

Langit pagi itu seharusnya biru cerah, menyambut hari dengan damai. Namun, tidak bagi SMA Tunas Harapan. Sebuah suara gedebuk keras, disusul decitan engsel pintu kelas yang ditendang brutal, seketika jadi alarm paling memekakkan bagi seluruh siswa di lorong lantai dua.
“FEBRIAN ADDISON!!!”
Teriakan itu menggema, membelah keheningan pagi layaknya meriam yang baru saja diledakkan. Seluruh lorong seolah menahan napas, tahu betul hanya satu orang di sekolah ini yang sanggup melontarkan amarah sedingin es kutub, namun cukup ampuh membuat jantung siswa nyaris copot dari tempatnya, Anis Mersinta. Ketua OSIS, sang penegak hukum sekolah.
Gadis itu melangkah cepat, irama sepatu pantofelnya yang mengilat bagai genderang perang. Rambutnya terkuncir rapi, tanpa sehelai pun yang berani lolos. Lencana OSIS di dada kirinya bersinar, memantulkan cahaya pagi layaknya medali perang yang baru saja diraih. Tanpa ketuk pintu, tanpa permisi, ia membuka paksa pintu kelas XI IPA 3 dan langsung menancapkan tatapan tajamnya ke sudut belakang—tempat seorang cowok berseragam kusut, duduk santai di atas meja, kaki dinaikkan ke kursi, dan mulutnya asyik mengunyah permen karet dengan gaya tak acuh.
Dia adalah Febrian Addison, putra tunggal dari keluarga kaya raya, sang pewaris kebebasan tak terbatas. Mobil pribadi yang selalu terparkir megah, jam tangan mahal melingkar di pergelangan, dan sepatu sneakers edisi terbatas yang selalu jadi pusat perhatian. Namun di balik semua kemewahan itu, ia adalah buronan BK nomor satu, sang langganan daftar hitam yang tak pernah absen.
Dengan wajah setengah malas, Febri melirik ke arah Anis. Sebuah gumanan tipis lolos dari bibirnya, lebih seperti bisikan usil ketimbang teguran serius. “Apaan sih, Cewek Lencana?”
Seketika, seluruh kelas sunyi senyap, napas tertahan di dada masing-masing siswa. Anis mendengus, seperti banteng yang baru saja ditantang. “Cewek Lencana?” Tatapannya menusuk, menuntut penjelasan, penuh peringatan.
“Kamu lagi, Febrian. Kamu itu manusia atau magnet masalah?” Ucap Anis, suaranya mengandung perpaduan antara frustrasi dan amarah yang tertahan.
Febri terkekeh pelan, tawa kecil yang terdengar meremehkan. “Tergantung. Kalau kamu logamnya, ya pasti nempel terus dong.” Kata-katanya diucapkan santai, seolah tengah berbalas pantun.
Tawa kecil mulai terdengar dari pojokan kelas, tapi Anis tak goyah. Wajahnya tetap beku, tekadnya bulat. Ia berjalan cepat, tanpa ragu meraih kerah seragam Febri, menarinya mendekat.
“Masih juga sempat bercanda, ya?” Suara Anis lebih rendah kini, namun tajamnya tak berkurang. Mata mereka bertemu, seolah mengunci dalam pertarungan kehendak. “Kamu sadar nggak sih, sekolah ini bukan tempat buat main-main?”
Febri menepis tangan Anis, gerakannya cepat dan tegas, lalu berdiri. Jarak di antara mereka kini semakin menipis. “Denger, Bu Ketua OSIS. Sekolah ini bukan kerajaan kamu. Jadi jangan bersikap kayak ratu yang ngatur segalanya. Gue duduk di sini karena gue siswa juga. Suka-suka gue dong.” Suaranya lebih berat, ada jejak perlawanan yang jelas di sana.
“Suka-suka lo?” Anis mengangkat alisnya tinggi-tinggi, seolah menimbang setiap kata. “Oke. Bolos upacara tiga kali, nongkrong di belakang aula sambil ngevape, dan tadi pagi nyoret dinding ruang seni. Itu yang kamu sebut suka-suka lo?” Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada menuduh, sarat akan bukti.
Febri mengangkat bahu, seolah semua tuduhan itu tak lebih dari angin lalu. “Bukti?”
“Rekaman CCTV.” Anis mengacungkan flashdisk kecil di depannya, bukti fisik yang tak terbantahkan. “Aku udah cek sama Pak Wibowo. Tinggal kirim ke BK. Kali ini kamu nggak bisa lolos.” Ada nada kepuasan di suaranya, seolah ia baru saja memenangkan babak pertama.
Febri hanya mengangkat bahu lagi, senyum tipis terukir di bibirnya. “CCTV bisa hilang. Tapi dendam kamu ke gue tuh kayak utang—terus ditagih, nggak lunas-lunas.” Kata-katanya diucapkan ringan, namun berhasil memancing reaksi.
“Dendam? Aku cuma pengen kamu berubah! Jangan nyusahin sekolah!” Anis membantah, suaranya meninggi, menunjukkan betapa ia merasa disalahpahami.
“Kenapa kamu repot banget sih ngurusin gue?” Febri melangkah mendekat, sedikit mengikis jarak di antara mereka. Senyumnya kini lebih misterius. “Apa karena kamu sebenernya suka?”
Anis terkejut, reaksinya refleks. Ia langsung mendorong dada Febri, menjauhkan cowok itu.
