Davin mengendarai motornya yang sudah usang dan penuh dengan goresan, melaju menuju sebuah pusat perbelanjaan mewah.
Udara malam itu terasa segar, tetapi pikirannya sudah tertuju pada satu tujuan: menemukan hadiah ulang tahun yang sempurna untuk nenek dari istrinya, Vania.
Dia akhirnya berhenti di depan sebuah toko yang sangat eksklusif, jendelanya bersih berkilauan memamerkan barang-barang mewah yang seolah berkata "jangan mendekat jika Anda tidak mampu".
Sejak momen ia memarkirkan motornya yang "butut" itu di tepi jalan, dua pasang mata sudah mengawasinya. Satpam yang berdiri gagah di pintu masuk dan seorang pelayan toko di balik etalase sama-sama melihat kedatangannya.
Mereka bertukar pandang singkat, pandangan yang penuh dengan prasangka. "Mungkin dia ke toko sebelah," gumam sang satpam.
Mereka kemudian mengabaikannya, berasumsi pria itu akan segera pergi.
Namun, asumsi mereka meleset. Davin justru berjalan mantap menuju pintu kaca geser yang megah. Satpam itu, dengan wajah yang masih dipaksakan ramah, membuka pintu untuknya. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa dibantu? Apakah Bapak mengantarkan pesanan untuk salah satu karyawan kami?" tanyanya, nada suaranya merendahkan meski terselubung sopan santun.
Davin menggeleng, matanya tetap fokus pada barang-barang di dalam toko. "Tidak. Saya datang untuk membeli sesuatu," jawabnya tenang.
Mendengar itu, ekspresi satpam berubah. Senyum palsunya menghilang, digantikan oleh sikap merendahkan yang nyaris tak disembunyikan. Ia yakin sekali pria berbaju sederhana ini tidak akan mampu membeli apa pun di sini.
Percakapan singkat itu juga didengar oleh Yusi, seorang pelayan toko yang sedang merapikan display. Alih-alih mendekat untuk melayani, dia justru memalingkan muka dan pura-pura sibuk, memperhatikan sepasang suami-istri yang baru saja masuk.
Pasangan itu terlihat sangat berbeda dengan Davin. Mereka mengenakan pakaian yang mahal dan rapi, langsung menarik perhatian semua staf toko.
Davin, yang kini berdiri sendirian di dekat sebuah etalase berisi perhiasan giok, sama sekali diabaikan.
Sang istri dari pasangan tersebut dengan lantang memuji-muji suaminya kepada para pelayan yang kini mengerumuninya. "Suamiku baru saja naik pangkat menjadi General Manajer di PT Karya Timur Sejahtera, lho! Kami mau beli sesuatu untuk merayakannya!" Para pegawai toko pun menyambutnya dengan sanjungan dan senyum manis, kontras sekali dengan perlakuan dingin mereka kepada Davin.
Davin melihat jam tangannya. Waktu semakin sempit, dia bisa terlambat untuk acara ulang tahun nenek Vania.
Kesabarannya habis. Daripada terus diabaikan, dia memutuskan untuk bertindak. "Permisi! Apakah toko ini masih melayani pembeli? Saya ingin melihat gelang giok ini!" teriaknya, suaranya lantang memecah kesunyian toko yang berhawa sejuk itu.
Teriakannya berhasil memancing perhatian, tapi bukan dalam cara yang ia harapkan. Pasangan suami-istri itu merasa terganggu dan memandangnya dengan jijik. "Diam, harusnya Anda tahu tempat! Lihatlah caramu berpakaian, kau pikir ini pasar malam?" hardik sang istri.
Seorang pelayan menambahkan dengan nada mengejek, "Sudah, Pak. Jangan berisik. Anda tidak akan mampu membeli satu pun barang di toko ini. Percuma saja."
Keributan itu akhirnya berhasil memanggil Hadi, manajer toko. Davin awalnya lega. "Akhirnya ada yang berwenang," pikirnya. Dengan tenang, dia melaporkan perlakukan tidak sopan yang diterimanya dari para stafnya.
Namun, harapannya pupus. Hadi, alih-alih meminta maaf, justru melirik pakaian sederhana Davin dan melirik ke arah motor tua di luar.
Prasangka mengalahkan profesionalismenya. Dia menyeringai, "Maaf, Pak. Staf-staf saya hanya melaksanakan prosedur. Toko kami sangat menjaga kenyamanan para klien berkualitas. Barang di sini sangat mahal, mungkin tidak sesuai dengan budget Bapak."
Pada detik itulah, suasana tiba-tiba berubah. Deru mesin mobil mewah yang keras memecah kesibukan jalanan.
Sebuah konvoi yang terdiri dari beberapa mobil sedan dan limusin hitam berhenti persis di depan toko. Para pengawal berseragam jas hitam dan kacamata gelap turun dengan gesit, membentuk formasi yang ketat.
Seorang pria bertubuh tambun dan berwibawa, mengenakan setelan bermerek termahal, turun dari limusin.
Hadi, sang manajer toko, langsung terpana.
Wajahnya pucat, lalu berubah menjadi merah karena panik dan sungkan. Dia segera membungkuk dan menyambut di pintu. "Selamat datang, Tuan Johnny Lunggana! Kehormatan besar bagi toko kami!" serunya, hampir gemetar.
Johnny Lunggana adalah salah satu orang paling berpengaruh di ibu kota, dan pemilik utama dari jaringan toko mewah ini, termasuk toko yang sedang dikunjunginya ini.
Namun, Johnny Lunggana sama sekali tidak menghiraukan sambutan merendah Hadi. Matanya menyapu ruangan dan langsung tertuju pada satu orang: pada Davin.
Dengan langkah cepat dan penuh hormat, dia mendekati Davin.
Di depan semua orang yang terkejut, Johnny Lunggana membungkuk dalam-dalam, diikuti oleh semua pengawalnya yang serentak memberi hormat. "Tuan Muda Davin! Kami sedang mencari Anda. Apa yang membuat Anda datang ke toko kecil ini?" tanyanya dengan penuh hormat.
Para pegawai toko, Hadi, dan pasangan suami-istri itu bagaikan ditampar. Mulut mereka terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan.
Davin menghela napas. "Kebetulan sekali kamu datang, Joni. Aku ingin membeli gelang giok untuk ulang tahun nenek Vania. Tapi, sepertinya aku tidak cukup 'berkualitas' untuk dilayani di tokomu ini. Aku menerima perlakuan yang sangat tidak pantas."
Hadi langsung berkeringat dingin. Dia mencoba berkelit, "T-Tuan Johnny, ini semua hanya kesalahpahaman—"
"Diam!" hardik Johnny Lunggana, amarahnya meledak. "Aku kenal Tuan Muda Davin sejak lama. Dia tidak pernah berbohong!" Dia menatap Davin. "Maafkan kelalaian ini, Tuan Muda. Mereka yang menghina Anda hari ini akan menerima konsekuensinya. Mereka semua dipecat, efektif sekarang juga!"
Kata-kata itu membuat Hadi dan para pegawai toko histeris. Mereka bersimpuh dan memohon ampun, tetapi sudah terlambat.
Sang pasangan suami-istri berusaha menyelinap pergi, tetapi Davin menunjuk mereka. "Mereka berdua juga ikut menghina saya, Joni. Dan katanya si suami baru saja jadi General manajer di PT Karya Timur Sejahtera, ya?"
Johnny Lunggana mendengus ke arah pasangan itu, matanya tajam. "PT Karya Timur? Itu anak perusahaan kami." Dia menatap sang suami. "Kau tidak perlu datang kerja besok. Kau juga dipecat."
Sang istri langsung histeris.
Tapi salah satu pengawalnya Johnny Lunggana sudah mengusir mereka berdua keluar dari toko supaya tidak mengganggu Davin.
Dengan tenang, setelah segala kekacauan mereda, Davin mengambil gelang giok yang sejak tadi diincarnya dari dalam etalase.