Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Bukan Lupus

Bukan Lupus

Novita Ledo | Bersambung
Jumlah kata
69.0K
Popular
347
Subscribe
50
Novel / Bukan Lupus
Bukan Lupus

Bukan Lupus

Novita Ledo| Bersambung
Jumlah Kata
69.0K
Popular
347
Subscribe
50
Sinopsis
PerkotaanSekolahPewarisCinta SekolahDarah Muda
BUKAN LUPUS---Karena tidak semua luka terlihat, dan tidak semua cinta bisa dijelaskan dengan logika---
Hujan yang Menghafal Nama Kita

Payung merah itu tampak rapuh di tengah derasnya hujan sore.

Namun, yang membuatku menoleh bukanlah warnanya, melainkan sosok yang berdiri di bawahnya. Seorang gadis kurus dengan sepatu kanvas yang robek berdiri diam di sudut gerbang sekolah. Seolah-olah bukan hujan yang membasahinya, melainkan kenangan yang enggan pergi.

Matanya menatap langit yang kosong, tetapi dalam. Seperti sedang mencari seseorang yang telah lama tiada. Dan entah mengapa, aku merasa... ia sedang berbicara kepada dunia yang tak kumengerti cara memahaminya.

Aku berdiri hanya beberapa meter dari limusin hitam milik Ayah. Sopirku melambaikan tangan, tetapi langkahku justru menjauh.

“Kamu tidak takut sakit?” tanyaku, menawarkan payung hitam yang kupakai. Bukan karena ingin menjadi pahlawan. Tetapi karena aku... tidak sanggup melihatnya begitu sendirian.

Gadis itu menoleh perlahan. Matanya... seperti halaman buku tua yang pernah disimpan seseorang dengan penuh kasih. Cokelat gelap. Lelah, tetapi hidup.

“Aku lebih takut melupakan rasanya hujan,” jawabnya pelan. “Karena jika aku lupa... mungkin aku juga lupa bagaimana rasanya hidup.”

Dunia yang kukenal seperti dunia yang dipenuhi angka, konferensi keluarga, dan nilai saham, mendadak menjadi sunyi.

Itulah pertama kalinya aku melihat Yuna. Gadis dari panti asuhan yang entah bagaimana... membuat hidupku terasa lebih nyata.

Sejak hari itu, aku mulai mencari-cari payung merah. Bukan hanya saat hujan. Tapi di sudut-sudut sekolah. Di antara derap langkah kaki yang sama. Di balik rak buku perpustakaan yang sepi. Aku tidak tahu namanya. Namun, setiap kali langit mulai mendung, jantungku seolah mendapat isyarat untuk berharap.

Dan seminggu kemudian, hujan turun kembali. Seolah semesta pun ikut penasaran.

Di kantin sekolah, ada tempat aku biasa duduk bersama "geng pewaris": anak CEO, politisi, dan satu calon idola, kali ini aku memilih duduk sendiri. Dekat jendela. Dan dari seberang lapangan, aku bisa melihatnya lagi.

“Dia...”

Aku segera menghampirinya. Ia tampak nyaman duduk sendiri di bawah pohon flamboyan. Dengan buku catatan lusuh dan pulpen hitam yang tintanya hampir habis.

Aku langsung duduk di sebelahnya, mengabaikan tatapan aneh dari orang lain. Membawa dua es krim cokelat dari kulkas kantin. Aneh memang, tetapi aku tidak tahu cara lain untuk memulai.

“Aku tidak punya alasan keren untuk mengajakmu berbincang,” kataku sembari duduk di sampingnya. “Tapi... kamu suka es krim, bukan?”

Ia tertawa kecil. Suaranya ringan, tetapi lama tinggal di telingaku.

“Siapa, sih, yang makan es krim saat hujan?” tanyanya, heran tetapi hangat.

“Orang yang ingin punya alasan untuk duduk di sini,” jawabku, berusaha terdengar santai, padahal tanganku dingin bukan hanya karena es krim.

Ia menatapku agak lama. Aku mengira ia akan pergi. Namun, sebaliknya, ia menerima es krim itu dan tersenyum.

“Namaku Yuna,” ucapnya, cukup jelas memperkenalkan diri.

“Aksara,” jawabku. “Tapi... panggil saja Sar. Biar tidak terdengar terlalu kaya.”

Ia terkekeh. Tawa yang jujur. Lalu membuka buku catatannya dan menulis sesuatu. Aku mengintip dan pura-pura tidak ingin tahu. Namun jelas tertulis, ‘Orang paling aneh yang makan es krim di tengah hujan, tapi entah mengapa... hangat.’

Sejak hari itu, kami memiliki kebiasaan kecil. Bukan kencan di atap restoran mahal. Melainkan duduk berdua di bangku taman belakang sekolah, berbagi satu earphone dan mendengarkan lagu-lagu lawas.

Aku mengenalnya lebih dalam. Bahwa Yuna tinggal di panti asuhan sejak berusia tujuh tahun. Bahwa ia sering absen dari kegiatan ekstrakurikuler bukan karena malas, tetapi karena harus menjaga adik-adik kecil di panti. Bahwa sepatu yang ia pakai adalah peninggalan dari donatur lama yang tak pernah kembali.

Semakin aku mengenal Yuna, semakin aku merasa bahwa selama ini aku hidup di atas awan, tanpa pernah tahu seperti apa rasanya menyentuh bumi.

Suatu sore, saat kami duduk di bangku taman belakang sekolah, hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah yang dalam.

“Kau tahu tidak,” kataku, “dari semua hal mahal yang pernah kumilikis seperti jam tangan Swiss, mobil sport, hingga saham hotel di Swiss, ternyata yang paling membuatku gugup justru... yang gratis.”

Yuna melirik. “Apa?” tanyanya, kebingungan.

“Senyummu.”

Gadis manis itu menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Namun aku melihatnya.

Ia menjawab pelan, hampir seperti bisikan:

“Dan dari semua hal yang pernah kutakutkan... aku paling takut kehilangan momen seperti ini.”

Di dalam dadaku, hujan tak pernah benar-benar berhenti. Aku merasa melompat kegirangan. Ya... begini rasanya bahagia.

Angin sore membawa sisa hujan yang menggantung di daun flamboyan. Yuna menyandarkan kepala ke pundakku, tanpa kata, dan dunia terasa mengecil hingga hanya sebesar bangku taman ini.

Aku ingin waktu berhenti di sini.

Namun kemudian ponselku bergetar. Dua kali. Lalu tiga. Nama Ayah berkedip di layar. Sebuah pesan singkat muncul:

"Berhenti bermain dengan anak panti. Papa dan Mama sudah menyiapkan calon tunanganmu sejak kecil."

Dadaku mendadak sesak. Bukan karena takut... tetapi karena aku tahu, sejak detik itu, dunia yang kami coba jaga akan mulai retak dari dalam.

Aku menoleh ke Yuna. Ia masih tersenyum dalam diam. Belum tahu apa-apa.

Dan saat aku memandangnya malam itu, aku bertanya dalam hati:

'Seberapa keras engkau akan melawan dunia demi satu senyuman yang membuatmu ingin terus hidup?'

**

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca