"Data yang aku minta tentang dia, apa sudah ada?” tanya seseorang yang merupakan putra dari mandor bangunan, tangannya menunjuk pada sosok pria yang sedang mengangkat bata.
“Ini, Bos! Hanya anak yatim piatu, namanya Yiran Aditya Pratama, dia tinggal di mes perusahaan.”
“Yiran Aditya Pratama?” Pria muda itu bertanya sembari mengangkat alisnya. “Tidak mungkin dia putra sulung dari keluarga Pratama ‘kan?”
“Ah, tentu saja bukan! Nama Pratama begitu lumrah, tidak mungkin orang yang sama. Aku sudah menyelidikinya dengan jelas, tidak ada identitas yang spesial darinya.”
“Baguslah! Awasi dia, kalau bisa berikan dia pekerjaan yang sangat berat. Masalah ayahku, biar jadi urusanku! Kamu cukup menyiksa pria bernama Yiran itu!”
“Baik, Bos!”
Diego cukup bangga dengan dirinya yang seorang anak mandor, hanya karena dia mendapati Yiran berbicara dengan kekasihnya tempo hari, dia langsung ingin menghancurkannya.
“Yiran! Kamu gak becus kerja?! Daritadi aku lihat kamu tidak selesai-selesai mengangkat bata itu, kalau tidak sanggup, lebih baik keluar saja dari pekerjaan ini.”
“Sa … saya──”
“Ah, sudahlah! Pecundang tetap saja pecundang, bahkan pekerjaan sepele seperti ini saja lamban!” Belum sempat Yiran menjawab, asisten mandor kembali melayangkan tuduhan.
“Makan! Ayo makan!” Suara teriakan dari beberapa buruh membuat asisten mandor itu melihat jam di tangannya. “Sudah waktunya makan rupanya!”
Yiran meletakkan bata di tangannya, berniat untuk ikut makan siang bersama yang lainnya.
“Eh, kamu mau apa?” tegur pria itu lagi.
“Siapa yang menyuruhmu berhenti kerja, ini masih banyak, itu juga, dan yang ini semua harus kamu bereskan! Kalau tidak, jangan salahkan gaji bulanan kamu kami potong!”
“Tapi … saya juga harus makan siang, Pak! Saya butuh tenaga untuk melakukan semua pekerjaan ini, saya──” Yiran ingin mengatakan bahwa pagi tadi dia juga tidak sarapan, tapi ucapan itu hanya tertahan di kerongkongan. Yiran tahu, apapun penjelasan dia hari ini, tidak akan ada gunanya.
Dia menceloskan tubuhnya, tenaganya sudah habis, bahkan untuk melakukan pembelaan saja rasanya tidak sanggup. Dia hanya diam sembari mengepalkan tangannya, lalu membiarkan pria di depannya pergi.
Tiba-tiba saja seorang pria paruh baya berlari kecil menghampirinya, tentu saja dengan mengendap-endap agar tidak ada yang tahu.
“Yiran, ini makananmu! Aku sudah ambilkan, kamu makanlah di sudut, aku tahu kamu lapar.” Pria paruh baya itu memberikan sebungkus nasi pada Yiran, dia tahu ini salah, bahkan jika ketahuan, pekerjaannya juga akan hilang. Tapi baginya Yiran adalah anak, dia memperhatikan Yiran sama seperti anaknya.
“Tapi, Pak. Kalau ketahuan, Bapak bisa dipecat.”
“Dibanding pekerjaan saya, kamu jauh lebih membutuhkan makanan ini, Yiran. Terimalah!”
Yiran juga tidak ingin mempersulit bapak itu, jika kelamaan berdebat, mereka akan lebih ketahuan. Yiran menerima bungkusan itu, bergegas pergi untuk makan.
Tubuh Yiran yang tinggi tegap, wajah yang tampan dan kulit yang putih, sangat kontras dengan pakaian penuh debu pasir bercampur semen. Dia duduk di pinggir sungai, lumayan jauh dari tempatnya bekerja, tentu agar tidak ketahuan dari siapapun yang tidak suka padanya.
Tanpa Yiran sadari, seseorang bari balik kaca mobil memperhatikan sosoknya. Hati orang itu sedikit terenyuh melihat sosok yang seharusnya tidak berada di tempat ini dengan pakaian yang bisa dikatakan ‘gembel’.
“Yiran!” bisiknya di dalam hati, dia tidak tahu apa kedatangannya kali ini akan membuahkan hasil atau tidak.
Tapi wanita itu hanya terus duduk di dalam mobil, tanpa berniat untuk menghampiri dan menyapa Yiran.
“Yiran! Darimana saja kamu, apa pekerjaan kamu sudah selesai?” Pria yang merupakan asisten mandor tadi tersenyum dingin dan bersiap untuk menahan bahu Yiran.
Yiran sudah bekerja di sini selama 2 tahun dan benar-benar merupakan kuli bangunan yang tidak berguna. Dalam waktu 2 tahun dia bekerja dengan hati-hati, bahkan jika dia diejek dan diperlakukan dengan dingin, dia juga akan menahannya.
Barangkali jika dia tidak memutuskan pergi dari rumah, atau masih menyandang nama Pratama mungkin hidupnya tidak seburuk ini.
“Saya habis mengambil air, Pak!” jelas Yiran.
Plaaakkk!!
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di wajahnya yang tampan, iya benar, jika bukan karena debu dan kotoran semen yang menempel di wajahnya, Yiran adalah pria yang ketampanannya di atas rata-rata. Sayangnya wajah itu kini kotor dan tak berdaya.
“Kenapa Bapak menampar saya?” ujar Yiran dengan wajah kebingungan bercampur kesal.
“Kamu lihat itu! Aku sudah bilang jangan makan atau istirahat dulu, sekarang bata-bata itu hancur sebelum kamu pindahkan. Berapa kerugian yang harus kita tanggung? Jika mandor tahu, kamu pasti akan dipecat!” Pria itu berkata dengan garang, ucapannya itu bahkan tidak berharap Yiran akan menyelanya.
“Tidak! Tidak mungkin! Bata ini tidak akan hancur jika tidak ada tangan jahil yang menghancurkannya!” Yiran berusaha berkata dengan sedikit logika.
“Yiran, jadi kamu menuduh kami? Kami semua bahkan baru saja selesai makan, sedangkan hanya ada kamu di lokasi ini.” Seseorang berkata membantah.
“Iya betul, Yiran! Bagaimana bisa kamu ingin melimpahkan semua ini pada kami.” Yang lain ikut menambahkan, seolah tidak ada ruang untuk Yiran membela dirinya.
Yiran menggusar rambutnya ke belakang, hidupnya belakangan ini sangat sulit dan melelahkan. Jika dia bertahan hidup di keluarga Pratama, mungkin proyek ini adalah miliknya, bukan kuli seperti saat ini.
Namun ego dan kemarahannya pada sang ayah telah membutakan hatinya untuk pergi, dan dia tidak berharap untuk kembali lagi.
Plok! Plok! Plok!
Suara tepuk tangan menggema dari lorong bangunan yang belum sepenuhnya selesai.
Diego berjalan mendekat dengan dokumen di tangannya, Diego adalah anak mandor, kadang-kadang suaranya adalah perwakilan dari mandor, semua kuli di sini menghormatinya layaknya seorang tuan muda.
“Yiran, ayahku telah menandatangi surat pemecatan ini! Aku sudah menceritakan semua kejadian hari ini, dan ini dianggap kelalaian kerja. Dan kamu, D-I-P-E-C-A-T!”
“Tidak mungkin! Aku ingin bertemu dengan mandor, beliau orang yang sangat realistis dan masuk akal. Beliau tidak mungkin memecat orang tanpa alasan yang jelas!” ujar Yiran.
“Tanpa alasan? Ribuan bata yang hancur ini kamu bilang bukan alasan? Apa masih ada alasan yang lebih masuk akal dari ini?”
Yiran terdiam, di tempat ini tidak ada CCTV, bahkan orang yang terakhir berada di lokasi ini adalah memang dirinya. Tidak ada yang bisa membelanya di sini, juga tidak akan ada yang percaya.
“Tenang saja, masih ada pilihan lain,” ucap Diego dengan senyum licik.
“Kamu bisa tetap bekerja, namun dengan biaya ganti rugi sebesar 500 juta!”
“Apa 500 juta?” Tidak hanya Yiran, yang lain juga ikut membelalak.
Uang 500 juta bagi kuli bangunan seperti mereka, bahkan jika bekerja setahun penuh tanpa upah juga tidak bisa menutupinya.
“500 juta, dibayar tunai!” Seorang wanita tiba-tiba muncul diantara kerumunan pekerja.