"Entahlah. Aku tak paham tentang apa yang ada didalam kepalamu. Bisa-bisanya kau menjadikan pemuda tuna sosial dan tuna wisma itu menjadi menantu kita. Apa kau salah minum obat? Aku sekarang bahkan meragukan kewarasanmu." Silvana Wis atau biasa dipanggil Silva mendengus kesal.
Sudah setengah tahun ini Zeno Janeva, atau biasa di panggil Zen, menjadi menantu mereka. Itu semua karena kemauan Roy Deco, suami Silva.
Suatu hal yang menurut Silva tidak wajar, karena status Zen sebagai pemulung miskin, dinikahkan Roy dengan anak sulungnya, Liana Deco.
Roy adalah seorang pengusaha kaya. Keluarga besar Deco juga merupakan keluarga yang terpandang di kota Crex. Tentu saja Silva, yang biasa hidup serba berkemewahan, tidak setuju dengan keputusan yang diambil Roy.
Zen adalah pemuda berusia 24 tahun. Meski wajahnya tampan, kemiskinan dan predikatnya sebagai pemulung tak bisa menyelamatkan harga dirinya. Lia atau Liana, setali tiga uang dengan ibunya, Silva. Ia tak pernah bersedia menikah dengan Zen. Namun karena kalah berdebat dengan ayahnya, Roy, Lia terpaksa menerima pernikahan itu sebagai bentuk ketaatan kepada orangtua. Meski begitu, gadis cantik berusia 22 tahun itu tak pernah sekalipun bersedia di sentuh oleh Zen. Mereka hanya memiliki status sebagai suami istri, hanya status saja, tak lebih dari itu.
Lia memang cantik, berkulit putih, dan memiliki tubuh yang indah. Jika di berikan penilaian 10 sampai 100, maka ia berada di angka 80, lebih dari cukup untuk digilai banyak pria dimana-mana. Setiap ia berada dimanapun, akan selalu menjadi pusat perhatian kaum adam. Berbanding terbalik dengan Zen yang terkesan bagai bumi dan langit saat berjalan bersama Lia. Bukan karena tak tampan, tapi pakaian sederhana dan statusnya sebagai pemulung miskin sudah terlanjur melekat seolah bagai tanda lahir.
Roy menjawab dengan malas, "Sudah berulang kali ku katakan padamu, Silva. Pesan kakek sebelum meninggal harus ku tunaikan. Dan aku yakin, bahkan sangat yakin, bahwa pilihan langkah yang dinasehatkan oleh kakek Deco akan terwujud," bantah pria berumur 50 tahun itu, tak terpengaruh sedikitpun oleh keluhan istrinya, Silva.
Ketika keduanya masih berdebat di momen sarapan pagi mereka, terdengar keributan dari arah tangga. Lia menuruni tangga dengan tergesa. Di belakangnya, Zen ikut melangkah, wajahnya tetap tenang, tak terpengaruh raungan suara Lia yang memekakkan telinga.
"Sudah kubilang padamu berulang kali. Jangan seenaknya masuk kamar mandi tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu." Teriak Lia emosional.
Zen hanya tersenyum kecil, "Apa yang salah? Kamar mandi itu ada di dalam ruang kamar kita. Lagipula kau istriku, bukan?"
Lia tak terima saat mendengar pembelaan Zen, "masuk kamar mandi ada etikanya. Lagipula yang mengakui aku sebagai istrimu hanya ayahku. Tidak dengan aku."
Tiba di depan meja makan, wajah Silva semakin terasa panas saat melihat Lia yang seolah seperti tak nyaman oleh perilaku Zen.
"Heh, pemulung! Setiap hari tak ada habisnya. Kau selalu saja mencari masalah." Bentak Silva membela putri sulungnya, Lia.
"Tidak ada masalah, Ibu. Saya hanya..."
Belum usai Zen menyelesaikan kalimatnya, Silva sudah memotong, "Halaah, sudahlah. Sudah miskin, masih berani membela diri. Dasar tidak punya sopan santun. Lagipula aku bukan ibumu. Gatal kupingku mendengar kau memanggil 'ibu'. Pahami posisimu."
Zen tak melanjutkan. Dia memilih diam tak menanggapi lagi, karena semakin ditanggapi, Silva dan Lia tak akan pernah mau kalah. Pada akhirnya, masih Zen yang tetap dianggap salah.
"Sudah, sudah. Mari kita lanjutkan sarapan ini. Zen, ambil kursi, bergabunglah untuk makan pagi," Roy menengahi dengan bijak.
Tapi hal itu tetap dibantah oleh Silva, "Tidak boleh! Aku tidak sudi makan satu meja dengan pemulung miskin, gelandangan. Bahkan dia tetap tak layak meski makan di dapur bersama para pembantu kita,"
Hati Zen terasa pedih bagai teriris sembilu tatkala mendengarnya. Namun, Zen sudah terbiasa di pandang negatif serta mendapatkan hinaan, dari siapapun. Telinganya sudah tebal, urat malunya sudah putus.
Dengan tatapan dingin, Zen berucap datar, "Tidak perlu, Ayah. Saya sudah terbiasa menahan lapar, bahkan saya pernah 3 hari tidak makan apapun. Tanpa sarapan disini, saya tak akan mati. Permisi." Zen melangkah menuju ke gudang belakang, mengambil karung yang biasa ia bawa saat memulung, kemudian melangkah pergi dengan hanya mengenakan celana kain kumal dan kaos putih tipis yang sudah berubah warna menjadi krem kecoklatan. Itulah pakaian 'dinas' Zen saat menjadi pemulung.
"Kalian berdua benar-benar keterlaluan!" Roy membanting sendoknya ke atas piring, tak menghabiskan sarapan paginya. Roy berangkat ke kantor dengan wajah muram.
---
Zen berjalan kaki menuju stasiun kota Crex, tempat ia biasa memulung sampah. Setelah memulung di stasiun dan memastikan tidak ada lagi yang bisa didapatkan, dia berpindah tempat menuju pusat kebersihan kota yang tak terlalu jauh dari stasiun. Disana adalah surganya pemulung. Tempat penimbunan sampah atau bank sampah yang berasal dari sampah seluruh penghuni kota Crex terkumpul disana.
Tengah asyik memilah sampah, terdengar pemulung lain berlarian menjauh untuk menyelamatkan diri. Zen terlambat bereaksi karena terlalu sibuk memperhatikan beberapa sampah yang ia anggap layak untuk diambil dan dijual ke tukang loak.
Dari arah belakang Zen datang sekelompok pria bertato dengan wajah tak bersahabat.
"Zen, lari!" teriak seorang pemulung lain dari kejauhan.
Saat menoleh, Zen sangat terkejut dan spontan berlari pontang-panting menuju lorong gedung tempat pengolahan sampah. Baru beberapa saat berlari memasuki lorong sempit itu, langkah Zen terhenti. Ia baru ingat bahwa itu adalah lorong buntu, pertemuan tiga gedung yang membentuk ceruk seperti panjang lima kamar tidur yang berjejer.
"Mau kemana lagi kau, pemulung bodoh?" sinis salah satu pria yang merupakan pemimpin dari sekelompok pria bertato yang berhasil mengejar Zen hingga ke lorong itu.
"Masih pagi, Tuan Darko. Saya belum mendapatkan pemasukan apapun," Zen mulai terlihat panik.
Pemimpin para pria bertato yang bernama Darko itu menyeringai marah, "Aku tak butuh alasanmu. Setiap kami datang ke tempat ini, maka kalian harus memberikan apapun yang kalian miliki. Tak boleh membantah."
Wajah Zen semakin memburuk. Ia tahu jika ini akan berakhir tidak baik. "Sa-saya tidak memiliki apa-apa, Tuan Darko. Tak ada uang sepeserpun,"
Brakk!!
Darko menendang tong sampah didekatnya hingga terguling. "Sudah ku bilang, tak ada penolakan apapun! Tak ada setoran, maka tubuhmu yang akan membayar. Hajar dia." Jari telunjuk Darko terarah pada Zen seolah pedang sakti. Sepuluh anak buah Darko segera mengeroyok Zen dengan brutal.
Bakk
Bukk..
Zen bukan ahli beladiri, bahkan dia tak paham cara mengepalkan tinju dengan benar. Hanya sebentar saja untuk membuat Zen babak belur menerima pukulan dan tendangan sepuluh orang yang beringas tersebut.
"Am-pun," Zen meringkuk di atas tanah dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengalir. Suaranya terdengar sangat lemah.
Tak mengindahkan suara lemah Zen, Darko kembali memberikan perintah, "Telanjangi dia. Setidaknya baju lusuh itu masih laku untuk di jual kiloan ke tukang loak."
Zen tak mampu melawan lagi saat satu persatu pakaiannya dilucuti. Ia tertelungkup di atas tanah seperti seekor cicak saat Darko dan anak buahnya pergi.
"Kejamnya mereka," rintih Zen yang bersusah payah merangkak di atas tanah dengan tubuh bersimbah darah, menuju gundukan sampah yang tak terlalu jauh darinya.
Tujuan Zen hanya satu. Mencari secarik kain, kardus, atau apapun yang bisa ia gunakan untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.
Pandangan Zen yang buram karena sebagian darah memasuki matanya, tiba-tiba menatap sebuah plastik hitam yang terselip diantara tumpukan sampah.
Zen mengambil plastik itu dan membukanya. Sebuah celana dalam terbungkus rapi dan masih tersegel mengunci pandangannya.
Zen memaksakan senyuman, "Lu-lumayan,"
Zen mencoba mengangkat badan. Dengan terseok-seok ia kembali memasuki lorong sempit yang gelap itu. Tepat di ujung lorong yang paling dalam, Zen membuka kemasan celana dalam yang baru ia dapatkan dan segera memakainya.
Tapi, tiba-tiba..
Byarrr!!
Pangkal pahanya, tepat dimana celana dalam itu berada, mengeluarkan cahaya pelangi terang, menyilaukan, dan membuat seisi lorong menjadi terang benderang dengan cahaya penuh warna. Seperti diskotik.
[Pemulung Legendaris, MaxNovel, Leva Lorich, 2024]