"Kita putus!" kata Viona dengan tegas.
"Apa? Apa yang kamu bilang barusan?" tanya Dani terkejut.
"Aku bilang, aku ingin mengakhiri hubungan kita!" jawab gadis bernama Viona Larasati dengan dingin. "Dan mulai sekarang, tolong jangan panggil aku Vivi lagi. Namaku Viona Larasati bukan Vivi."
"Mengapa?" tanya Dani, wajahnya berubah pucat. "Viona, mengapa kamu melakukan ini?"
Dani merasa hatinya sangat sakit dan hancur.
Baru dua bulan yang lalu, mereka pernah saling berjanji bahwa mereka tidak akan pernah berpisah. Namun kini, setelah libur musim panas berakhir dan sekolah baru saja dimulai, kata-kata perpisahan itu keluar begitu saja. Bagaimana mungkin ia tidak merasa terpukul?
Dani memandangi gadis yang ada di hadapannya. Kecantikan wajahnya masih sama, namun luka di hatinya terasa jauh lebih dalam.
Dani dan Viona sama-sama merupakan siswa kelas 12 di SMA Negeri 2. Mereka teman sekelas dan bahkan duduk sebangku.
Dani dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan sederhana. Meskipun ia tinggal di wilayah kota kabupaten, kondisi keluarganya sangat sederhana. Prestasi di sekolahnya pun tidak menonjol, hanya berada pada tingkat menengah ke bawah.
Sementara itu, Viona memiliki sifat yang ceria, wajah yang menarik, pandai bergaul, dan menjabat sebagai wakil ketua kelas. Tak heran jika banyak siswa laki-laki menyukainya, bahkan beberapa sempat saling bersaing demi mendapatkan perhatian darinya.
Namun, yang berhasil merebut hati Viona justru Dani, yang selama ini terlihat biasa saja. Karena mereka duduk sebangku dan sering berinteraksi, perasaan pun tumbuh secara alami, hingga akhirnya mereka menjalin hubungan secara diam-diam.
Dani tidak pernah membayangkan bahwa tepat saat tahun terakhir SMA dimulai, ia harus menerima kenyataan bahwa Viona ingin mengakhiri hubungan mereka.
"Mengapa? Kamu masih bisa bertanya begitu?" Viona membalas dengan nada tinggi, hingga beberapa siswa di sekitarnya menoleh.
"Apa kesalahanku?" tanya Dani dengan suara yang lirih, nyaris seperti memohon.
"Dani, kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini karena masa depan kita berbeda!" ucap Viona dengan nada dingin dan penuh kesombongan. "Apakah kamu pikir dengan kondisi keluargamu yang miskin, kamu bisa kuliah? Dengan nilai seperti itu, apa kamu yakin bisa masuk universitas? Aku ingin kuliah dan tinggal di kota besar. Jika aku terus bersamamu, itu hanya akan menghancurkan masa depanku!"
"Kondisi keluarga memang miskin?" wajah Dani menjadi semakin pucat. Namun ia masih bertanya, dengan nada tak rela, "Bukankah sejak awal aku sudah memberitahumu bahwa keluargaku tidak mampu? Mengapa kamu baru sekarang merasa kecewa?"
"Mengapa?" Viona tersenyum sinis. Suaranya terdengar penuh ejekan. "Dani, kamu tahu selama liburan kemarin aku pergi ke rumah kakakku di kota besar? Kamu tahu seberapa besar rumah yang ditinggali kakakku dan suaminya? Kamu bekerja seumur hidup pun mungkin tidak akan mampu membeli kamar mandinya! Kamu tahu berapa nilai mobil kakakku?"
Dani menggeleng lemah dan berkata, "Aku akan bekerja keras mencari uang!"
Dani teringat bahwa Viona pernah mengatakan kakaknya bekerja di jakarta. Tapi sejak kapan mereka menjadi orang kaya?
"Bekerja keras?" Viona tertawa mengejek. "Kamu mau bekerja berapa lama? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Lima puluh tahun? Aku tidak mau menua bersamamu hanya demi menabung untuk membeli rumah kecil di kota. Untuk sekadar bisa punya mobil. Dani, tolong jangan ganggu aku lagi. Aku akan kuliah di jakarta. Saat itu nanti, kita akan berada di dunia yang berbeda!"
Dani menatap wajah Viona. Wajah yang dulunya selalu tersenyum untuknya, kini dipenuhi dengan rasa sombong dan tak peduli.
"Baiklah, kita putus!" kata Dani akhirnya. Viona telah menunjukkan sikap yang sangat dingin, seperti menolak siapa pun yang mencoba mendekat. Segala upaya untuk mempertahankan hubungan ini hanya akan sia-sia.
Dani, yang memang menyimpan rasa rendah diri, memilih untuk menjaga sisa harga dirinya.
"Dan lagi, aku sudah berbicara dengan guru. Mulai sekarang kita tidak duduk sebangku lagi, dan tidak memiliki hubungan apa pun!" kata Viona datar. Ia pun berbalik dan pergi dengan penuh kebanggaan, tanpa sekalipun menoleh ke arah Dani.
Tak jauh dari sana, seorang teman perempuan Viona telah menunggunya. Setelah percakapan itu selesai, mereka berjalan pergi bersama.
"Viona, tadi kata-katamu agak terlalu kasar. Apa itu tidak berlebihan?" tanya temannya dari kejauhan.
"Huh, itu pun aku masih bersikap sopan!" jawab Viona dengan kesal. "Dia anak miskin dari kota kecil. Bahkan untuk membelikanku hadiah saja tidak pernah. Dulu aku benar-benar bodoh, kenapa bisa menyukainya?!"
"Viona, suaramu pelankan sedikit. Jangan sampai Dani mendengar," sahut temannya dengan nada khawatir.
"Takut? Dia hanya anak miskin... anak haram... anak pelacur." ucap Viona penuh hinaan.
Deg!
Tak jauh dari situ, Dani mendengar semuanya. Seolah dadanya tertimpa beban berat. Ia berdiri mematung, napasnya memburu. Wajahnya merah padam, dan matanya nyaris mengeluarkan api.
Anak Haram... anak pelacur...
Gigi Dani gemeretak, urat-urat di pelipisnya tampak menegang. Napasnya berat, tinjunya mengepal dan mengendur berulang kali.
Hingga Viona dan temannya menghilang dari pandangan, barulah Dani mampu menarik napas panjang. Ia tersenyum getir. “Aku anak haram... aku anak pelacur... hehe...”
Ya, Dani memang anak haram. Dalam istilah yang lebih kasar anak pelacur.
Hanya Viona yang tahu rahasia ini. Karena status itu, ibunya pernah diusir dari rumah oleh kakek neneknya. Jika bukan karena bantuan orang-orang baik, mungkin mereka sudah menjadi gelandangan di jalanan.
Kata anak haram telah menjadi ejekan yang menyertainya sejak kecil. Masa kecil Dani dipenuhi rasa malu, tertutup, dan rendah diri karena status itu.
Baru setelah mengenal Viona, Dani perlahan mulai terbuka dan lebih percaya diri. Karena rasa percaya itu pula, ia menceritakan tentang asal-usulnya pada Viona.
Namun tak disangka, kemiskinannya justru menjadi alasan untuk ditinggalkan, dan statusnya menjadi bahan ejekan dari gadis yang paling ia sayangi.
“Tapi tak apalah…” gumam Dani.
Dani menggeleng pelan dan mulai melangkah meninggalkan sekolah. Ia tersenyum pahit. “Aku hanyalah anak haram yang pantas ditertawakan... bahkan oleh orang yang paling aku cintai…”
Di bawah terik matahari, jalanan terlihat sepi. Kehampaan itu membuat Dani merasa semakin sendiri. Hanya suara dari televisi di toko-toko pinggir jalan yang menghidupkan suasana.
Berita dalam siaran televisi.“Berita terbaru, para ilmuwan baru-baru ini mengamati kelompok nebula mirip kepiting di luar angkasa yang terletak sejauh satu miliar tahun cahaya dari tata surya. Nebula ini memancarkan semburan sinar gamma yang mengejutkan. Ini merupakan pengamatan pertama sinar gamma pada nebula kosmik. Menurut para ilmuwan, letaknya yang sangat jauh tidak akan mempengaruhi kehidupan manusia...”
Namun, pembaca berita itu tidak menyadari bahwa tepat di luar atmosfer, seberkas sinar gamma sedang melaju menuju bumi.
Dani berjalan tanpa tujuan, pikirannya kosong. Ucapan Viona yang menyakitkan terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ia merasa seperti kehilangan semangat hidup.
Tiba-tiba, sinar matahari di langit tampak berkilat. Sebuah sinar halus yang nyaris tak terlihat menghantam langsung kepala Dani, membuatnya kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan di tempat.