“Jangan GR! Satu-satunya yang aku suka itu ketertiban dan kedisiplinan! Yang kamu nggak punya!” Suaranya tegas, penuh penekanan, seolah ingin menghapus segala keraguan.
Febri tertawa keras, tawa yang memenuhi seisi kelas yang masih menyimak dalam diam. “Itu karena kamu belum pernah hidup di dunia yang nggak pakai aturan.”
Saat kelas dimulai, seperti bayangan yang lenyap di tengah terik matahari, Febri malah menghilang. Jejaknya mengarah ke atap belakang aula, tempat favoritnya, pelabuhan rahasia untuk kabur dari deretan pelajaran yang membosankan.
Sambil selonjoran di dekat tangki air yang berkarat, pandangannya melayang jauh ke langit biru. Angin pagi berembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambutnya. “Ketua OSIS galak banget… kayak pelatih militer.” Gumamnya, suaranya mengering di udara.
Ia menatap langit yang kosong, namun kali ini, wajahnya tak lagi dihiasi senyum. Senyum usil yang selalu ia pasang di depan Anis kini lenyap, digantikan raut kosong yang menyiratkan beban. Angin pagi yang berembus dingin seolah ikut meresapi kesunyian di dalam dirinya.
Tak banyak yang tahu, Febri tinggal sendiri di rumah mewah yang terlalu besar untuk satu orang. Ayahnya, seorang pebisnis sukses, lebih sering berurusan dengan jadwal padat di luar negeri ketimbang menyempatkan diri pulang. Ibunya? Sudah menikah lagi dengan pria lain dan menetap di Singapura, seolah-olah Febri adalah babak yang telah usai dalam hidupnya. Mereka berpisah sejak Febri masih kelas 8, meninggalkan luka yang tak terlihat. Sejak saat itu, hidupnya hanya ditemani kehadiran pembantu dan satpam rumah yang berjaga di gerbang.
Mobil mewah, uang jajan tak terbatas, fasilitas serba ada. semua tersedia melimpah ruah. Namun, suasana hangat dan kehadiran orang tua? Nol besar. Ruangan-ruangan besar itu terasa hampa, dipenuhi gema kesepian yang tak terhindarkan.
Itu sebabnya ia muak dengan segala bentuk aturan, apalagi dengan orang seperti Anis yang selalu berbicara tentang kedisiplinan. Baginya, aturan hanyalah tembok lain yang membatasi, mengingatkannya pada kekosongan yang tak bisa diisi.
Langkah kaki mendekat, memecah keheningan di atap. Suara sepatu pantofel hitam yang berkilat, familiar dan mengganggu, membuat Febri memejamkan mata sesaat.
“Gue harap ini bukan Cewek Lencana lagi…” Bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Ketangkep!” Suara Anis menggelegar, jelas sekali.
Febri menghela napas panjang, seolah menghadapi takdir yang tak bisa dielakkan. “Ya ampun, cewek ini emang nggak ada kerjaan…”
Anis kini berdiri di hadapannya, parasnya serius, tak ada senyum sedikit pun. Aura ketua OSIS yang dingin kembali menguar.
“Turun. Sekarang juga. Atau aku laporin ke kepala sekolah.” Perintah Anis, suaranya tak terbantahkan.
Febri merasa terlalu malas untuk bergerak. “Kalau aku loncat dari sini, sekolah kehilangan satu beban, loh.” Ucapnya, nadanya mencoba terdengar ringan, namun terselip keputusasaan yang tipis.
Anis mendengus. “Kamu nggak lucu.”
“Dan kamu nggak tahu rasanya hidup tanpa rumah yang layak disebut rumah.” Suara Febri kini lebih dalam, membuang semua topeng kecerobohan yang biasa ia kenakan.
Anis sempat terdiam, kalimat Febri menusuk tanpa ampun. Untuk pertama kalinya, Anis melihat retakan di balik dinding pertahanan Febrian.
“Febri… kamu anak orang kaya. Kamu tinggal di rumah besar, naik mobil sendiri. Apa sih yang kamu kurangin?” Pertanyaan itu terlontar dengan nada yang lebih lembut, ada jejak kebingungan di sana.
“Pulang ke rumah kosong. Ulang tahun disuruh pesta, tapi nggak ada yang datangin. Nggak semua luka itu bisa disembuhin pakai uang, Nis.” Kata-kata Febri kini terdengar berat, jujur, dan penuh beban. Ada kepedihan yang jelas terpancar dari suaranya, membelah citra Febrian Addison yang selalu cuek.
Anis menunduk pelan, tatapannya jatuh ke ujung sepatu pantofelnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Febrian. Anak yang selalu melawan, selalu memancing emosi, ternyata menyimpan kehampaan yang begitu besar di dadanya. Namun, meskipun simpati itu mulai merayap, ia tidak bisa begitu saja memaafkan semua pelanggarannya. Tugasnya adalah menegakkan aturan.
“Aku tetap akan laporin kamu,” ucap Anis, suaranya terdengar setengah ragu, seperti ada pertempuran batin di dalam dirinya.
“Silakan. Tapi hati-hati, kamu makin dekat sama gue, bisa-bisa nanti kamu suka beneran.” Febri kembali ke mode usilnya, seolah ingin menutupi kerentanan yang baru saja ia tunjukkan.
“Ngaca dulu, Febrian.” Balas Anis, suaranya tegas namun ada sedikit nada yang berbeda dari sebelumnya.