“WOY, BERHENTI, WOY!”
Suara Galang menggema di gang sempit itu, membelah keheningan sore. Seragam sekolahnya sudah lecek, dasinya miring, dan tasnya cuma disandang di satu bahu—tapi langkahnya mantap mengejar pria bertubuh tambun yang ngos-ngosan lari sambil menyeret kantong plastik penuh belanjaan.
“Gue cuma minta bayar cicilan, bukan ginjal lo!” teriak Galang, sambil mempercepat langkah. Galang yang tidak suka basa-basi bicara langsung tanpa ba-bi-bu dan tidak tahu waktu. Bahkan ia tidak peduli dengan orang lain yang merasa terusik karena teriakannya.
Pria tambun itu menoleh sambil teriak, berusaha lari dari pemuda bernama Galang, “Tunggu gajian, Mas! Bulan depan! Sumpah ini buat belanja dapur!”
“Gue juga butuh gajian buat beli buku, Pak RT!” timpal Galang semakin mempercepat langkah kakinya.
Tong!
Kepala pria itu menghantam tiang listrik. Galang langsung menghampiri, lalu berdiri sambil mengatur napas.
“Napas lo kayak motor nyala pas kehabisan bensin,” cibir Galang. “Bayar sekarang. Atau gue kasih dua pilihan, cicil utang, atau cicil napas.”
Pria tambun yang ternyata seorang Ketua RT itu tetap menolak. Bukan tanpa alasan, ia memang tidak punya uang sekarang untuk membayar utang.
Namun Galang tidak menyerah. Ia mencengkram lengan pria itu dengan sangat keras lalu menggertaknya. “Gue sebetulnya gak suka kekerasaan. Tapi … lutut gue suka reflek sendiri kalau denger utang nunggak,”
Melihat aura yang menakutkan dari wajah remaja itu, nyali Pak RT langsung menciut. Terpaksa ia akhirnya mengeluarkan dompet. Galang menerima beberapa lembar uang lusuh dan mengangguk puas. Meskipun ujungnya, Pak RT menggerutu kesal dengan menghentak-hentakkan kakinya.
“Makasih ya, Pak. Salam buat istri.” Seketika wajah Galang langsung melunak. Misinya menagih utang Pak RT berhasil. Alhasil ia bisa mendapat upah dari pekerjaannya sebagai debt collector alias penagih utang.
Galang pun berjalan santai, menyelipkan uang ke dalam dompetnya yang sudah lusuh. Baru saja dua langkah kakinya terayun, HP-nya berdering. Sebuah nomor familiar menghubunginya.
[Nama Kontak, Pak Danu – BK Neraka]
“Uh-oh…” desis Galang lalu mengangkat pelan-pelan.
[Halo, Galang. Ini Pak Danu dari BK.]
[Assalamualaikum, Pak. Maaf, saya lagi di jalan ni. Saya habis menolong warga kecebur got.]
Di luar sambungan Danu mendengus pelan mendengar bualan Galang.
[Alasan! Maksudmu, menolong warga ngejar utang?]
[Eh… itu bentuk kepedulian sosial, Pak.]
[Hari ini kamu bolos remedial Matematika. Kamu pikir kamu mau lulus pakai jurus silat?]
Galang mendesah. [Kalau bisa sih enak, Pak…]
[Kamu masuk ke ruang BK besok. Kita bahas masa depanmu. Karena kalau begini terus, masa depanmu suram kayak skripsi ditolak revisi.]
Klik.
Galang menatap layar HP-nya yang sudah mati.
“Yah, fix. Masa depan gue kayak jalan rusak, banyak lubang.”
Menepikan sejenak masalah guru BK, Galang berjalan santai menuju gang sempit di ujung jalan. Tujuannya satu yaitu rumah Bu Martha, seorang rentenir legendaris yang menugasinya untuk menagih utang para warga. Ia akan menyetor uang hasil tagihannya sore itu.
Langkah Galang berhenti saat tatapannya tertuju pada sebuah rumah yang dicat pink ngejreng, dengan lonceng pintu berbunyi... lagu dangdut.
“Dasar kau keong asem,”
Galang mengerutkan alis. “Ibu Martha ini makin kreatif aja, sumpah,” gumamnya sambil membuka pagar.
“Masuk aja, Galangg...!” suara Bu Martha sudah terdengar dari dalam. “Pintunya nggak dikunci! Lagi nonton sinetron nih, si Doni ketauan selingkuh sama pembantunya!”
Dengan sedikit ragu dan banyak pasrah, Galang masuk.
Di ruang tamu, Bu Martha terbaring di sofa dengan posisi seperti ratu Cleopatra, lengkap dengan masker wajah warna hijau, daster ketat motif zebra, dan rambut disanggul pakai penjepit jemuran.
“Galang, kesayangan Ibuk Martha!” katanya sambil menepuk-nepuk sofa sebelahnya. “Sini duduk, ceritain! Gimana nasib si Pak RT nyicil amal?”
Galang duduk tapi menjaga jarak. “Aman, Bu. Udah setor. Saya pakai metode ‘Ancaman Bersyarat’. Kalau minggu depan telat lagi, saya kasih bonus, pakai toa masjid buat ngumumin kalau Pak RT selingkuh dengan Bu RW.”
Bu Martha terkekeh sambil menyuap kerupuk jengkol ke mulut. “Kamu emang paling jago! Kalau Bu RT tahu pasti Pak RT pindah alam.”
“Iya, Buk! Siapa dulu dong Galang Ardiansyah,” timpal Galang dengan nyengir kuda.
Bu Martha melihat penampilan Galang dari atas hingga bawah. Namun ia malas berkomentar soal itu.
“Makanya Ibu percaya sama kamu. Preman bersertifikat. Tapi sayangnya… tetap nggak naik kelas ya?”
Galang mendelik. “Itu gosip kejam, Bu.”
“Nih upahnya,” kata Bu Martha sambil mengeluarkan amplop dari balik daster. “Isi uang lima puluh ribuan, sama bonus keripik paru buatan Ibu. Dijamin nagih dan kolesterol naik. Oh, ya, beliin seragam baru. Seragam yang kamu pakai sekarang mirip lap keset,”
Galang mengambil amplopnya. “Thanks, Bu nasehatnya! Tapi aku butuh uang buat beli obat Ibuku.”
Martha diam mendengar perkataan remaja yang hobi gelut itu. “Kamu anak berbakti Lang,”
Dalam diam, wanita yang berpenampilan glamor itu merasa simpatik pada remaja bernama Galang. Ia tahu, mungkin sebagian orang mengenal Galang sebagai anak remaja yang tukang bikin onar dengan nilai sekolah yang jeblok. Tapi … ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia bukan anak remaja yang cengeng dan menyusahkan ke dua orang tuanya.
Galang bangkit sambil mengantongi amplop ke dalam dompetnya. “Saya cabut dulu ya, Bu. Besok ulangan Matematika. Doakan aja, semoga soal-soalnya cuma pilihan ganda tanpa jawaban.”
“Nggak usah berharap! Mending kamu nikah aja, Galang. Daripada nyiksa diri tiap hari ke sekolah elit gitu,” ledek Bu Martha.
Galang nyengir. “Saya setuju, Bu. Tapi demi Bapak saya, saya jalani.”
“Nah itu! Anak berbakti! Tapi kalau nanti kamu kaya raya, jangan lupa Ibu. Ibu mau dibeliin salon!”
“Saya beliin sekalian sama tukang potongnya,” jawab Galang sebelum keluar.
Dan dengan langkah santai, Galang pun meninggalkan rumah rentenir paling absurd se-kecamatan.
Langkah Galang melambat begitu memasuki gang super sempit menuju rumahnya. Mungkin gang yang hanya bisa dilewati sebuah motor.
Sebuah bangunan setengah permanen itu berdiri di antara rumah-rumah petak lain, catnya sudah mengelupas, dan gentengnya sedikit miring, seperti ikut lelah menghadapi hidup.
Begitu membuka pintu, bau alkohol langsung menyergap hidungnya. Aroma yang paling Galang benci.
“Galang! Lu dari mana aja, ha?!” suara berat dan kasar itu langsung menyambutnya dari dalam.
Galang menahan napas. Matanya langsung menatap pria bertubuh besar yang sedang duduk di kursi reyot dengan botol miras di tangan. Dia adalah Rangga, ayah Galang.
Galang menjawab pelan, “Baru pulang, Pak. Kerjaan udah kelar.”
Rangga mengerutkan dahi, matanya merah, suara sengau karena mabuk. “Lu pikir hidup ini mainan?! Tiap hari lu kerja serabutan! Mana duitnya?!”
Tanpa banyak bicara, Galang menyerahkan amplop berisi upah dari Bu Martha.
Rangga langsung menyambar, membukanya, menghitung, lalu mendengus. “Sedikit amat. Masa laki-laki kuat kayak lu cuma bisa bawa segini?!”
Mendengar perkataan sang ayah, Galang mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.