Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
JAM KOSONG, PUKULAN TERISI

JAM KOSONG, PUKULAN TERISI

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
348.3K
Popular
303
Subscribe
128
Novel / JAM KOSONG, PUKULAN TERISI
JAM KOSONG, PUKULAN TERISI

JAM KOSONG, PUKULAN TERISI

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
348.3K
Popular
303
Subscribe
128
Sinopsis
PerkotaanAksiGangsterPertualanganUrban
Di sebuah sekolah menengah yang tampak biasa-biasa saja, jam kosong sering kali menjadi jeda yang diisi dengan suara tawa, obrolan, atau sekadar kebosanan. Namun, bagi Naufal dan geng kecilnya, jam kosong menyimpan bara api yang menyala perlahan—penuh ketegangan, dendam, dan rahasia masa lalu. Ketika sebuah insiden kecil berubah menjadi serangkaian bentrokan antar siswa, Naufal harus memilih: menjadi bagian dari kekerasan yang diwariskan atau memutus siklus itu. Dalam kekacauan remaja dan pencarian jati diri, persahabatan, kesetiaan, dan luka-luka lama mengisi ruang-ruang kosong dengan pukulan yang tak selalu fisik.
Bab 1: Bunyi Bel dan Lonceng Sunyi

Bel istirahat kedua berdentang, dan lorong sekolah langsung riuh rendah oleh langkah kaki, gelak tawa, dan suara sepatu beradu dengan lantai. Kelas XI IPS 2 seketika kosong, kecuali lima orang yang tetap di tempat: Naufal, Dika, Fikri, Rafi, dan Tama. Mereka tidak ikut ke kantin, tidak juga ke lapangan. Mereka diam di dalam kelas seperti para penjaga gerbang.

Dika duduk santai di kursi pojok belakang dengan sebatang permen karet di mulutnya. Fikri mengetukkan pulpen ke meja tanpa irama. Rafi berdiri di dekat jendela, melihat ke luar dengan ekspresi datar. Tama sibuk menggambar sesuatu di kertas, tapi goresannya tidak tenang. Dan Naufal... duduk di bangku paling depan, dengan tangan tergenggam di bawah meja.

“Pak Bambang nggak masuk,” kata Fikri, masih mengetuk.

“Jam kosong?” Rafi menoleh.

“Yap. Bebas,” jawab Dika sambil menyeringai.

“Anak-anak kelas X makin songong. Kemarin gue denger ada yang nyenggol Tasya pas di tangga,” ucap Rafi dengan nada penuh maksud.

“Bisa dicari tuh anak,” timpal Dika. “Kalau nggak diajarin, bisa-bisa tahun depan mereka yang ngatur sekolah ini.”

Naufal mendengar semua itu dengan perasaan yang tak karuan. Dulu, waktu kelas X, dia juga pernah seperti Reno—nama yang disebut-sebut sejak kemarin. Anak yang katanya melotot ke Dika, padahal mungkin hanya menatap tanpa tahu siapa yang dia hadapi.

“Gue nggak yakin kekerasan masih relevan sekarang,” kata Naufal akhirnya.

Kalimat itu membuat suasana hening.

“Lo bercanda, Fal?” Dika tertawa kering. “Lo yang ngajarin kita dulu, ‘kalau lo diem, lo diinjek.’ Sekarang lo malah sok damai?”

Naufal menggeleng. “Gue cuma capek. Capek lihat orang takut waktu lihat kita lewat. Kita bukan penguasa, kita cuma siswa.”

Fikri berhenti mengetuk. Rafi menatapnya dengan bingung. Tama pun menghentikan goresannya.

“Gue nggak berubah,” kata Naufal. “Gue cuma sadar, ada cara lain buat dihormati.”

Tak ada yang langsung menanggapi. Tapi Dika berdiri, mengambil jaketnya. “Lo ngomong dari mulut anak yang udah kenyang gebukin orang. Sekarang lo bilang jangan pukul? Telat.”

“Gue tahu,” Naufal mengaku. “Makanya gue mulai dari diri sendiri.”

Mereka tetap pergi ke lapangan belakang. Tempat yang dikenal para siswa sebagai ‘wilayah netral’ karena jauh dari pantauan guru. Dulu lapangan itu dipakai untuk voli, tapi kini rumputnya tinggi dan kerangkanya karatan. Di sinilah banyak urusan ‘tak tertulis’ sekolah diselesaikan.

Dari kejauhan, anak-anak kelas X terlihat sedang duduk-duduk setelah olahraga. Beberapa melempar bola, beberapa lagi hanya rebahan di pinggir lapangan. Di antara mereka, Reno berdiri paling ujung, memegang botol minum, celingukan, tak sadar bahwa badai akan datang.

Dika menunjuk Reno. “Itu dia.”

Rafi menyeringai dan langsung berjalan mendekat. Fikri mengikuti, sementara Tama hanya diam, seperti biasa. Naufal berada di tengah, langkahnya melambat.

Rafi menepuk bahu Reno dari belakang dengan cukup keras. Anak itu menoleh cepat, kaget.

“Lo Reno, kan?” tanya Dika tanpa basa-basi.

“I-iya, Bang.”

“Kemarin lo tarik baju Tasya?”

“Enggak, Bang. Maksud gue, bukan narik. Gue nggak sengaja nyenggol pas lewat. Gue udah minta maaf.”

“Maaf doang cukup?” Fikri mendekat, nadanya tajam.

“Gue nggak niat, beneran. Gue nggak tahu itu pacar abang,” ujar Reno cepat, gugup.

“Masalahnya bukan pacar atau bukan. Ini soal sikap,” ucap Rafi.

