"Saka sang Dewa Medis, kamu telah melanggar aturan Langit. Kamu juga sering berbuat onar dan menyusahkan Dewa-Dewi lainnya. Untuk itu... aku, Raja Langit akan memberimu hukuman. Lakukan perenungan diri selama 10000 tahun di gunung Azura. Setelah itu kamu harus mengumpulkan 110 Japala untuk menebus Karma Baik di alam manusia."
~~~~
Alam Manusia setelah 10000 tahun berlalu, Benua Timur...
"Astaga, pengemis dari mana ini? Lihatlah, pakaiannya seperti gembel," bisik salah satu wanita muda, ia menatap sinis dengan nada merendahkan kepada seorang pemuda yang baru saja melewati mereka.
Teman di sampingnya menutup hidung, "sttt... jangan keras-keras. Sepertinya pemuda itu baru turun gunung. Makanya terlihat kampungan!"
Saka Karsa, pria yang baru saja dibicarakan, melewati kedua wanita muda itu dengan tenang. Ia memaklumi perkataan para wanita muda itu, bagaimana tidak. Saat ini penampilannya memang seperti pengemis.
Saka mengenakan baju dari kain rami kasar, ada beberapa tambalan di pakaiannya. Rambutnya panjang dengan poni yang hampir menutupi matanya.
Ini karena Raja Langit begitu kejam menghukumnya hingga tidak boleh keluar dari gunung Azura selama 10000 tahun. Begitu melihat alam Manusia, Saka cukup terpana dengan begitu banyak perubahan yang terjadi.
"Waaah, dunia banyak berubah setelah gerbang Neraka tertutup-!"
"Brukh!" Tanpa sengaja, Saka menabrak bahu seseorang.
"Di mana matamu? Apa kamu nggak melihat jalan hah?!" ujar seorang pemuda dengan mengenakan hanfu mewah berbahan sutra berjalan sempoyongan.
Begitu melihat penampilan Saka, ia menatapnya dengan hina. "Pengemis rupanya, mengapa akhir-akhir ini ada banyak pengemis berkeliaran di Ibukota. Sial!"
"Hei, abaikan saja dia. Kamu masih dalam keadaan mabuk!" ujar temannya memapah pemuda yang baru saja menghina Saka, ia melihat tatapan mata Saka yang nampak berbeda.
"Kkkk! Kamu beruntung bocah!" pemuda mabuk itu berbalik pergi.
"Kamu." Panggil Saka.
Pemuda yang mabuk itu kembali menoleh dengan tatapan tajam, "beraninya pengemis sepertimu memanggilku dengan nggak sopan, hah?!"
"Hei, tahan amarahmu!" tegur temannya lagi.
Saka mengeluarkan aura mengerikan dari sekitar tubuhnya, bukan dengan sengaja. Ini karena ia terbiasa melakukan itu sebagai Dewa.
"Adik, temanku mabuk. Jangan diambil hati-!"
"Ke mana aku harus pergi jika ingin ke perguruan Wunan?" potong Saka dengan tenang.
"Jadi, kamu ingin ke perguruan Wunan. Kamu bisa lewat sa-"
"Haish!" Temannya yang mabuk itu kembali bicara dengan langkah goyah, ia bahkan mendorong temannya, "kamu ingin ke perguruan Wunan? Mau jadi pengemis ya? Haha-!"
Geplak!
Brukh!
Tanpa banyak bicara, Saka memberikan satu pukulan di leher pemuda mabuk itu dan pemuda itu pun langsung jatuh tidak sadarkan diri. Teman dari pemuda mabuk itu menatap Saka dengan tatapan takut serta tubuh yang gemetar.
'Anak ini! Jangan-jangan Pertapa yang turun gunung!' batinnya.
Bukan hanya penampilan Saka yang mengerikan, aura di sekitarnya juga. "A-ampun! Ja-jangan bunuh aku!" ujarnya memohon ketika Saka menatapnya.
Jegarr!!
Suara petir tiba-tiba terdengar, padahal langit tidak memperlihatkan tanda akan hujan. Saka menoleh dan menatap langit dengan perasaan kesal. Sepertinya Raja Langit sedang marah melihat sikap Saka barusan.
"Aku hanya bertanya, bukan berniat membunuhnya, kamu tenang saja Raja Langit!" ujar Saka memaksakan senyumnya, seolah ia bicara pada seseorang di langit.
Setelah itu Saka kembali menatap pemuda yang terlihat ketakutan itu, "Kakak, aku hanya ingin pergi ke perguruan Wunan. Bisa kamu bantu aku?"
Kali ini Saka tersenyum, tapi bukannya menghilangkan rasa takut pada pemuda itu. "Brukh!" Pemuda itu malah berakhir tidak sadarkan diri.
