Di ruang ICU, tubuhnya kurus terbungkus selimut, meringkuk di atas ranjang rumah sakit.
Dari jendela, daun-daun kamper bergoyang tertiup angin. Bayangan yang jatuh ke wajah pucatnya membuat pikirannya melayang kembali ke musim panas bertahun-tahun lalu, di tengah riuh suara jangkrik.
Sebuah tape recorder tua yang sudah disterilkan terus memutar ulang lagu pendek tak sampai satu menit.
“Hitam langit yang merendah, bintang terang ikut serta, serangga terbang... serangga terbang....”
Di antara sadar dan tidak, telinganya menangkap suara isakan pelan.
“Vin...” Suara ibunya parau, matanya merah sembab, menggenggam erat tangannya. Di sisi ranjang, tergeletak selembar surat peringatan kondisi kritis.
Ayahnya duduk di dekat jendela, punggung membungkuk, diam tanpa kata.
Begitu melihat anaknya membuka mata, Ayunda Liuvia berusaha menahan diri, tapi perasaan bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan. Baru membuka mulut, tangisnya sudah pecah.
Kevin mencoba bangkit meski dadanya sakit. Ia hanya mampu mengangkat tangan, mengusap wajah ibunya yang penuh kerut.
“Ma, jangan nangis....”
Ayunda mengangguk, tapi air matanya jatuh semakin deras.
Bagas Loude berdiri di ujung ranjang. Dulu, ia ayah yang keras dan berwibawa. Kini, di usia lima puluh tahun, rambutnya sudah memutih, matanya dipenuhi sesal.
Kevin tersenyum. Sama sekali tidak mirip seseorang yang tinggal menunggu ajal.
“Pa, Ma... aku cuma punya satu permintaan. Kalau aku mati nanti, tolong makamkan aku di taman pemakaman tempat Citra beristirahat. Kalau kalian datang menjengukku, sekalian jenguk dia juga.”
Citra Ranora adalah tetangga sebelah rumah. Mereka tumbuh bersama sejak kecil, dari TK sampai SMA selalu di sekolah yang sama—benar-benar teman masa kecil.
Di tahun terakhir SMA, Kevin sadar ia menyukai Citra, dan tahu Citra juga menyukainya.
Tatapan orang yang jatuh cinta tidak bisa disembunyikan.
Namun meski tahu perasaannya berbalas, Kevin tak pernah berani melangkah lebih jauh.
Karena ia sakit.
Sejak lahir, ia mengidap penyakit jantung bawaan. Saat teman sebayanya bisa berlari dan melompat, ia hanya bisa berjalan pelan.
Semakin bertambah usia, penyakit itu kian parah.
Baginya, cinta hanyalah sebuah kemewahan. Ia tak punya hak menyeret Citra ke dalam penderitaan. Dengan kondisinya, kalau memaksa bersama Citra, ia hanya akan menghancurkan masa depan gadis itu.
Dia begitu cantik, begitu cerdas. Tanpa dirinya, hidup Citra pasti akan luar biasa.
Maka, Kevin memilih menyembunyikan perasaannya.
Setelah ujian kelulusan SMA, Citra pernah menyatakan cintanya.
Kevin menolaknya.
Saat itu, ia hanya berkata:
“Bagiku, kamu cuma seperti adik perempuan.”
Sejak hari itu, Citra tidak pernah lagi memanggilnya “Kak Vin.”
Kevin sempat mengira hidup Citra akan berjalan indah, seperti yang ia bayangkan. Tapi takdir malah berbalik. Musibah bukan jatuh pada dirinya, melainkan pada Citra.
Kecelakaan lalu lintas.
Parah.
Begitu mendengar kabar itu, Kevin langsung pingsan. Penyakitnya kambuh, sehingga ia bahkan tak bisa melihat Citra untuk terakhir kali.
Sepuluh tahun berlalu. Untuk pengobatannya, orang tuanya sudah menjual rumah diam-diam, meminjam ke sanak saudara, dan menanggung utang menumpuk.
Ibunya setiap hari kerja lebih dari tujuh belas jam, siang kerja, malam kerja serabutan, tetap menyempatkan diri menemaninya di rumah sakit.
Kadang Kevin merasa keberadaannya hanya menjadi beban. Tapi melihat usaha ibunya yang tak kenal lelah, ia tak sanggup menyerah.
Namun, transplantasi jantung bukan sekadar soal uang. Perlu juga keajaiban—menunggu donor yang cocok.
Sepuluh tahun menunggu, dan tak ada satu pun yang sesuai.
Mungkin inilah nasibnya.
Kata orang, kegagalan adalah bagian dari hidup. Tapi mengapa hidupnya hanya berisi kegagalan?
‘Sialan, Tuhan! Kau benar-benar kejam!’
“Vin... maafkan Mama....”
Suara ibunya pecah, tubuhnya bergetar. “Ada hal yang Mama sembunyikan darimu. Sekarang... Mama harus bilang. Tentang Citra....”
Begitu mendengar penjelasan itu, Kevin menangis.
Ternyata, dulu Kevin pernah dengar kabar ada seorang profesor ahli bedah jantung terkenal datang ke Rivania untuk sebuah konferensi medis.
Di musim dingin yang menusuk, Citra menunggu seharian di luar rumah sakit.
Begitu mobil sang profesor keluar, ia berlari mengejar, mengetuk kaca, memohon agar diberi sedikit waktu.
Tapi sebelum sempat, sebuah mobil mabuk menghantam tubuhnya.
Saat dibawa ke ruang gawat darurat, Citra masih berbisik lemah, “Tolong... tolonglah dia....”
‘Dasar gadis bodoh....’
Dengan suara parau, Ayunda mengeluarkan ponsel. “Kamu dulu pernah tanya, Citra ada tinggalkan sesuatu atau tidak. Mama bilang tidak, itu bohong. Sebenarnya..., dia sempat titipkan beberapa rekaman.”
Ia mencari file di ponsel sambil menahan tangis. “Ada tujuh rekaman. Katanya, ini hadiah ulang tahun untukmu, satu rekaman untuk setiap tahun. Mama dulu takut memberitahu, takut kamu kehilangan semangat hidup....”
Selain rekaman, ada juga sebuah foto.
Foto sebuah toples kaca besar, ditempeli label warna-warni bertuliskan rapi:
[Dana Pengobatan]
Isi toples penuh uang receh, dari seratus perak sampai seratus ribu, bahkan ada koin. Di antara uang, terselip lipatan bintang kertas warna-warni buatan tangan.
Ayunda menatap wajah anaknya yang penuh duka, lalu memutar rekaman pertama.
Ia tahu, waktu Kevin tidak banyak.
Begitu suara diputar, terdengar nada bening seorang gadis.
“Kevin, selamat ulang tahun~ Masih bisa kenal suara aku, kan? Hehe... kali ini, aku mau kenalan ulang. Aku Citra Ranora. Tapi aku nggak mau jadi adikmu lagi. Maaf ya..., badanku nggak kuat, jadi nggak bisa temani ulang tahunmu....”
“Selamat ulang tahun! Hehe, aku datang lagi. Aku Citra Ranora, bukan adikmu. Harus semangat hidup ya! Lawan sakitnya, berusaha, berusaha, dan terus berusaha!”
“Kevin Loude, selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Dengar baik-baik ya, aku bukan adikmu!”
“Sekarang aku sudah masuk tahun terakhir kuliah! Kamu pasti udah dapat jantung baru kan? Lulus nanti mau bikin game? Kalau iya..., jangan lupa bikin satu karakter NPC bernama Citra Ranora. Kalau kamu kangen aku, tinggal ajak ngobrol NPC itu....”
Suaranya makin lama makin lemah.
“Kevin..., kalau aku nggak ada..., aku bakal jaga kamu dari langit. Semua sial biar aku yang buang....”
“Kevin..., ini tahun keenam aku nggak ada. Kamu pasti sudah lupa aku, kan? Sebenarnya aku nyesel bikin rekaman ini. Orang mati masih sok manja..., maaf ya. Tapi..., selamat ulang tahun....”
“Kevin, ini rekaman terakhirku. Sebenarnya pengen lanjut rekam, tapi operasi sebentar lagi. Doakan aku selamat, ya. Kalau gagal..., kamu nggak boleh sedih. Nggak boleh nangis. Dan..., nggak boleh lupa aku. Hmm, tapi..., kalau bisa..., jangan cepat-cepat lupakan aku. Kevin..., aku suka kamu. Aku suka kamu..., Kevin Loude.”
Rekaman terakhir itu panjang.
Tapi bagi Kevin, rasanya terlalu singkat.
Saat suara Citra terhenti, seakan seluruh dunia ikut membeku.
Hatinya runtuh. Wajahnya yang sudah pucat semakin kehilangan warna, pupil matanya perlahan membesar. Sebelum kesadarannya lenyap, pandangannya dipenuhi cahaya putih menyilaukan.
---
“Taruh pena, kumpulkan kertas!”
Suara berat nan berwibawa menggema di seluruh ruangan, disusul suara gaduh kertas ujian yang dibalik-balik.
Detik berikutnya, seseorang mengguncang pundaknya.
“Bangun, jangan tidur, Nak.”
Kevin membuka mata dengan setengah sadar. Pemandangan di depannya terasa begitu familiar, tapi juga asing. Sekilas ia bengong.
‘Ini..., tempat apa?’
Pengawas ujian, Pak Markus Yasmon, mengerutkan kening. Wajah yang biasanya sudah terlihat galak, kini tambah penuh ketidakpuasan.
Ujian masuk perguruan tinggi—bagi kebanyakan orang, itu kesempatan sekali seumur hidup untuk mengubah nasib.
Tidur di ruang ujian? Itu namanya cari gara-gara!
Kevin melongo beberapa detik, lalu diam-diam mencubit lengannya.
“Aw..., sakit!”
Sakitnya nyata. Jadi ini bukan mimpi?
Tapi bukankah dia sudah mati? Kenapa bisa ada di ruang ujian? Lagi pula..., orang mati mana bisa merasakan sakit?
Pak Markus menatap kosongnya tatapan Kevin, hatinya penuh kecewa, tapi akhirnya memilih diam.
Setiap orang berhak menentukan hidupnya sendiri.
Beberapa menit kemudian, kabut di pikiran Kevin mulai menipis. Ia meneliti sekeliling ruangan.
Dinding penuh bercak kapur yang mengelupas, bata merah di baliknya sedikit terlihat. Meja kursi tua, papan tulis kusam, tapi atmosfernya serius dan menegangkan.
Di papan tulis besar tertulis dua huruf dengan kapur putih:
[Ujian Nasional]
Mata Kevin langsung mengecil.
Jangan bilang....
Sekejap, pikiran gila melintas di kepalanya. Jantungnya berdebar, tangannya mengepal kencang, tubuhnya bergetar.
Ketika lembar jawaban sudah terkumpul dan para siswa bubar dengan wajah lega, Kevin masih duduk terpaku, sendirian.
Ia kembali mencubit lengannya, kali ini lebih keras.
Sakitnya jelas.
Benar..., dia sudah hidup lagi.
Hidup kembali ke sepuluh tahun lalu. Tahun 2010!
Tunggu..., ada yang kurang.
Kevin menepuk pahanya. “Oh iya!”
Mana suara khas itu?
Biasanya, kalau orang hidup lagi kayak di novel, pasti ada “sistem” yang muncul, bukan?
Ia diam, menunggu.
Sepuluh detik. Dua puluh detik. Satu menit.
Sunyi.
“Anjir, cepetlah ‘Ding’! Masa nggak ada?!”
Tiba-tiba, suara serak mirip bebek keluar dari kepalanya.
【Apaan sih panik? Ntar pas waktunya, bakal muncul sendiri. Bukan berarti ada suara ‘Ding’, hidupmu jadi gampang.】
Kevin bengong, lalu ngakak.
“Heh... hehehe....”
Tak buang waktu, ia berlari keluar dari ruang ujian, menuruni tangga, dan langsung menuju gerbang sekolah.
Di depan gerbang, lautan manusia menyesaki jalan. Orang tua, siswa, suara riuhnya mirip pasar pagi.
Biasanya orang bakal nunggu sampai agak sepi. Tapi Kevin tak sabar. Dia hanya ingin segera ketemu Citra.
Di kehidupan sebelumnya, mereka berjanji pulang bareng setelah ujian. Tapi justru hari itu, dia membuat Citra menangis.
“Permisi, permisi!” teriak Kevin sambil nekat menerobos kerumunan.
Sontak protes berdatangan.
“Eh, jangan dorong-dorong dong!”
“Lah, sama aja semua nunggu, ngapain buru-buru?”
“Woy, jangan bilang kamu ee’ di celana?!”
Ucapan terakhir bikin Kevin tertegun.
‘Alasan itu..., bisa juga tuh!’
Matanya berbinar, langsung ikut teriak:
“Semua minggir! Aku beneran ee’ di celana! Siapa kena, siapa rugi!”
Orang-orang kontan pasang wajah jijik dan kabur ke samping.
Celaka kreatif, tapi berhasil. Dengan begitu ia bisa menembus kerumunan dan berlari menuju jalan timur.
Sampai di perempatan, langkahnya melambat.
Di bawah pohon rindang, berdiri seorang gadis. Cantiknya alami, wajah bening, mata jernih penuh ketulusan.
Kaos putih polos yang agak longgar menutupi tubuh mungilnya. Celana jeans belel dengan sobekan di lutut, ditempeli bunga merah muda kecil hasil tambalan. Sepatu kets putih sederhana.
Sederhana—tapi indahnya justru kelewat murni.
Sinar matahari menembus dedaunan, jatuh di kulit pucatnya yang bersih. Gadis itu seperti batu giok putih yang bersinar.
Citra Ranora. Sosok yang bagi Kevin adalah cahaya.
Ia sempat terpana.
Saat melihat Kevin, mata Citra langsung berbinar. Ia berlari kecil mendekat.
“Kak Kevin, kukira kamu udah pulang duluan...” ucapnya dengan suara manis bagai madu.
“Ma-mana bisa gitu...” jawab Kevin gugup tak karuan.
Citra menatapnya lama. “Entah kenapa, rasanya kamu agak beda hari ini.”
“Ah? Be-beda? Kayaknya cuma perasaanmu.”
Gadis itu tersenyum tipis, lalu bertanya pelan, “Kak Vin, hari ini ulang tahunmu, mau dirayain di rumah..., atau keluar?”
Kevin baru ngeh. Benar, hari ini ulang tahunnya.
Di kehidupan lalu, ia takut Citra terikat padanya. Jadi ia malah menyewa beberapa gadis buat pura-pura dekat dengannya, demi bikin Citra mundur.
Dan sekarang, seperti déjà vu, beberapa gadis mulai berjalan mendekat.
Pemimpinnya, Vivian Yola, teman sekelas mereka, tersenyum penuh tantangan.
“Kevin, habis ultah nanti, kamu harus pilih salah satu dari kami jadi pacarmu ya.”
Tubuh Citra menegang. Bibirnya bergetar, tapi ia diam.
Kevin langsung pusing. Semua skenario konyol ini..., dulu idenya dia sendiri!
Saat ia masih menyesali kebodohan masa lalu, Citra maju selangkah, berdiri di depannya, melindungi dirinya.
Vivian menyeringai. “Citra, aku akui kamu lebih cantik dan lebih pintar dariku. Tapi jangan lupa, kamu cuma tetangganya Kevin. Dia nggak bakal suka sama kamu.
“Lagipula, kamu itu..., bokongnya gede. Cowok mana suka cewek bokong gede?”
Kata-kata itu membuat Kevin ingin menepuk jidat. Ia ingat, ucapan itu pun dulu keluar dari mulutnya sendiri!
Wajah Citra memerah. “Aku..., aku....”
Kevin menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Citra dan menaruhnya di belakang tubuhnya.
“Dengar baik-baik. Aku sama Citra bukan saudara, kami cuma tetangga.”
Ia lalu menatap lurus ke arah Vivian.
“Dan siapa bilang cowok nggak suka cewek bokong gede?”
Hening sejenak.
Kemudian, tanpa sadar, ia menambahkan kalimat yang bikin suasana makin panas:
“Justru bokong gede itu..., tanda rezeki lancar.”