Dika mulai mengangkat tangan. Reno mundur setapak.

“Stop,” kata Naufal tegas, maju di antara mereka.

“Lo lagi, Fal?” Dika menahan tangannya, tampak jengkel.

“Lo mau nyelesain masalah pake tangan terus? Lo pikir dia bakal ngerti? Atau bakal takut? Dia cuma akan nyimpen dendam. Dan nanti giliran dia jadi kakak kelas, dia ngulangin lagi.”

Semua terdiam. Angin lewat membawa debu dan daun kering.

“Dia udah minta maaf. Kita kasih dia satu kesempatan,” lanjut Naufal.

Reno menatap Naufal seperti seseorang yang baru saja ditarik dari jurang.

“Gue...” kata Dika, lalu menurunkan tangannya. “Oke. Tapi ini karena lo, Fal.”

Naufal menoleh ke Reno. “Pulang. Jaga sikap.”

Reno mengangguk cepat dan berlari menjauh.

Sepanjang perjalanan kembali ke kelas, tak ada yang bicara. Tapi udara di antara mereka berat. Seperti asap dari api yang belum benar-benar padam.

Begitu duduk, Dika menatap Naufal lama. “Lo tahu apa yang lo lakuin tadi?”

Naufal mengangguk. “Ngambil resiko.”

“Bukan cuma itu. Lo nunjukkin kelemahan kita ke mereka.”

“Lo anggap maafin orang itu lemah?”

Fikri ikut menyela. “Gue ngerti maksud lo, Fal. Tapi kalau kita terlalu lunak, bisa-bisa balik lagi ke zaman dulu. Waktu kita diinjek-injek.”

“Gue ngerti juga, Fik. Tapi kita udah berubah. Sekolah juga berubah. Kita harus berani coba hal baru.”

“Dan kalau gagal?” tanya Rafi.

“Kalau gagal, kita perbaiki. Tapi jangan mulai dari kekerasan lagi.”

Tama tiba-tiba bersuara, “Kalau kita cuma pengin dihargai, kenapa kita harus bikin orang takut?”

Itu pertama kalinya Tama bicara lebih dari dua kalimat. Semua menoleh padanya.

“Kadang orang hormat bukan karena takut. Tapi karena kita kasih contoh,” lanjut Tama pelan.

Naufal menatap Tama dengan rasa lega. Ternyata dia tak sendiri.

Dika berdiri dan berjalan ke jendela. Tangannya masuk ke saku. “Lo tahu, Fal. Gue dulu respek sama lo karena lo keras. Tapi sekarang... gue mulai mikir, mungkin keras itu bukan satu-satunya cara.”

Naufal menatap ke luar jendela. Langit mendung. Tapi ada sinar yang menyelusup di antara awan.

Hari berganti. Jam kosong kembali datang. Tapi kali ini, suasananya berbeda.

“Pak Surya izin nggak masuk,” kata Fikri dari grup WA.

“Kita ke lapangan lagi?” tanya Rafi.

Naufal menutup bukunya. “Gue ke perpus.”

“Gue ikut,” ujar Tama cepat.

Fikri mengangkat bahu. “Gue bosen juga main terus.”

Tanpa disangka, Dika ikut berdiri. “Gue ikut. Jangan kira lo bisa kelihatan paling alim sendirian.”

Mereka berjalan beriringan ke perpustakaan. Di sepanjang lorong, beberapa siswa memperhatikan, heran. Dulu, lima anak itu dikenal sebagai ‘penjaga lorong’ yang galak dan tak segan cari masalah. Tapi kini mereka masuk perpustakaan dengan langkah santai.

Ruangan perpustakaan sepi. Udara dingin dari AC menusuk tulang. Naufal mengambil buku tentang psikologi remaja. Fikri memilih buku komik. Rafi hanya duduk, menonton video lewat headset.

Tama membuka buku sosiologi dan mencatat sesuatu. Dika memilih majalah olahraga dan terkekeh kecil saat menemukan artikel tentang tinju.

“Lo tau nggak,” kata Naufal, “di sini ditulis, kekerasan remaja biasanya datang dari luka yang nggak pernah sembuh.”

“Maksudnya?” tanya Rafi.

“Anak-anak yang pernah disakiti, cenderung menyakiti juga. Karena mereka pikir itu cara satu-satunya buat bertahan.”

Hening sejenak.

“Berarti... kita semua korban?” gumam Tama.

“Mungkin,” jawab Naufal. “Tapi korban juga bisa milih buat berhenti jadi pelaku.”

Jam kosong berakhir. Tapi perubahan sudah mulai terasa. Mereka tak lagi bicara soal siapa yang harus dihukum atau siapa yang perlu ‘ditegur’.

Saat bel akhir berbunyi, mereka keluar perpustakaan bersama. Dika menertawakan isi majalah, Rafi masih dengan headset-nya, Fikri bercerita soal komik yang lucu, dan Tama membagikan catatannya ke Naufal.

“Fal,” panggil Dika sebelum mereka berpisah di gerbang. “Lo bener.”

Naufal menoleh. “Soal apa?”

“Soal cara kita. Gue pikir ini... mungkin bisa berhasil.”

Naufal tersenyum. “Kita coba aja terus.”

Langit sore mulai bersih. Matahari muncul malu-malu dari balik awan. Jalan pulang terasa lebih ringan.

Di sepanjang trotoar, anak-anak kelas X berjalan tanpa cemas. Tak ada yang menunduk karena takut. Tak ada yang berlari menghindari pandangan.

Dan Naufal tahu, meski kecil, mereka sudah mulai mengisi jam kosong dengan sesuatu yang lebih dari sekadar pukulan. Mereka sedang memulai perubahan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca