

Bab 1. Malam Berdarah di Milan
Milan, Italia.
Udara malam di Milan, terasa dingin menusuk tulang. Langitnya masih hitam pekat, menyisakan jalanan berbatu yang masih basah oleh sisa air hujan yang baru saja reda.
Alessandro Moretti, seorang pria yang memilih tinggal di dekat hutan, tangannya terlihat lincah ketika memilih bunga di sebuah toko kecil pinggir jalan. Setelah itu ia bergegas pulang.
Langkah kaki Alessandro Moretti bergema di gang sempit Milan, yang basah oleh hujan sore tadi.
Sementara itu tangannya menggenggam setangkai mawar putih, hadiah sederhana untuk Isabella, istrinya yang setia menunggu di rumah.
Sejenak, ia membiarkan senyum tipis tersungging di wajahnya.
'Setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan, malam ini pasti akan terasa begitu tenang.' Pikirnya sambil terus melangkah menuju ke arah rumahnya.
Namun ketenangan itu pecah dalam sekejap.
Dari bayangan gedung tua, empat pria seketika muncul, menghalangi jalannya.
Wajah mereka terlihat bengis, penuh luka lama, dan tatapan mereka jelas mengincarnya.
Alessandro berhenti, tubuhnya berubah menegang. Naluri lamanya sebagaimana naluri seorang pembunuh bayaran langsung terbangun.
Ia meletakkan mawar itu perlahan ke tanah yang masih basah.
“Apa yang kalian mau?” tanyanya datar.
Ia tidak menunjukkan sikap ketakutan, layaknya manusia biasa lainnya. Alessandro masih tenang.
Seorang pria bertubuh besar yang merupakan salah satu dari mereka menyeringai, padahal ia tahu kalau sedang ditatap seram oleh sorot mata yang menakutkan di hadapannya.
“Moretti ... kau Sang King of Killer. Legenda yang memilih jadi pria rumahan. Bos kami tidak suka melihat kau hidup bahagia.”
Pisau dan tongkat besi di genggamannya seketika terangkat.
Mereka langsung menyerbu serentak.
Membuat Alessandro reflek bergerak sebelum isi kepalanya sempat berpikir.
Tinju kanannya menghantam rahang lawan pertama hingga terdengar suara keras.
KRAK!
"Aduh!" Lawannya mengaduh setengah mengeram kesakitan.
Mengerikan. Ia menunduk, menghindari ayunan tongkat besi di genggaman lawan, lalu menendang keras perut pria lain hingga tubuh itu terhempas ke dinding bata.
BRUK!
Namun jumlah mereka tak seimbang. Pisau menggores lengan Alessandro, membuat darah segar mengalir seketika.
Ia meringis, tapi tubuhnya masih terus melawan tanpa henti.
Setiap gerakan, setiap serangan, adalah bayangan dari siapa dirinya dulu. Seolah menggambarkan ia yang dingin, cepat, dan mematikan kembali beraksi.
Tiga pria sudah terkapar, satu masih berdiri dengan napas tersengal. Alih-alih lari, pria itu justru mengeluarkan pistol dari balik jaket kulitnya. Senyumnya getir dan menyeramkan.
“Kami hanya pembuka jalan, Moretti. Yang sebenarnya sudah menunggumu di rumah.”
Mendengarnya, mata Alessandro terbelalak bercampur embun. Ia tahu benar dengan apa maksud dari pria asing di hadapannya.
Jantung Alessandro terhenti seketika.
Lalu menit kemudian, ia kembali bereaksi tanpa berpikir, dengan gerakan cepat langsung melompat, merebut pistol, memelintir tangan pria itu hingga terdengar suara seperti tulang patah.
Akhirnya, suara dentuman senjata meledak, memecah kaca jendela toko terdekat. Tubuh pria itu jatuh tak bernyawa.
Alessandro tak menoleh lagi. Ia berlari secepat mungkin, meski darah menetes dari lengannya, detak jantungnya bahkan kini berpacu dengan waktu. Hanya ada satu pikiran di kepalanya, Isabella.
***
Rumah itu tampak sunyi saat ia tiba. Pintu kayu terbuka setengah, matanya melihat pintu bergoyang diterpa angin malam.
“Isabella!” panggilnya keras lengkap dengan guratan cemas di wajahnya.
Tidak ada jawaban.
"Isabella," ulangnya dengan napas yang masih terengah, dan suaranya yang semakin berubah serak karena menahan sakit.
Langkahnya terus bergerak hingga masuk, dan Alessandro terhenti. Ruang tamu terlihat berantakan. Vas bunga hancur di lantai, beberapa kursi terjungkal, dan aroma cairan merah kental amis bercampur samar menusuk hidungnya.
Tangannya gemetar ketika ia menelusuri setiap ruangan. Kamar kosong tetapi dalam kondisi porak poranda. Dapur berantakan. Hanya ada jejak sepatu asing di lantai kayu.
Di meja makan, sebuah amplop hitam menunggu, disegel dengan lambang keluarga mafia Lombardia. Alessandro merobeknya dengan kasar.
Satu kalimat, ditulis dengan tinta merah.
"Legenda tidak berhak bahagia. Kami mengambilnya darimu."
Napas Alessandro tercekat.
Ia berlari ke belakang rumah, ke gudang kecil yang pintunya terbuka lebar. Dan di sanalah ia menemukannya.
Tubuh Isabella terduduk lemah di kursi, kedua tangannya terikat, darah menodai gaun tidurnya. Matanya terpejam, wajahnya pucat.
“Isabella...,” suara Alessandro pecah.
Lututnya goyah, tubuhnya jatuh berlutut di ambang pintu.
Tangannya bahkan belum sempat menggenggam jemari Isabella yang mungkin mulai dingin. Bahkan air matanya masih mengalir, bercampur dengan darah di lantai.
Namun, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki berdentum. Terdengar mendekat dan semakin cepat.
Napas Alessandro pun kian memburu. Jantungnya berdegup kencang. Matanya nyalang menatap sekeliling. Seolah sedang memperhatikan sesuatu besar akan datang.
Lalu, seorang pria yang di beberapa bagian tubuhnya dipenuhi oleh tato, langsung membuka ikatan di tangan Isabella, beberapa orang lainnya datang menyusul dari arah lain.
Alessandro langsung bangkit, tetapi ia kalah cepat, sebagian orang langsung mengangkat tubuh lemah Isabella dan membawanya pergi.
Dan sebagian lagi langsung mengeroyok Alessandro Moretti dengan brutal. Membuat pria yang diserang dadakan itu akhirnya tumbang juga.
Tubuhnya terkapar dihiasi bulir bening yang kian mengalir deras membanjiri pipi bercampur cairan kental merah yang amis.
"Isabella," rengeknya dengan suara dingin yang nyaris tak terdengar.
Dunia yang ia bangun dengan susah payah, rumah yang ia pikir aman, hancur hanya dalam satu malam.
Di dalam dadanya, sesuatu yang sudah lama ia kubur kini bangkit kembali. Api. Amarah. Kebencian.
Monster yang dulu dijuluki King of Killer itu akhirnya dipaksa kembali.
“Aku bersumpah, Isabella ... aku akan menumpahkan darah mereka. Semua.”
Malam itu, lahir kembali legenda yang pernah ditakuti di seluruh Eropa. Bukan lagi demi uang, bukan demi nama—tapi demi cinta yang direnggut dengan kejam.