Namaku Bara. Pendek, padat, dan katanya, panas. Kayak nama anak dari tukang sate. Tapi aku bukan anak tukang sate. Aku anak dari Babeh — preman pensiun yang katanya udah tobat tapi kalau ngomong masih kayak tokoh utama di film silat.
Rumahku di ujung gang sempit yang cuma cukup buat motor lewat sambil miring. Warna rumahku hijau daun ketemu debu, dan kalau malam suka ada tikus loncat dari atap ke lantai kayak ninja yang gagal mendarat.
Setiap pagi, rumah kami bangun bukan karena ayam, tapi karena suara Ibu yang teriak dari dapur, “Bara! Udah jam enam! Kalau kamu belum bangun juga, Ibu kirim truk pemadam kebakaran!”
Itu bukan ancaman. Itu doa yang tak pernah dikabulkan.
Pagi ini, seperti biasa, aku pura-pura mati. Guling ke kiri, ke kanan, tarik selimut sampai kuping, sambil berharap suara Ibu itu cuma mimpi.
Sayangnya, yang datang bukan truk, tapi sandal jepit. Dilempar dari pintu dapur, mendarat tepat di punggungku.
“Aw!” jeritku, bangun setengah sadar. “Ibu! Itu kekerasan terhadap anak di bawah umur!”
“Iya, biar sadar!” bentak Ibu sambil balik ke dapur.
Aku berdiri malas. Lantai rumah masih dingin. Kipas angin di ruang tengah berdengung kayak dengkul sepeda tua. Adikku, Rima — anak paling rajin di rumah — udah duduk manis sambil nyuapin nasi goreng ke mulutnya sendiri sambil ngaji. Iya, nyuap sambil ngaji. Setiap ‘ain' dilafalkan sambil ngunyah. Kayak ulama kecil yang multitasking.
“Aku telat ya, Rim?” tanyaku, pura-pura peduli.
“Banget. Aku udah hafal dua ayat, kamu masih ngupil,” jawabnya santai.
Aku nyengir dan masuk kamar mandi. Tapi belum sempat buka kran, Babeh teriak dari ruang tengah, “Jangan kelamaan! Air di dunia nggak buat kamu mandi sendirian!”
Babeh itu galaknya bukan main. Tapi anehnya, dia yang selalu bangga bilang aku “anak lanang paling cerdas se-RT.” Kadang sambil pamerin raporku ke warung kopi. Tapi kalau aku bikin ulah, beliau juga yang ngomel pertama. Lalu diam. Lalu peluk diam-diam.
Kamar mandi rumah kami kecil. Kalau berdiri terlalu tegak, kepala kena shower. Kalau jongkok, lutut mentok ember. Tapi tempat itu tempat damai buatku. Di sana, aku bisa berpikir. Tentang soal matematika, tentang kenapa nasi goreng selalu lebih enak pakai telur mata sapi, dan kenapa kadang Ibu keliatan sedih pas cuci piring malam-malam.
Pagi itu, pas aku lagi ngucek sabun di kepala, tiba-tiba suara Ibu terdengar dari luar pintu, “Bara! Seragammu masih di jemuran!”
“Loh, katanya udah disetrika semalam?”
“Itu seragam minggu lalu!”
“Astaga...” gumamku. Rasanya aku pengen jadi gelembung sabun dan hilang dari dunia nyata.
Keluar dari kamar mandi dengan rambut masih netes, aku pakai handuk sambil lari ke jemuran. Udara pagi dingin, angin nyelekit, dan tetangga-tetangga mulai keluar rumah. Ada yang nyapu, ada yang ngulet, dan ada yang ngeliatin aku dari pagar sambil ketawa.
“Lho, Bara! Udah kayak model iklan sabun!” kata Bu Mirah, pemilik warung.
“Bu, jangan mulai,” kataku sambil narik seragam dan lari balik ke dalam.
Ibu cuma geleng-geleng. “Anak siapa ini...”
Aku pengen jawab, “Anak yang bikin rumah ini nggak pernah sepi.”
Tapi aku diam saja. Karena aku tahu, seberapa banyak pun Ibu teriak atau Babeh ngomel, rumah ini akan sepi... kalau nggak ada aku.
---
Waktu sarapan, rumah kami berubah jadi pasar malam yang pindah shift ke pagi hari. Ada suara sendok nabrak piring, suara radio tua muter dangdut lawas, dan suara Rima yang nyanyi nggak jelas sambil rebutan kecap sama Ibu.
Aku duduk di kursi plastik yang sudah nggak punya satu kaki asli pun. Kaki-kakinya diganjal balok kayu, satu-satunya hasil pertukangan Babeh yang nggak gagal. Di depan piringku, nasi goreng setengah gosong dengan sosis potong miring-miring. Ibu selalu bilang: “Rasa itu urusan belakangan. Yang penting kenyang!”
Aku mulai makan, tapi mataku nyari sesuatu.
“Bu, buku tugas matematikaku mana?”
Ibu noleh dari kompor, alis naik. “Bukumu bukan tanggung jawab Ibu. Coba tanya ke tempat tidurmu yang udah mirip kapal pecah itu!”
Aku ngelirik ke kamar. Aduh, iya juga sih. Di sana, buku bisa hilang, nyelip di balik celana, atau bahkan dipakai ganjel jendela kalau angin ribut. Pernah suatu kali, aku nemu buku PR di kulkas. Sampai sekarang aku curiga Rima yang naruh buat iseng.
“Rim, kamu lihat buku kakak?” tanyaku.
Rima angkat bahu, mulutnya penuh dengan nasi goreng. “Nggak. Tapi kamu kemarin kayaknya tidur sambil peluk buku, deh. Aneh banget. Kayak pacaran sama soal cerita.”
“Pacaran sama soal cerita?” Aku ngedengus. “Cinta itu rumit, Rim. Sama kayak aljabar.”
Ibu ketawa dari dapur. “Cinta apa, Bara? Urus aja dulu kancing bajumu tuh masih belum dikancingin!”
Aku langsung cek. Benar saja. Baju sekolahku kebalik. Kerahnya miring, dan kancing atas nyangkut di lubang ketiga. Rima udah ngakak sambil nunjuk-nunjuk.
“Gaya baru!” seruku sambil ngancing ulang. “Namanya ‘Gaya Pelajar Setengah Waras.’”
Rima langsung terpingkal. Bahkan Babeh yang baru keluar dari kamar sambil nyisir rambut pun ikut senyum kecil.
“Bara,” katanya sambil berdiri di depan cermin kecil di ruang tamu. “Gaya boleh nyeleneh, tapi kepala jangan kosong. Ingat, preman boleh pensiun, tapi otak harus jalan terus.”
Aku nggak ngerti betul maksudnya. Tapi aku mengangguk saja. Kata-kata Babeh kadang kayak teka-teki silang. Bikin mikir, bikin pengin nyontek jawabannya ke masa depan.
Ibu menyodorkan uang jajan sambil kasih nasihat khas emak-emak Indonesia: “Jangan jajan sembarangan. Jangan pukul anak orang. Jangan bikin Ibu dipanggil sekolah lagi. Dan jangan... lupa salat.”
Aku ambil uang itu, masukin ke kantong celana yang robek sedikit di pinggir. Tapi yang terakhir itu—tentang salat—selalu bikin aku diem sebentar. Soalnya, meskipun rumah kami ribut dan kelihatannya semrawut, setiap malam, Ibu nggak pernah bolong salat. Dan Babeh, seberingas apapun dulunya, selalu ngajak kami tarawih kalau bulan puasa datang. Ada sisi lembut di rumah ini yang cuma muncul pas semua orang udah lelah berisik.
Aku berdiri, siap berangkat. Ransel di punggung, rambut masih basah dikit, sepatu belum dijilatin semut karena saking dekilnya.
Pas buka pintu, angin pagi nyambut wajahku. Langit cerah. Tapi aku tahu, dunia di luar sana nggak akan secerah itu. Sekolah nggak pernah semudah yang dikira. Ada guru, ada teman, ada musuh, ada peraturan dan ada Bara, anak kecil yang bisa ranking satu sekaligus bikin ruang BK jadi tempat paling rame di jam istirahat.
“Tunggu!” seru Ibu dari dalam rumah.
Aku berbalik. Ibu berdiri sambil bawa sisir. “Sini. Rambutmu belum rapi.”
Aku maju pelan. Ibu mulai nyisir rambutku sambil narik pelan-pelan bagian yang kusut. Rasanya geli. Tapi juga... aneh. Anget.
“Rambut boleh kusut,” bisik Ibu. “Tapi jalanmu jangan.”
Aku diem. Nggak ngerti. Tapi lagi-lagi aku cuma bisa angguk. Karena sering kali, yang paling penting itu bukan ngerti... tapi ngerasa.
Lalu aku pun melangkah keluar. Pagi baru dimulai. Sekolah menunggu. Dan aku? Aku siap bikin satu hari lagi... nggak pernah sepi.
---
Langkahku menyusuri gang sempit, ngelewatin jemuran orang, suara TV dari rumah sebelah, dan ibu-ibu yang udah mulai ngobrol sambil nyapu. Aku senyum ke Bu Tini, tukang sayur yang selalu naruh sandal anak-anak di rak warungnya.
“Eh, Bara. Hari ini siapa yang kamu tonjok lagi?” tanyanya sambil ketawa.
