Udara pagi masih berembus lembut, mengusir sisa embun di gerbang megah SMA Pelita Nusantara. Para siswa berseragam rapi berlalu-lalang, sebagian bergegas, sebagian berjalan santai sambil mengobrol.
Mendadak suara deru mesin tua memecah keramaian.
Suasana kelas XII IPA 1 seketika heboh. Berpasang-pasang mata tertuju keluar jendela lantai tiga yang menghadap ke gerbang sekolah.
Sebuah Yamaha RX-King klasik meluncur perlahan melewati gerbang. Bodinya hitam doff, sederhana tapi menyiratkan aura liar.
Yang mengendarai, seorang pemuda jangkung berjaket hitam tipis, helm senada, dan mata tajam seolah mampu menembus jantung.
Raditya Lesmana.
Pemuda itu menghentikan motornya di depan pos satpam, turun dengan gerakan malas. Ia melepas helmnya, memperlihatkan wajah yang -meski tanpa usaha- membuat banyak siswi membelalak. Ia bahkan tak berusaha merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
“Olly, liat deh, liat! Gilaa, anak baru itu keren banget!” Siska memekik, nyaris menempelkan wajahnya ke kaca jendela.
“Si Gunung Es!” sahut Olly kagum.
Sahabat mereka, seorang gadis cantik duduk di bangku dekat jendela, hanya melirik sekilas. Ia pura-pura sibuk scrolling di layar ponselnya.
“Halah, biasa aja!” gumamnya ketus. Meski begitu, sebenarnya ia penasaran dengan murid pindahan yang selalu bikin cewek-cewek penasaran.
Reina Ayudita Prameswari, primadona sekolah yang cantik dengan rambut panjang bergelombang halus warna coklat gelap. Anggun, tenang, sedikit arogan. Semua mengakui Rena adalah cewek paling cantik si SMA Pelita Nusantara.
"Gue heran ya," kata Olly, "modelannya sederhana gitu, tapi tetep keliatan keren. Aura-aura cowok anime gitu."
"Ih, lebay!" cibir Reina, meski dalam hati membenarkan.
Di bawah, Radit mengambil bungkusan nasi dari dalam ransel di punggungnya dan menyerahkan kepada Pak Diman, satpam tua yang sudah bekerja di sekolah itu selama kurang lebih 15 tahun.
"Pak Diman, sarapan dulu, ya!"
"Terima kasih, Nak Radit," ucap Pak Diman terharu.
"Saya tahu Bapak lapar. Keliatan lemes," Radit berkelakar.
"Waduh... segitunya keliatan ya?" Pak Diman garuk-garuk kepala sambil senyum malu.
"Besok saya bawain lagi, ya. Biar Bapak gak masuk kerja sambil nahan lapar," murid baru itu tersenyum.
"Ya ampun, dia senyum! Kok bisa semanis itu sih?" pekik Olly histeris.
Siska langsung menarik tangan Reina ke jendela.
"Rein! Liat dulu deh, demi apa lo harus liat!"
"Apaan sih, ganggu banget!" gerutu Reina sambil menepis tangan sahabatnya.
Dengan malas, Reina melayangkan pandang. Dan saat itu juga waktu seakan berhenti.
Senyumnya begitu adem. Rapi. Putih. Tidak dibuat-buat.
Reina menelan ludah, “Kenapa senyumnya kayak nyetrum gitu, sih?”
"Liat apaan sih kalian?" Sebuah suara lantang terdengar dari arah belakang mereka. Suara yang membuat Reina seketika sadar kembali dan buru-buru menjauh dari jendela.
Raymond, cowok paling populer di sekolah. Kapten basket. Pacar resmi Reina.
"Bukan apa-apa, Ray!" katanya cepat sambil memikirkan alasan, “cuma liat… langit!”
"Langit? Serius?" Ray justru makin penasaran. Cowok bertubuh atletis itu mendekati jendela, matanya memicing dan hidungnya kembang kempis.
Ia melihat ke luar jendela dan pandangannya langsung tertuju pada Radit.
"Oh. Jadi dia, ya?” Mata Ray menyorot tajam, rahangnya mengencang, dan nafasnya makin berat.
"Reina, kamu ngeliatin Sampah itu?"
"Enggak!" Reina buru-buru membantah. "Kamu salah paham!"
"Jangan bohong! Aku liat tadi kamu mandangin dia kayak liat oppa-oppa Korea."
"Ya ampun, Ray, sumpah bukan gitu!"
"Akan kuberi pelajaran bajingan itu biar nggak sembarangan menggoda pacar orang!" Ray menggebrak daun jendela hingga kacanya retak.
Radit yang masih berada di depan pos satpam mendongak ke atas. Pandangannya bertemu dengan Ray. Wajahnya yang tadinya ramah berubah sedingin es—pantas dijuluki Si Gunung Es.
Ray membuat kode dengan tangannya di udara: "Awas lu, bakal gue hajar nanti!"
Pak Diman mendekati Radit dan berbisik, "Hati-hati, Nak Radit... Nak Raymond bukan orang sembarangan. Dia anak pejabat, sebaiknya mengalah saja ya?"
Radit hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, ia mengemudikan motornya menuju tempat parkir di belakang gedung.
***
Di tempat parkir yang sepi, Radit menghela napas panjang. Inilah SMA Pelita Nusantara—sekolah yang akan memberinya "pendidikan lebih baik" menurut ayahnya, Danu Lesmana.
Tetapi Radit tahu, bukan itu alasan sebenarnya. Ayah hanya ingin ia menyingkir dari rumah yang telah ditinggali selama delapan belas tahun, karena istri barunya tidak menyukai Radit.
Tanah makam ibu masih merah tapi ayahnya sudah membawa istri baru ke rumah. Radit tidak marah, tidak juga menangis. Ia sudah tahu Danu berselingkuh sejak ibunya masih hidup, dan ia juga yakin perselingkuhan itu yang membunuh wanita malang itu pelan-pelan.
“Radit, kalau kau terus hidup seperti ini… suatu hari kau akan kehilangan semua orang yang kau cintai. Demi Ibu, tinggalkan jalan hidupmu yang sekarang!”
Kata-kata terakhir Ibu selalu berkumandang di telinga Radit, meluluhlantakkan hatinya.
Hari-hari pertama di sekolah adalah hari penuh tekanan karena SMA Pelita Nusantara merupakan salah satu sekolah bergengsi di Jakarta Selatan. Tak banyak siswa yang mau berbicara dengan Radit, atau ia yang tak berkenan.
Ayahnya telah membayar uang sekolahnya untuk satu tahun, dengan alasan ada diskon dua bulan bila dibayar penuh. Jadi tak ada alasan baginya untuk pindah karena tidak betah.
Radit mengunci motor, benda berharga satu-satunya yang diwariskan Danu padanya. Benda yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya sebagai anak jalanan.
"Hei, Gunung Es!" sebuah suara mengagetkannya. Raymond berdiri menghadang dengan tiga temannya.
Radit hanya menatap dingin, lalu berbalik untuk pergi.
"Eh, tunggu dulu!" Ray merentangkan tangan menghalangi Radit. "Lu pikir lu siapa? Berani-beraninya cari perhatian cewek gue?"
"Gue gak tau apa yang lu omongin," jawab Radit singkat, nadanya datar.
"Masih pura-pura lagi! Dengerin ya, Anak Sampah! Di sini lu bukan siapa-siapa. Jadi jangan coba-coba deketin Reina!"
Radit menghela napas, "Gue nggak tertarik sama cewek lu atau siapapun. Sekarang, bisa minggir? Gue mau masuk kelas."
"Wah, songong juga nih anak baru!" salah satu teman Ray maju ingin menghajar.
Radit tetap tenang, "Pak Diman bilang lu anak pejabat. Mungkin lebih baik lu gunain privilege lu buat hal yang lebih berguna daripada nge-bully anak baru."
"Lu ngajarin gue?!" Ray mendorong bahu Radit.
Radit masih tidak bergeming, wajahnya tetap datar. "Sorry, gue telat." Ia berjalan melewati Ray dan teman-temannya.
"Ini belum selesai, Gunung Es!" teriak Ray.
Radit terus berjalan, tanpa menoleh. Di benaknya hanya ada satu tekad: bertahan hidup, menyelesaikan sekolah, dan membuktikan pada semua orang bahwa ia bisa berubah menjadi seorang yang berbeda.
***
Radit melangkah masuk kelas dan seketika suasana berubah. Bisik-bisik mereda, digantikan keheningan yang janggal. Semua mata tertuju padanya—anak baru, si Gunung Es.
Ketika Radit melewati bangku Reina, tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Reina cepat-cepat memalingkan muka, pura-pura sibuk dengan buku di atas meja, tapi jantungnya berdegup kencang. Ia sendiri tak mengerti kenapa.
"Pagi," sapa Radit singkat pada Leo, teman sebangkunya. Ia hendak meletakkan tasnya di bangku yang sudah ditempatinya sejak hari pertama masuk sekolah.
Tapi Leo buru-buru menyambar ransel besar miliknya dan meletakkannya di bangku yang seharusnya ditempati Radit.
"Maap, Dit, jangan duduk di sini!" ucap Leo dengan suara bergetar.
Radit mengerutkan dahi, "Kenapa?"
Leo tidak menjawab. Matanya melirik ke arah belakang Radit, memberi isyarat.
Radit menoleh dan langsung mengerti alasannya. Di depan pintu kelas, Raymond dan gengnya berdiri dengan tangan terlipat di dada. Senyum sinis terukir di wajah Ray, seolah mengatakan "Coba aja lu berani duduk di situ!"
Radit paham situasinya. Semua murid di kelas takut pada Ray—tak terkecuali Leo.
"Oke," gumam Radit pelan, lalu melangkah ke bagian tengah kelas.
"Di sini kosong kan?" tanyanya pada Fajar yang duduk sendirian.
"S-sorry, bro. Kursinya udah ada yang pesan," jawab Fajar terbata, matanya juga melirik ke arah Ray.
Akhirnya Radit sampai di ujung kelas. Ada satu bangku kosong tersisa di sebelah seorang gadis berambut pendek yang tampak acuh tak acuh.
Gadis itu sibuk mengunyah permen karet sambil mengerjakan tugas. Di telinganya terpasang earphone.
"Bro, boleh duduk sini nggak?" Radit bertanya dengan sopan.
Cewek itu mendongak, alisnya terangkat. Ternyata meski satu lubang telinganya tersumbat earphone, ia masih bisa mendengar dengan jelas.
"Lu panggil gue apa?" tanyanya dengan nada tajam.
"Maksudku Sis," Radit nyengir, menampilkan senyum yang langka itu lagi.
Dari sudut kelas, Siska dan Olly langsung heboh sendiri.
"Liat tuh, dia senyum lagi!" bisik Olly.
"Kok mau-maunya dia senyum sama Bonnie?" balas Siska heran. "Cewek jadi-jadian gitu."
Bonnie Ardelia Santoso, gadis berambut pendek itu mengangkat bahu tak peduli, "Whatever."
Radit menghembuskan napas lega lalu duduk di sampingnya. Akhirnya ada satu orang yang tidak takut pada Raymond.
"Thanks," ucap Radit pelan.
"Gue bukan takut sama Ray," Bonnie berkata tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiran Radit. "Gue cuma nggak peduli sama drama kalian."
Radit tersenyum tipis, "Fair enough."
Dari depan kelas, Raymond menatap Radit dengan pandangan penuh kebencian. Tatapannya seolah berkata "Ini baru permulaan, Gunung Es."
Reina diam-diam melirik ke belakang, ke arah Radit yang kini duduk di bangku paling belakang. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatinya.
Bu Ranti, guru matematika, masuk ke kelas dan suasana langsung hening. Pelajaran dimulai, tapi perang dingin antara Raditya dan Raymond baru saja dimulai.