SMA Nusantara, Kabupaten Konawe, Kelas X-18.
Di depan kelas, seorang guru wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai hitam sedang mengajar bahasa Inggris. Suaranya melantunkan kata-kata dalam bahasa asing itu seperti nyanyian lembut yang membuat para siswa mengantuk.
Di sudut barisan paling belakang, seorang pemuda berambut pendek dengan wajah sedikit kusut tertidur di atas mejanya.
Namanya Gevin, enam belas tahun tahun ini.
Gevin merasa seperti terjebak dalam mimpi panjang.
Dalam mimpinya, ia diterima di SMA negeri terbaik di kotanya, bukan di sekolah swasta mahal ini, tempat nilai lebih ditentukan oleh angka di rekening bank daripada prestasi.
Dalam mimpinya, kedua orang tuanya bangga akan dirinya, dan para tetangga menyebutnya "anak teladan" dengan nada penuh pujian.
Dalam mimpinya, teman-teman sekelasnya tak lagi dingin dan acuh, tapi tersenyum hangat seperti bunga yang baru mekar.
Namun, di tengah mimpi itu, tiba-tiba suara elektronik keras meledak di kepalanya, menyapu semua bayangan manis itu dalam sekejap.
"Menemukan target... terhubung ke host... Sistem Penguatan Tingkat Dewa berhasil diaktifkan."
Siapa yang berbicara?
Apa itu Sistem Penguatan Tingkat Dewa?
Guru bahasa Inggris di depan kelas mengerutkan kening, menatap tajam ke arah pemuda yang tertidur di barisan belakang. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan yang jelas.
Gevin, siswa yang terkenal sering tertidur di kelas atau asyik membaca novel saat pelajaran berlangsung, adalah salah satu murid yang paling membuatnya frustrasi. Prestasinya di ujian masuk pun hanya cukup untuk sekadar lulus, membuatnya jauh dari gambaran "murid teladan.”
Yang paling membuat sang guru kesal adalah fakta bahwa Gevin ditempatkan satu meja dengan putrinya yang cantik. Sebagai wali kelas, ia sengaja memasangkan putrinya dengan siswa "bermasalah" seperti Gevin, berharap ada perubahan positif.
Namun, putrinya sering mengeluh. Berkali-kali, ia mengatakan bahwa Gevin selalu menatapnya, membuatnya sulit berkonsentrasi dalam belajar.
Mengingat keluhan ini, sang guru tiba-tiba menghentikan penjelasannya. Dengan cepat, kapur di tangannya melesat ke arah Gevin, tepat mengenai kepalanya.
Kapur itu pecah, menyisakan serpihan putih di rambut Gevin, yang masih setengah terlelap.
Seluruh kelas terkejut melihatnya, perhatian mereka langsung tertuju pada Gevin yang kini menjadi pusat perhatian.
"Siapa yang memukulku?"
Gevin tersentak bangun dari tidurnya. Rasa nyeri di kepalanya membuatnya langsung berdiri, menarik perhatian seluruh kelas.
"Puahaha....."
Tawa meledak dari siswa-siswa di sekitarnya.
Terutama Laras, gadis cantik dengan wajah oval sempurna yang duduk di meja yang sama dengannya, melemparkan pandangan penuh jijik, seolah berharap bisa duduk sejauh mungkin darinya.
Gevin akhirnya sepenuhnya tersadar.
Ah... tidak ada 'sistem' atau suara misterius. Itu hanya mimpi.
Hari ini adalah minggu kedua kehidupannya di SMA, dan dia baru saja terbangun di tengah pelajaran bahasa Inggris.
Gevin mengangkat kepalanya, menatap ke arah podium. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit kekhawatiran.
Di depan kelas, berdiri seorang wanita paruh baya dengan ekspresi tegas. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, guru bahasa Inggris ini tetap bersikeras dipanggil "Nona Sari" oleh murid-muridnya, seolah-olah ingin melawan waktu.
Nona Sari mengetuk papan tulis dengan keras dan menyeringai, "Gevin, apakah tidurnya nyenyak? Coba terjemahkan kalimat ini. Kalau tidak bisa, hukumannya seratus kali menyalin!"
Gevin menahan umpatan dalam hatinya. Bibi menopause ini pasti sengaja mempermalukannya di depan kelas!
Bahkan tanpa melihat soal itu, Gevin tahu bahwa kalimat yang dimaksud pasti dari bab berikutnya, sesuatu yang jelas belum dipelajari siswa sepertinya. Namun, kali ini ia tak bisa mengelak. Sudah tertangkap basah, mau tak mau ia harus mencoba.
Jika perilakunya terus memburuk, orang tuanya pasti akan dipanggil.
Dalam keputusasaan, Gevin terpaksa berdiri dan berjalan dengan berat hati menuju papan tulis.
Bisikan-bisikan terdengar dari kelas.
"Aku bahkan tidak mengerti soal ini. Bagaimana bisa orang seperti dia menyelesaikannya?"
"Karena dia pikir dia lebih baik dari yang lain, merasa layak meski tak tahu apa-apa. Malu banget duduk satu meja dengan kita!"
Hampir semua orang di kelas menunggu Gevin gagal dan "jatuh" dalam tugas ini.
Gevin menatap soal bahasa Inggris yang tertera di depan mata, menggertakkan gigi. Ia sudah siap untuk berkata kepada Nona Sari, bahwa soal ini tak mungkin dia kerjakan.
Namun, tepat saat itu, suara yang aneh terdengar kembali dalam benaknya: "Ding! Pemeriksaan kata-kata bahasa Inggris selesai, kemampuan bahasa Inggris +1, kemajuan saat ini: 110, level: pemula."
Mata Gevin melebar seketika. Dia jelas tidak pernah mengucapkan kata itu, namun makna kata tersebut muncul begitu jelas dalam pikirannya.
Perasaan ini seperti memiliki kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang terpasang langsung di otaknya!
"Apa yang terjadi dengan teman sekelasmu, Gevin?" Nona Sari melipat tangannya di dada, menghinanya dengan nada tajam. "Kalau tidak bisa, cepat salin seratus kali! Jangan buang waktu teman-temanmu."
"Sadarilah, satu menit yang kamu sia-siakan setara dengan lima puluh menit waktu yang terbuang dari seluruh kelas!"
"Itu menyebalkan!" Gevin menggerutu, tak bisa menahan kekesalannya.
"Kamu... berani berbicara seperti itu pada guru?" Nona Sari hampir melepaskan kacamatanya. "Baiklah! Mari kita lihat bagaimana kamu mengerjakan soal ini!"
Seluruh kelas terdiam sejenak karena suara keras Gevin. Tak lama, bisikan-bisikan berubah menjadi diskusi yang semakin gaduh.
"Apakah Gevin marah? Sikapnya begitu sombong!"
"Kelakuannya buruk, lihat saja nanti bagaimana akhirnya."
Semua mata tertuju pada Gevin, memperhatikannya dengan penuh perhatian.
Namun, Gevin tetap tenang. Dia menatap kata berikutnya pada papan tulis.
Seperti yang dia duga, suara itu kembali terdengar: "Ding! Pemeriksaan kata-kata bahasa Inggris selesai, kemampuan bahasa Inggris +1 ..."
Gevin melanjutkan, matanya menyapu keseluruhan kalimat dengan cepat.
"Ding! Kemampuan bahasa Inggris +1 ..."
"Ding! Kemampuan bahasa Inggris +1 ..."
"Ding! Kemajuan saat ini: 11100, kemampuan bahasa Inggris meningkat menjadi: mahir."
Saat itu, Gevin merasa seolah-olah dirinya memasuki dunia yang berbeda.
Seperti aliran energi dalam dantian, aliran hangat terasa menyentuh langit.
Kata-kata bahasa Inggris yang sebelumnya sulit kini menjadi begitu mudah dipahami.
Jawaban terjemahan untuk seluruh kalimat itu muncul jelas dalam pikirannya.
Pada saat itulah Gevin benar-benar yakin, sistem yang dulu hanya ada dalam novel ternyata benar-benar datang kepadanya.
Gevin tersenyum percaya diri, mengambil kapur, dan dengan cepat mulai menulis di papan tulis.
Tidak lebih dari sepuluh detik, Gevin telah berhasil menerjemahkan kalimat itu dengan sempurna.
"Bagaimana bisa? Kenapa begitu cepat?!"
"Tidak mungkin! Dia pasti cuma mencorat-coret!"
Para siswa masih terkejut dan tidak bisa mempercayai kemampuan Gevin.
Gevin dengan santai melemparkan kapur ke dalam kotak kapur, menepuk-nepuk debu di tangannya, lalu menatap Nona Sari yang terlihat bingung. Dengan tenang, ia berkata, "Nona Sari, meskipun soal ini terlalu mudah bagiku, ada satu hal yang ingin aku katakan. Tolong jangan repot-repot dengan soal seperti ini lagi di masa depan."
Hanya ada satu kalimat yang ditulis di papan tulis: "Frasa ini jelas perlu diganti dengan participle yang tepat agar lebih akurat."