“Belum tahu, Bu. Saya lihat dulu daftar pemanasan pagi,” jawabku.
Dia ketawa. Aku juga. Tapi sejujurnya, aku bukan anak yang bangun tidur terus pengen mukul orang. Aku cuma... gampang meledak. Apalagi kalau ada yang ganggu temanku, atau nyeleneh banget ngajak debat soal jawaban ujian. Kayak kemarin, pas Dimas ngotot kalau 8 dibagi 2 hasilnya 16 karena “katanya guru les-nya gitu.”
Huff.
Sekolah nggak jauh. Cuma lima belas menit jalan kaki, atau tujuh menit kalau aku lari ngejar waktu. Tapi pagi ini aku sengaja pelan. Biar sempat nyium bau tahu goreng dari warung Pak Asep dan liat Rima dari jauh yang barengan rombongan TK sambil bawa tas lebih besar dari punggungnya.
Kadang aku mikir, kalau rumah adalah pusat gempa, sekolah itu epicentrumnya. Di sana, semua reputasi terbentuk. Dan sayangnya, reputasiku… yah, nggak gampang dijelaskan.
Begitu sampai gerbang sekolah, Pak Satpam langsung angkat alis. “Bara... sehat?”
“Sehat, Pak. Hari ini saya datang bukan buat ribut, kok.”
“Bagus. Tapi ingat, kemarin juga kamu bilang gitu. Lima menit kemudian, papan catur beterbangan.”
Aku nyengir.
Lonceng belum bunyi, tapi lapangan udah rame. Ada yang main bola, ada yang duduk ngerjain PR, dan ada juga yang cuma berdiri nunggu alasan buat nyamperin kantin lebih awal. Aku langsung menuju kelas, tapi baru dua langkah, suara familiar bikin langkahku berhenti.
“Bara! Nih, penghapus gue!”
Aku noleh. Dimas. Dengan wajah kesal dan tangan yang megang penghapus warna biru yang dulu sempat hilang.
“Lho, itu kan punya aku dari dulu.”
“Alah, ngaku-ngaku! Tuh ada inisial ‘D’ kecil di ujungnya!”
Aku ambil penghapus itu, liat tulisan ‘D’. Aku diem sebentar, lalu nyengir. “Bisa aja. ‘D’ itu kan buat... ‘Dara’ — mantanku kelas dua.”
Anak-anak di sekitar langsung “Woooo!” sambil ketawa. Dimas makin merah.
“Ah, dasar lo ngeles!”
“Bukan ngeles. Namanya improvisasi,” jawabku sambil masuk kelas.
Di dalam kelas, suasana belum serius. Kursi belum penuh. Suara kipas langit-langit menderu, sesekali batuk. Aku taruh tas di bangku paling belakang, kursi andalan. Dari situ aku bisa lihat semuanya: siapa yang nyontek, siapa yang ngupil diam-diam, dan siapa yang diam tapi dalam hatinya ribut kayak aku.
Duduk di sana, aku iseng buka buku matematika. Lembarannya lecek, tapi isi jawabanku rapi. Angka-angka ditulis lurus. Karena kalau satu hal yang bisa bikin aku tenang, itu adalah rumus. Rumus selalu punya jawaban. Selalu ada logika. Nggak kayak hidup yang kadang bikin kepala miring ke kanan tapi hati miring ke kiri.
“Bara,” suara pelan dari samping.
Aku nengok. Ternyata Ani. Teman sebangku. Anak paling pendiam yang hobinya gambar bunga dan langit.
“Kenapa, Ni?”
“Kalau... kalau kamu nggak sibuk nanti istirahat... bisa bantuin aku ngerjain soal ini?”
Dia sodorin kertas. Aku ambil, lihat sebentar, lalu angguk. “Bisa. Tapi kamu harus traktir aku donat kantin.”
Dia ketawa kecil. “Oke, yang gula halus ya.”
Aku senyum. Diam-diam, bagian kecil dari hatiku ngerasa hangat. Bukan karena donat. Tapi karena ada orang yang, di tengah semua label tentangku, masih lihat aku sebagai anak yang bisa bantu.
Lonceng akhirnya bunyi. Teriakan anak-anak mulai pecah. Guru belum masuk. Dan aku? Aku duduk, lihat keluar jendela, sambil mikir:
Rumah itu ribut, tapi hangat.
Sekolah itu keras, tapi seru.
Dan hidup... yah, meskipun sering bikin bingung, selama aku punya tempat untuk pulang dan tempat untuk duduk kayak ini mungkin, semuanya nggak seburuk yang dibilang.
Hari baru dimulai. Dan Bara, anak dari rumah yang tak pernah sepi... siap bikin hidup tetap berisik, tapi bermakna.