"Haish! Mengapa pemuda zaman sekarang begitu lemah?" gumamnya, melihat para pemuda itu tidak membantunya sama sekali, Saka akhirnya memutuskan untuk mencari jalan lainnya.
"Baiklah, mari kita ke perguruan Wunan. Apa aku harus ke arah sana?" Saka mengambil langkah asal. Ia sepertinya akan yakin menemukan tempat itu dengan mudah.
Sementara itu di Perguruan Wunan saat ini...
"Bagaimana ini... keadaan Ketua Agung semakin parah." ujar guru besar Jagat.
Saat ini guru Raya mondar mandir di depannya dengan perasaan gelisah. Jubahnya berkibar mengikuti langkahnya. Hingga...
"Guru, ketiga Pawang Obat Surgawi sudah berada di aula depan." salah satu murid datang dan memberitahukan kedatangan 3 orang Pawang Obat yang terkenal di Benua Timur.
Pawang Obat adalah tingkatan tertinggi dari ilmu medis tradisional (Tabib-> Peramu Obat-> Pawang Obat). Meski saat ini sudah ada banyak pengobatan modern lainnya, belum ada yang mampu mengalahkan status Pawang Obat.
Guru besar Jagat berdiri, "Bagus. Langsung bawa mereka untuk menemui ketua Agung."
Ketua Agung adalah ketua Sekte Wunan, sekaligus pemimpin perguruan Wunan. Melihat para guru mulai bergegas, para murid hanya bisa menatap dari kejauhan.
"Ketua Agung sudah lama terluka karena bertarung dengan pasukan kegelapan, terkena racun kegelapan dan belum ada yang mampu menyembuhkan sakitnya. Apa kali ini ketiga Pawang Obat Surgawi bisa menyembuhkan Ketua Sekte?" tanya salah satu murid Junior.
"Entahlah, aku dengar ketiga Pawang Obat Surgawi bukan sembarangan orang. Mereka bahkan bisa menyembuhkan yang hampir mati!" sahut teman di sampingnya.
"Wah luar biasa...ah! Mereka datang."
Beberapa murid cilik nampak kagum, hingga para guru kembali terlihat menyertai langkah ketiga orang pria paruh baya menuju ruangan ketua Agung.
"Tuan Januar, aku mohon lakukan segala upaya untuk menolong Ketua Agung," pinta guru besar Jagat dengan kepala sedikit menunduk.
Pawang Obat Januar mengangguk, "kalian tunggu di sini. Jangan ada yang masuk kecuali kami memberi perintah." Setelah mengatakan itu, Januar menutup pintu kamar sekte Agung.
Saat ini Pawang Obat Januar, Pawang Obat Jana dan Pawang Obat Jaya mulai membuat ramuan, mengalirkan energi Mana ke dalamnya serta melakukan akupuntur ke titik Mana milik ketua Agung.
Mereka menunggu...
Namun detik demi detik berlalu, warna ramuan tak jua berubah. Jarum akupuntur yang menusuk titik-titik Mana Ketua Agung bergetar, lalu retak.
Energi Mana dari ketiga Pawang Obat mulai melemah, seperti ditolak oleh tubuh sang Ketua.
Jana menggigit bibir, Jaya menatap cemas, sementara Januar menurunkan tangannya dengan pasrah.
“Tubuhnya menolak penyembuhan...” gumam Januar.
Jana menggeleng pelan. “Mana-nya telah rusak terlalu dalam karena racun kegelapan itu. Bertahan sejauh ini merupakan anugerah untuknya."
Keheningan menyelimuti ruangan. Ketua Agung masih terbaring tidak sadarkan diri, nafasnya makin tipis. Harapan pun perlahan padam.
Pawang Obat Januar adalah yang tertua dari ketiganya, ia keluar dari kamar dan menatap para guru perguruan Wunan dengan tatapan sendu serta gelengan pelan.
"Tubuhnya sudah terlalu lemah, racun kegelapan itu hampir menguasai seluruh tubuhnya," ujar Januar.
"Tuan, apa nggak ada cara lain?" tanya guru Raya.
"Benar Tuan, kami akan berikan apapun yang kalian minta. Tolong sembuhkan Ketua Agung... aku mohon..." pinta guru Jagat dengan tatapan yang tulus, bahkan tangannya terasa bergetar ketika menggenggam tangan Pawang Obat Januar.
Januar kembali menggeleng pelan, "Kalian harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi."
Sementara itu di luar gerbang perguruan Wunan, Saka baru saja sampai di depan gerbang dengan napas terengah-engah.
"Ku-kurang... ajar! Mengapa mereka... selalu membuat perguruan di atas gunung!!" omelnya.