau rasa hormat. Cibiran lama kini berganti dengan tuduhan baru: "si beruntung", "penjilat", "orang kaya baru yang tak tahu diri". Persahabatannya diuji, kisah cintanya menjadi rumit, dan ia harus berjuang untuk tidak tenggelam dalam gaya hidup yang bisa menghapus jati dirinya. "Banyu Mengubah Arus" bukanlah kisah tentang bagaimana seorang miskin menjadi kaya. Ini adalah kisah tentang apa yang terjadi setelahnya. Sebuah perjuangan seorang pemuda untuk membuktikan bahwa nilainya tidak terletak pada saldo rekeningnya, melainkan pada hati dan kepalanya; dan bahwa kebaikan tulus adalah mata uang termahal yang dapat mengubah dunia, dimulai dari dunianya sendiri.
Bab 1 Bendera Kuning Di Ujung Jalan

Matahari sore itu terasa memanggang kulit, tapi Banyu tak peduli. Kakinya, yang hanya beralaskan sandal jepit tipis, seolah memiliki sayap. Ia berlari kecil menyusuri jalan setapak yang membelah hamparan sawah, tempat bulir padi keemasan menunduk seolah ikut menyambutnya pulang. Di genggaman tangannya yang berkeringat, sebuah amplop cokelat ia dekap erat ke dada. Isinya adalah tiket emas menuju takdir baru, sebuah surat pengumuman beasiswa penuh di universitas terbaik di kota.

Senyum tak henti-hentinya terukir di bibirnya yang kering. Ia sudah membayangkan reaksi Bapak. Pria tua yang punggungnya telah melengkung dimakan waktu itu pasti akan tertawa, tawa seraknya yang khas, lalu menepuk-nepuk punggungnya sambil berkata, "Aku tahu kau bisa, Le."

Dari kejauhan, atap gubuknya mulai terlihat. Namun, senyum Banyu perlahan memudar. Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang salah. Di ujung jalan, di percabangan menuju rumahnya, sebatang bambu tinggi tertancap di tanah. Di puncaknya, secarik kain kuning kusam terkulai lemas, diayunkan angin sore dengan malas.

Bendera kuning.

Jantung Banyu serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik, sebelum kemudian memompa dengan kecepatan gila. Tidak. Mungkin rumah tetangga. Mungkin bukan siapa-siapa. Pikiran itu coba ia tanamkan, tapi kakinya sudah berlari kencang, tak lagi peduli pada kerikil tajam atau tanah yang tak rata.

Semakin dekat, kerumunan orang di halaman rumahnya semakin jelas terlihat. Wajah-wajah yang ia kenal seumur hidupnya kini menatapnya dengan pandangan yang sama: pandangan iba.

"Banyu! Le, Banyu!"

Sebuah suara serak memanggilnya. Pakde Tarno, tetua desa, berlari kecil menyongsongnya. Melihat wajah Banyu yang pucat pasi dan napasnya yang memburu, Pakde Tarno langsung mengerti.

"Sabar, Le, sabar..." ujarnya, merentangkan tangan dan langsung menangkap tubuh Banyu dalam sebuah pelukan erat. Pelukan yang mencoba menahan, mencoba memberi kekuatan, sekaligus mencoba menghentikannya dari kebenaran pahit yang menanti di dalam.

"Pakde... itu... itu tidak benar, kan? Bendera itu salah alamat, kan?" suara Banyu bergetar, teredam di dada Pakde Tarno. Air mata sudah mendesak keluar.

Pakde Tarno hanya bisa menggeleng pelan, mengeratkan pelukannya. "Ikhlaskan, Le... Bapakmu orang baik. Gusti Allah lebih sayang padanya..."

Dunia Banyu runtuh seketika.

Ia melepaskan diri dari pelukan itu dengan sisa tenaga yang ia punya. Amplop cokelat di tangannya jatuh ke tanah, terlupakan. Ia menerobos kerumunan, mendorong siapa saja yang menghalangi jalannya, dan melompat masuk ke dalam gubuknya yang remang.

Di sana, di atas dipan bambu yang reyot, pemandangan itu membekukannya.

Sesosok tubuh kurus terbaring kaku, terbujur lurus, ditutupi kain jarik batik yang sudah usang. Wajah Bapaknya yang damai terlihat pucat di bawah temaram cahaya yang masuk dari jendela. Damai, seolah hanya tertidur. Tapi Banyu tahu, tidur ini adalah tidur yang abadi.

Kakinya lemas. Ia ambruk berlutut di lantai tanah yang dingin. Bukan teriakan yang keluar, melainkan sebuah rintihan panjang yang menyayat hati, sebuah suara dari jiwa yang tercabik-cabik. Ia merangkak mendekat, menyentuh tangan Bapaknya yang sudah sedingin es.

"Bapak..." panggilnya lirih, seolah berharap panggilan itu bisa membangunkan sang ayah. "Banyu pulang, Pak... Banyu lulus..."

Ia menunduk dalam, mencium tangan keriput itu untuk terakhir kalinya. Air matanya membanjiri punggung tangan yang tak akan pernah lagi membelai kepalanya. Surat beasiswa, impian, dan masa depan yang baru saja ia genggam, kini terasa hampa dan tak berarti di hadapan keheningan abadi ini.

Ia telah memenangkan perlombaan, hanya untuk menemukan garis finisnya telah dihapus dari peta kehidupan.

Langit yang tadinya berwarna jingga kini berubah menjadi kelabu, seolah ikut berduka. Prosesi pemakaman itu berlangsung cepat dan senyap. Banyu berjalan di belakang keranda sederhana yang diusung oleh para tetangga. Kakinya melangkah secara mekanis, matanya kosong menatap punggung-punggung di depannya. Ia merasa seperti arwah yang mengikuti raganya sendiri.

Ia melihat cangkul-cangkul itu mengayun, mendengar bunyi tanah yang menghantam liang lahat. Setiap gumpalan tanah yang dilemparkan terasa seperti hantaman palu di dadanya. Ketika para tetangga mulai bergantian melemparkan segenggam tanah ke dalam lubang, Banyu hanya bisa membeku. Inikah akhirnya? Secepat inikah perpisahan itu?

"Banyu, giliranmu, Le," bisik Pakde Tarno sambil menyodorkan segumpal tanah basah.

Tangan Banyu bergetar hebat saat menerimanya. Tanah ini terasa berat, lebih berat dari beban apa pun yang pernah ia angkat. Dengan mata yang kabur oleh air mata, ia menaburkannya. Dan di saat itulah, bendungan pertahanannya jebol. Suara tanah yang mengenai papan penutup jenazah menjadi genderang kematian yang memekakkan telinganya.

Selesai. Benar-benar selesai.

Ia kini yatim piatu. Sebuah status yang menusuknya dengan dingin dan tajam. Ibunya telah lama pergi, hanya menyisakan kenangan samar. Kini Bapak menyusul. Tak ada lagi tempat di dunia ini yang bisa ia sebut "rumah". Tak ada lagi pelukan hangat, tak ada lagi nasihat serak, tak ada lagi orang yang akan menanyakan "sudah makan atau belum?".

Sendirian. Ia benar-benar sendirian.

Para pelayat satu per satu menepuk pundaknya, mengucapkan kata-kata penghiburan yang terdengar seperti dengungan lebah di telinganya. "Yang sabar, ya." "Ikhlaskan saja." "Kamu anak kuat." Tapi bagaimana ia bisa kuat saat pilar penyangganya baru saja dihancurkan?

Setelah doa terakhir dilantunkan dan semua orang perlahan meninggalkan area pemakaman, Banyu tetap di sana. Ia terduduk di samping gundukan tanah merah yang masih basah itu. Nisan kayu sederhana dengan nama Bapaknya tertulis seadanya menjadi satu-satunya penanda.

Ia menatap kedua tangannya. Tangan yang beberapa jam lalu dengan bangga mendekap surat beasiswa, kini kotor oleh tanah dari kuburan ayahnya sendiri.

Untuk apa semua ini? bisik hatinya.

Bingung dan bimbang. Dua kata itu berputar-putar di kepalanya. Haruskah ia pergi ke kota? Meninggalkan nisan yang bahkan belum kering ini? Untuk apa gelar sarjana jika tak ada seorang pun yang bisa ia buat bangga? Haruskah ia tinggal di desa, merawat gubuk reot dan sawah peninggalan Bapaknya, lalu membiarkan nasibnya berakhir sama?

Kepalanya tertunduk dalam, air matanya menetes lagi, membasahi tanah kuburan. Ia bingung. Ia tersesat.

Di tengah kebingungannya, sebuah kalimat dari Bapaknya tiba-tiba terngiang begitu jelas, seolah dibisikkan langsung oleh angin sore.

"Sekolah yang benar, Le. Biar nasibmu tak seperti Bapak, yang berteman lumpur sampai mati."

Kalimat itu, yang dulu terdengar seperti harapan, kini terasa seperti sebuah perintah terakhir. Sebuah wasiat suci.

Banyu mengangkat kepalanya perlahan. Kepedihan itu masih ada, merobek-robek hatinya. Tapi di dasar luka itu, sesuatu yang baru mulai tumbuh. Bukan harapan. Belum. Melainkan sebuah tekad yang dingin dan keras.

Pergi ke kota bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Beasiswa itu bukan lagi tiket mimpi, melainkan sebuah beban kehormatan yang harus ia pikul. Ia tidak akan berjuang untuk dirinya sendiri. Ia akan berjuang untuk menunaikan perintah terakhir dari pria yang telah memberikan segalanya untuknya.

Dengan langkah berat, Banyu bangkit berdiri. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, menyisakan jejak tanah di pipinya. Ia memandang gundukan merah itu untuk terakhir kalinya, seolah membuat janji tanpa suara.

Lalu, ia berbalik. Melangkah meninggalkan area pemakaman tanpa menoleh lagi, berjalan menuju masa depan yang tak pasti dengan hati yang hancur namun dengan tujuan yang kini terpahat jelas.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca