“Mama, sayang, airnya sudah siap. Aku bawakan untuk kalian cuci kaki!”
Pukul delapan malam, istriku, Nadia Adinata, dan ibu mertuaku, Rita Lestari, baru saja pulang dari markas besar keluarga mereka. Setelah selesai beres-beres rumah, aku, Aditya Wiratama, seperti biasa langsung membawa dua baskom air hangat untuk mereka.
Tapi malam ini, ekspresi mereka berdua dingin, sama sekali tidak berniat mencuci kaki. Mertua perempuanku malah lebih dulu menggendong anjing pudel kesayangannya, memanggilnya “anak manis” beberapa kali, lalu tiba-tiba menendang baskom air yang kubawa. Dengan suara lantang, dia membentakku, “Kerjaanmu tiap hari cuma ini?! Dasar lelaki tidak berguna!”
Saat itu juga, amarah yang selama ini kupendam meledak. Aku memang hanya seorang menantu laki-laki yang menikah masuk ke Keluarga Adinata. Ibu mertuaku dan istriku selalu meremehkanku karena aku cuma pegawai kecil dengan gaji pas-pasan. Mereka memperlakukanku seperti pembantu, seenaknya menyuruh dan menghinaku setiap hari, seolah aku bukan manusia.
Posisiku di rumah ini bahkan lebih rendah dibanding anjing pudel yang ada di pelukan ibu mertuaku.
“Ini suratnya. Kalau tidak ada keberatan, tanda tangan saja.”
Belum sempat aku bicara, istriku, Nadia, yang juga berwajah dingin, mengeluarkan selembar dokumen dari tas LV-nya dan melemparkannya ke arahku.
Aku selalu menuruti istriku, jadi aku segera mengambil dan membukanya. Tapi saat membaca isi dokumen itu, amarahku yang sedang membara mendadak terhenti.
Surat cerai?! Dan aku harus pergi tanpa membawa apa pun?!
“Sayang, kenapa tiba-tiba kamu mau cerai?” tanyaku, masih tidak percaya.
“Tadi waktu rapat keluarga, Nenek bilang kalau aku mau menceraikan kamu—lelaki tidak berguna ini—dia akan memberikan proyek besar keluarga untuk aku tangani. Aku tidak mau masa depanku hancur hanya karena kamu! Jadi, kita cerai saja.”
Nada suaranya tegas, tidak memberi ruang untuk diskusi. Sorot matanya penuh harapan akan masa depannya yang gemilang.
Nadia memang wanita yang luar biasa. Selain berwajah cantik dengan kulit putih mulus, tubuhnya juga tinggi semampai. Dalam setahun terakhir, kariernya melesat pesat, mencetak pencapaian yang nyaris seperti keajaiban.
Prestasi seperti ini cukup untuk membuatnya, yang hanya keturunan cabang Keluarga Adinata, menjadi pewaris utama keluarga mereka.
Tapi Nenek Adinata, yang sangat tidak menyukai pernikahan kami, selalu menolak menjadikannya penerus utama. Sebagai gantinya, nenek hanya menjadikannya manajer salah satu anak perusahaan dan tidak pernah memberikan proyek besar untuk dia tangani.
Hal ini membuat Nadia sangat frustrasi. Ibunya, Rita, sudah berkali-kali menyuruhnya menceraikanku. Tapi meskipun ragu, dia belum pernah benar-benar mengambil keputusan.
Sampai akhirnya, saat rapat keluarga tadi, Nenek Adinata berkata langsung kepadanya:
Asalkan kamu mau menceraikan Aditya, proyek terbesar keluarga ini akan jadi milikmu.
Saat itu juga, dia tergoda!
Dia sadar, ini mungkin baru awal. Jika dia berhasil, bukan tidak mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi pewaris Keluarga Adinata!
Di perjalanan pulang, Nadia sudah membulatkan tekad untuk menceraikan Aditya. Dia tidak ingin membiarkan lelaki tidak berguna itu menghambat masa depannya yang cerah.
Pria ini sama sekali tidak pantas untuknya!
Ucapan itu terasa seperti petir yang menyambar di siang bolong bagi Aditya. Dia tahu kalau Nenek Adinata memang tidak pernah menyukainya, tapi hubungan antara dia dan Nadia tidaklah mudah. Dia telah berkorban begitu banyak demi pernikahan mereka. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Nadia akan menceraikannya hanya demi sebuah proyek.
Saat ini, meskipun dia selama ini selalu mengalah pada Nadia, dia tetap tidak bisa menahan amarahnya. Dengan suara lantang, dia berkata,
“Sayang, kamu mau menceraikan aku hanya karena sebuah proyek? Apakah perasaan kita dan semua pengorbanan yang sudah kita buat selama ini tidak ada harganya sama sekali?”
“Perasaan? Pengorbanan?”
Nadia langsung mencibir. Tatapan matanya penuh kemarahan, seolah-olah semua masalah yang dia hadapi adalah karena Aditya. Dan sekarang, pria itu malah berani mempertanyakan keputusannya?
Dia langsung menghantam meja dengan keras, lalu berteriak, “Seorang pria seharusnya kuat, berdiri tegak, dan sukses dalam kariernya! Itulah bentuk tanggung jawab dan pengorbanan seorang suami untuk keluarganya!”
“Tapi kamu? Sejak menikah, kamu masih saja jadi pegawai kecil dengan gaji cuma Rp6 juta sebulan! Di rumah, kerjaanmu cuma nyiapin teh, cuci baju, masak, dan bersihin rumah! Kamu ini cuma pecundang tak berguna! Itu saja sudah cukup buruk, tapi aku juga kehilangan begitu banyak kesempatan gara-gara kamu! Ini yang kamu sebut pengorbanan dan perasaan?”
Rita, yang sejak tadi menggendong anjing pudelnya, Bobi, ikut menimpali dengan penuh kebencian, “Benar! Aditya, kamu makan dan minum dari keluarga kami, tapi tidak menghasilkan apa-apa! Kamu ini benar-benar sampah! Bahkan anjingku, Bobi, masih lebih berguna darimu. Setidaknya dia bisa menggoyangkan ekornya dan menggonggong dua kali! Setiap hari aku harus melihatmu mencuci kaki kami seperti budak—rasanya muak sekali!”
Dia lalu menendang baskom air dengan keras, sementara wajahnya dipenuhi ekspresi jijik.
Bobi, seolah memahami kemarahan majikannya, langsung menggonggong keras ke arah Aditya, seakan ikut merendahkannya.
Melihat dua wanita dan seekor anjing yang menghina dan mencaci maki dirinya tanpa ampun, Aditya merasa amarahnya membuncah. Namun, di balik itu, ada rasa sakit dan kekecewaan yang begitu dalam.
Tidak berguna? Pecundang? Tidak pernah berkorban? Bahkan lebih rendah dari seekor anjing?
Betapa konyolnya tuduhan itu!
Aditya memang menikah masuk ke Keluarga Adinata, tapi lebih dari itu—dia adalah pewaris dari keluarga kaya raya yang hidup dalam bayang-bayang, memiliki kekayaan tak terhitung dan kekuasaan yang luar biasa besar.
Alasan dia menjadi menantu Keluarga Adinata bukan karena dia tidak berdaya, melainkan karena sepuluh tahun lalu, keluarganya diserang oleh musuh. Saat itu, dia hampir mati kelaparan di jalanan. Dan di saat itulah, Nadia kecil datang memberinya sebutir permen. Sekecil apa pun, tindakan itu membangkitkan kembali harapannya untuk hidup. Saat itu juga, dia bersumpah akan membalas budi kepada gadis itu seumur hidupnya.
Ketika Keluarga Wiratama akhirnya kembali berjaya, Aditya bertemu lagi dengan Nadia. Hubungan mereka berkembang pesat, dan mereka pun jatuh cinta.
Ayah Nadia sudah lama meninggal, dan sebagai anak tunggal, keluarganya hanya bisa mencari menantu pria untuk masuk ke dalam keluarga. Aditya, meski mendapat tekanan besar dari keluarganya sendiri, memilih menyembunyikan identitasnya dan menerima posisi sebagai menantu Keluarga Adinata.
Demi menjaga Nadia, dia sengaja memilih pekerjaan biasa dan menurunkan dirinya sendiri. Dia rela menerima semua hinaan dan perlakuan semena-mena dari ibu mertua dan istrinya.
Lebih dari itu, dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang luar biasa, dia telah diam-diam menciptakan serangkaian pencapaian luar biasa untuk Nadia, yang kini dianggap sebagai keajaiban bisnis.
Semua yang dimiliki Nadia saat ini—status, pengaruh, dan proyek-proyek besar—semua itu sebenarnya berkat dirinya!
Tanpa dia, Nadia dan ibunya, yang hanya keturunan cabang Keluarga Adinata, tidak mungkin memiliki kedudukan tinggi di keluarga ini. Bahkan, perkembangan Keluarga Adinata yang sekarang pun tidak akan ada tanpa bantuannya.
Namun, setelah semua pengorbanan yang telah dia lakukan, mereka malah mencapnya sebagai pecundang dan menuduhnya tidak berguna?
Hanya demi proyek besar dan impian kehidupan mewah, Nadia tega mengkhianatinya dan memaksanya untuk bercerai?
Seumur hidupnya, Aditya telah menghadapi berbagai badai besar. Tapi satu hal yang tidak pernah dia sangka—wanita yang paling dia cintai justru menusuknya dari belakang seperti ini!
Segala pengorbanannya selama ini terasa sia-sia!
“Aditya,” suara Nadia sedikit melembut. “Aku tahu kata-kataku tadi menyakitimu, tapi ini kenyataan. Sebenarnya, aku sudah lama ingin bercerai darimu. Aku hanya tidak ingin menyakitimu, makanya aku menunda-nunda.”
Dia menarik napas dalam, menatap Aditya dengan ekspresi lelah. “Aku benar-benar sudah capek. Kali ini, anggap saja kamu membantuku—lepaskan aku, oke?”
Setelah meluapkan amarahnya, Nadia kini tampak benar-benar lelah dan muak. Dengan nada dingin, dia berkata, "Jadi, maksudmu sejak kariermu baru saja mulai naik, kamu sudah ingin menceraikanku?"
Suara Aditya bergetar saat mengucapkannya.
"Ya, tepat saat itu." Nadia menjawab tanpa ragu. "Jangan salahkan aku. Aku punya kemampuan luar biasa, sementara kamu dan aku bukan dari dunia yang sama. Kamu tidak pantas untukku. Jadi, ceraikan aku!"
Dia lalu melemparkan surat cerai ke hadapan Aditya sekali lagi.
"Heh…"
Aditya hanya bisa tertawa pahit.
Dia selalu mengira Nadia baru-baru ini mulai berpikir untuk menceraikannya. Tapi ternyata, begitu karier wanita itu sedikit membaik, dia sudah merasa bahwa Aditya hanyalah beban dan ingin menyingkirkannya.
Tidak heran sejak saat itu sikap Nadia menjadi semakin dingin, bahkan mulai menghina dan merendahkannya seperti ibu mertuanya.
Saat ini, untuk pertama kalinya, Aditya menatap Nadia dan merasa dia seperti orang asing.
Sebenarnya, tadi dia sudah hampir mengungkapkan identitas aslinya. Kalau dia melakukannya, Nadia pasti tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkannya.
Tapi, apa gunanya?
Nadia sudah memilih uang dan kekuasaan di atas dirinya. Jika dia harus menggunakan uang untuk mempertahankan pernikahan ini, maka itu sama saja dengan kekalahan.
Sejak awal pernikahan, dia sudah cukup membalas budi pada Nadia. Dan lebih dari itu, selama satu tahun terakhir, dia telah menahan hinaan dan perlakuan buruk dari mereka berdua.
Dia sudah cukup bersabar.
Merasa lelah dan muak, Aditya akhirnya memasang ekspresi tanpa emosi. "Baik. Aku akan tanda tangan."
Dia mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di surat cerai itu tanpa ragu.
"Bagus! Cepat kemasi barang-barangmu dan angkat kaki dari sini! Besok siang kita urus perceraian di kantor catatan sipil!"
Rita berseru gembira. Dia bahkan mengangkat surat cerai itu sambil tersenyum puas, lalu menambahkan dengan nada mengancam, "Jangan lupa, sesuai perjanjian, kamu keluar tanpa membawa apa pun! Jangan coba-coba meminta uang sepeser pun dari kami. Kami punya banyak cara untuk menghadapimu kalau kamu macam-macam!"
Namun, di saat yang sama, meski sejak tadi bersikeras ingin bercerai, Nadia tiba-tiba merasa kehilangan. Dia tidak tahu kenapa, tapi melihat Aditya benar-benar menandatangani surat itu, hatinya terasa sedikit kosong.
Aditya tertawa sinis, penuh kepedihan. Dengan tatapan tajam, dia menatap Nadia dan berkata, "Kalian punya apa, sih, sampai aku harus menginginkannya? Aku tidak butuh apa pun dari kalian. Aku akan pergi sekarang juga!"
Lalu, dia menatap Nadia dengan ekspresi rumit. "Aku hanya berharap, keputusanmu ini… tidak akan pernah kamu sesali."
"Aku tidak akan menyesal. Percayalah!"
Nadia menjawab dengan penuh keyakinan.
Baginya, Aditya sudah tidak ada artinya lagi. Sebagai seorang pria, apakah itu saja yang bisa dia katakan di saat seperti ini?
Betapa pengecutnya dia!
Nadia sama sekali tidak percaya bahwa dia akan menyesali keputusannya. Nenek Adinata sudah menjanjikan proyek besar kepadanya, yang bisa menghasilkan miliaran rupiah.
Setelah meninggalkan Aditya, dia yakin hidupnya akan semakin baik. Tidak perlu lagi tinggal di rumah kecil ini—dia bisa membeli vila mewah yang selama ini dia impikan.
"Heh, dasar sampah yang bahkan lebih rendah dari seekor anjing! Sok berani, ya? Setelah kamu pergi, hidup kami pasti akan jauh lebih baik!" Rita mencibir sinis. Lalu, seolah ingin mempermalukan Aditya lebih jauh, dia menunjuk ke dua baskom air di lantai. "Kami tidak butuh air bekas ini. Sebelum pergi, habiskan semua air cuci kaki ini!"
Sambil berkata begitu, dia bahkan mengangkat kaki anjing peliharaannya, Bobi, dan mencelupkannya ke dalam baskom.
Nadia berdiri dengan tangan di pinggang, sama sekali tidak berniat menghentikan ibunya.
Melihat semua ini, amarah Aditya akhirnya meledak.
"Minum kepalamu, dasar nenek tua sialan! Sana, kamu saja yang minum!"
Selama ini, Rita lah yang selalu menghasut Nadia, membuatnya semakin congkak dan angkuh. Selama satu tahun pernikahan, Aditya telah menanggung begitu banyak penghinaan. Bahkan ketika mereka sudah bercerai, wanita tua ini masih ingin mempermalukannya?
Aditya tidak akan diam saja kali ini!
Tanpa basa-basi, dia langsung mengangkat baskom dan dengan cepat menyiramkan seluruh air cuci kaki itu ke kepala Rita!
"Aaaahhh!!!"
Air kotor itu langsung membasahi kepala Rita dan anjingnya Bobi, membuat mereka berdua basah kuyup.
Rita langsung histeris, hendak membuka mulut untuk memaki habis-habisan—tapi dia terhenti.
Sebab, saat itu, Aditya menatap mereka dengan tatapan dingin yang penuh wibawa. Aura yang ia pancarkan bukan lagi aura pria biasa yang bisa dihina sesuka hati.
Dalam sekejap, Rita dan Bobi membeku ketakutan. Bahkan Nadia pun tak bisa berkata-kata.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Aditya yang selama ini mereka anggap pecundang, tiba-tiba bisa menampakkan aura seperti ini.
Seakan-akan, selama ini mereka tidak pernah benar-benar mengenalnya.
Namun, Aditya hanya menatap Nadia dengan ekspresi asing.
Dia masih mengingat semua kenangan indah mereka dulu—saat mereka masih saling mencintai. Tapi kini, melihat Nadia hanya diam dan membiarkan ibunya memperlakukannya seperti sampah, dia menyadari sesuatu.
Wanita yang dulu dia cintai… kini benar-benar telah berubah.
Menghela napas panjang, Aditya berbalik dan tanpa ragu, ia mengambil motornya, lalu meninggalkan rumah Keluarga Adinata tanpa melihat ke belakang.