05.12 pagi – Gang sempit Jakarta Timur
Raka Wicaksana membuka mata sebelum alarm ponselnya berbunyi. Ia tak pernah benar-benar tidur nyenyak di kamar kontrakan ukuran 2x3 meter itu. Atapnya bocor, dindingnya tipis, dan suara cekcok tetangga selalu jadi pengantar malamnya.
Ia bangkit, meraba lantai dingin dengan telapak kaki yang kapalan.
Air tak mengalir. Lagi. Ia mengambil ember sisa hujan semalam dari luar. Menyiramkan ke tubuhnya. Menggigil. Tak bersuara. Sudah biasa.
Di bawah tempat tidurnya: satu stel kemeja bekas, celana hitam kusam, dan sepatu bolong. Semua dipakai tanpa ragu. Tanpa pilihan.
Ia memandangi map plastik berisi ijazah SMA, dan satu amplop coklat yang sengaja ia simpan. Ada puluhan surat lamaran yang sudah dikembalikan—sebagian bahkan masih belum dibuka.
"Hari ini harus dapat kerja... harus..."
06.40 pagi – Jalan Raya Cijantung
Raka memanggul dua galon besar di pundaknya. Keringat mengalir. Matahari belum tinggi, tapi jalanan sudah sibuk. Motor-motor melintas tanpa peduli. Sebuah mobil mewah melaju terlalu dekat, air kotor di genangan jalan menyiprat ke wajah dan bajunya.
"Hei, lihat dong! Basah semua nih!" teriak Dimas.
Tapi mobil itu hanya melaju tanpa menoleh.
Seorang ibu menyapu di depan warung, melihatnya dan mencibir.
"Tukang galon sok gaya. Teriak-teriak pula. Kerja aja yang bener!"
Raka tak menjawab. Ia lanjut berjalan, pundaknya mulai nyeri.
09.00 pagi – Kantor logistik pengiriman
Ia duduk rapi di bangku tunggu, menanti giliran wawancara kerja sebagai kurir.
Setelah menunggu dua jam, akhirnya dipanggil masuk ke ruangan.
"Raka Wicaksono, ya? Lulusan SMA saja?" tanya HRD sambil menurunkan kaca matanya, kemudian memandang Raka dengan intens.
"Iya, Pak. Tapi saya siap kerja keras, tahan banting, tidak pilih-pilih." jawab Raka Wicaksono penuh semangat dan percaya diri!
"Bisa bawa motor sendiri?" lanjut HRD ingin tahu lebih banyak.
"Motor saya masih cicil, Pak, sering mogok, tapi saya bisa..." jawab Raka Wicaksono sekalian curhat.
"Terima kasih, Mas. Nanti kami hubungi. Bisa keluar sekarang." potong HRD mengakhiri wawancara yang tidak diminatinya wa. Mood-nya langsung drop.
Raka Wicaksono tahu arti kata “nanti”.
'Nanti' berarti tidak akan dipanggil sampai kiamat pun!
"Kurang ajar, HRD tak berakhlak. Selalu bikin PHP pelamar saja!" gerutu Raka Wicaksono kesal.
11.00 siang – Warung Padang
Raka Wicaksono duduk di bangku plastik, membuka dompetnya. Isinya hanya dua lembar ribuan dan satu koin logam.
"Nasi setengah, kuah doang. Bungkus," katanya.
Penjualnya menatap sinis.
"Lagi-lagi ini anak. Makan modal doang."
Raka Wicaksono pura-pura tak dengar. Ucapan nyinyir Uda penjual Nasi Padang.
13.45 – Kontrakan
Langit mendung. Raka Wicaksono masuk kontrakan, tubuh basah oleh peluh dan sedikit hujan. Ia menjatuhkan diri di lantai, lemas.
Ponselnya berbunyi.
Nomor tak dikenal.
"Halo?"
"Mas Raka? Ini dari PT Guna Niaga. Kami menerima lamaran Anda. Tapi... maaf ya, ternyata kami cari yang D3 minimal."
Klik. Telepon ditutup.
"RESEEEE!" pekiknya gusar!
Itu yang kesembilan dalam seminggu.
16.30 – Warung depan kontrakan
Ia membeli kopi sachet. Duduk sendiri. Terdengar suara dari tetangga sebelah.
"Coba tuh Raka, tiap hari cari kerja. Tapi lulus SMA doang. Mana bisa saingan sekarang? Pantas ditolak terus."
"Iya, dia tuh cuma tukang galon. Suka sok bersih. Padahal miskin."
"Ada juga cewek yang mau sama dia, aku tempeleng kepalanya."
Raka Wicaksono menunduk. Ia hafal suara-suara itu.
Ia ingin marah, tapi hatinya berkata: sabar.
21.20 - Malam hari – Kontrakan
Hujan kembali mengguyur seantero perkampungan pinggir ibu kota itu.
Atap kontrakan Raka Wicaksono kembali bocor. Kasurnya basah. Ia duduk di sudut, memeluk lutut. Lampu mati. Kegelapan. Sendiri.
Ia menatap surat lamaran terakhir yang belum dikirim. Tulisannya rapi. Tapi sudah agak lusuh karena terlalu sering dibawa.
Air hujan menetes dari langit-langit.
Ia tak bisa menahan lagi. Air mata jatuh.
"Tuhan... aku capek."
"Kenapa semua orang gampang menghina? Padahal aku cuma... ingin hidup baik."
"Apa harus sekolah tinggi untuk jadi manusia?"
Tak ada jawaban.
Tapi di dalam dadanya—di balik semua luka dan kehancuran—
Masih ada bara kecil. Harapan. Walau kecil, masih menyala.
---
04.30 Subuh – Telepon dari kampung.
"Raka... pulang sebentar ya. Ibumu sakit. Kebutuhan obat mahal.”
Suara Ayah terdengar lemah. Di ujungnya, terdengar isak kecil, suara ibu antara sakit dan menahan kesedihan.
Raka Wicaksono mengangguk walau telepon sudah ditutup.
Kepalanya seketika pusing mendadak. Tidak, ada uang di tangan. Padahal ia harus pulang untuk menjenguk ibunya sangat dikasihinya.
Akhirnya dengan berat hati, ia menjual satu-satunya barang berharganya— radio kecil peninggalan almarhum kakek. Harganya tak seberapa, tapi cukup buat beli tiket bus pulang ke kampung yang tidak jauh dari Ibukota.
---
Dua jam kemudian...
Raka Wicaksono sampai di rumahnya yang sederhana di sebuah desa.
Ibunya terbaring lemah. Tapi yang paling menyakitkan bukan itu.
Adiknya, Gilang,l Wigati yang dulu Raka Wicaksono sekolahkan dengan hasil kerja serabutan, kini malah menyambutnya dengan tatapan sinis.
“Buat apa pulang? Obat Ibu udah dibeli. Dari uang hasil pinjaman aku ke teman. Kamu bisa apa?”
“Gil, aku jual radio buat ongkos...”
“Radio? Itu doang? Lo pikir itu cukup buat bayar semua ini? Gue udah kerja di bengkel. Gaji tetap. Lo? Galon doang.” ejek Gilang Wigati tega merendahkan kakaknya.
Ibu menangis di atas pembaringan. Raka Wicaksono tak berkata apa-apa.
Malam itu ia tidur di bale bambu depan rumah. Digigit nyamuk. Kedinginan. Tapi lebih dingin ucapan adiknya tadi.
---
Kedatangan Raka Wicaksono ternyata mempengaruhi kesehatan ibunya juga. Anak Sulung kesayangannya cukup menyemangati hidupnya. Apalagi, obat yang dibeli Gilang Wigati anak bungsunya ternyata ampuh. Sebenarnya, sakit ibu lebih banyak karena kangen dengan anak kesayangannya.
Maka keesokan paginya, Saat hendak kembali ke Jakarta, Bapaknya memberi bekal nasi bungkus dan selembar uang lima puluh ribu.
“Maaf ya, Mas... Bapak cuma punya ini.”
“Terima kasih, Pak. Jaga Ibu baik-baik.”
Raka Wicaksono mengecup tangan ibunya, kemudian memeluk Bapaknya untuk berpamitan. Tapi sebelum pergi, adiknya sempat berbisik:
“Kalo Ibu nanti meninggal, lo jangan balik lagi.”
Kalimat itu membekas lebih dalam dari luka mana pun. Begitu bencinya adiknya kepada dirinya, padahal selama ini, ia sudah banyak berkorban untuk membiayai adiknya sampai lulus SMK.
Raka Wicaksono memilih mengalah, dengan gontai ia meninggalkan rumahnya. Di ujung jalan besar, ia menyetop angkot yang akan membawa dirinya ke terminal bus antar kota.
---
Kemalangan dan sakit hati ternyata masih membuntuti Raka Wicaksono.
Di Jakarta – Hari Minggu.
Raka Wicaksono memberanikan diri menemui Laras, teman SMA-nya.
Dulu mereka sering duduk bareng di kantin. Diam-diam, Raka menyimpan rasa yang tak pernah ia ungkap kepada Laras.
Laras kini bekerja di toko elektronik. Ia cantik, ceria, dan ramah. Raka tahu dirinya tak pantas, tapi perasaannya tidak bisa dibohongi dan tidak bisa ditahan lagi.
Tetap, malam itu ia membawa bunga plastik dan nekat bicara.
“Lar... aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi aku sayang kamu. Dari dulu.”
Laras tertawa. Tapi tidak dengan lembut. Tertawa keras.
“Raka... Raka... kamu serius? Kamu sekarang tukang galon. Gaji harian. Bahkan motormu butut. Masa aku pacaran sama kamu? Keluargaku bisa pingsan dengarnya!”
“Aku bisa berubah, Lar... Aku kerja keras kok...”
“Udahlah. Jangan halu. Mending kamu bantu ngangkat kulkas aja di toko depan tuh.” ucap Laras menyakitkan hatinya. Tidak hanya menerima penolakan cinta, tapi ia juga menerima hinaan yang begitu kejam.
Raka menunduk. Tangan yang membawa bunga bergetar.
“Maaf ya. Aku kira kamu masih...”
“Masih apa? Masih baik? Dunia nggak baik, Mas Raka. Dunia tuh milik yang bisa bayar!” sengat Laras menyiramkan cuka di luka hatinya.
Raka pulang dengan langkah hampa. Ia melempar bunga ke tong sampah.
Tapi bahkan tong sampah itu sudah penuh. Bunga plastiknya jatuh di aspal. Terinjak mobil lewat.
Malangnya!
---
Malam itu – Di atas atap kontrakan, Raka naik dan duduk di sudut atap, memandangi langit. Jakarta berkilau di kejauhan. Tapi hidupnya remang. Ia berpikir...
“Apa gunanya hidup baik... kalau dunia cuma memberi ruang buat yang kuat dan kaya?”
“Apa gunanya menolong orang... kalau kau sendiri tak punya siapa-siapa?” gumamnya hampir putus asa.
"Glodaaakk... Meong!"
Suara ribut dan teriakan kucing, menyadarkan Raka, bahwa ia tidak boleh berputus asa. Ia masih punya Tuhan dan masih punya kesempatan!
Angin malam menusuk. Tapi dada Raka lebih dingin.
Ia berdiri di tepi atap. Satu kaki menggantung.
Detik berlalu.
Namun dari jauh... terdengar suara tangis bayi.
Raka menoleh.
Kontrakan sebelah. Seorang bayi menangis kelaparan. Ibunya memeluknya sambil menenangkan. Wajah mereka letih. Tapi masih hidup.
Raka duduk lagi. Menangis dalam diam.
“Kalau mereka saja bertahan... aku juga bisa.”
Bersambung....