Suara mesin meraung keras, menembus dinginnya malam di pinggiran kota. Asap knalpot mengepul, bercampur dengan aroma bensin dan ketegangan yang menggantung di udara. Di balik helm hitam polos, Rey Dirgantara mengencangkan genggaman pada setang motornya. Tangannya berkeringat, tapi matanya tajam. Fokus.
"Kalau kau menang malam ini, utang ayahmu bisa ditanggung separuhnya," ucap Bara, pemimpin geng motor Black Torque, sambil menepuk bahunya.
Rey hanya mengangguk. Tak ada ruang untuk bicara. Ayahnya masih terbaring di rumah sakit, dan tagihan obat kian menumpuk.
Lampu jalan yang redup seakan ikut menyaksikan kesunyian sebelum balapan dimulai. Suara deru motor lain mulai bersahut-sahutan. Penonton ilegal sudah berkumpul di sisi jalan, berteriak, berjudi, dan merekam dengan ponsel.
"Si anak sekolah pintar akhirnya berani juga turun ke jalan," sindir salah satu joki lawan.
Rey tak menggubris. Nilai-nilai tinggi di sekolah tak bisa menebus nyawa. Tapi malam ini, ia tak sedang mencoba terlihat pintar. Ia sedang berusaha menyelamatkan ayahnya dari kematian.
Tiga... dua... satu...
BRAKK!
Suara pipa besi dipukul ke aspal. Motor-motor melesat bagai peluru.
Rey menunduk, memeluk bodi motornya, membiarkan angin memotong wajahnya. Setiap detik adalah taruhan. Setiap tikungan adalah takdir.
Dan saat dia mulai menyalip satu per satu joki di depannya, Rey sadar satu hal: ini bukan sekadar balapan. Ini adalah jalan yang menuntunnya ke arah yang tak bisa dia tolak—menuju kecepatan, luka, dan cinta yang belum ia duga datangnya.
Ban motornya menggesek aspal keras saat ia mengambil tikungan terakhir. Angka-angka di speedometer menari liar, dan dunia di sekelilingnya menjadi kabur—hanya suara mesin, detak jantung, dan bayangan ayahnya di ruang rumah sakit yang memenuhi pikirannya.
Sreeeekk!
Ia menyentuh garis akhir dengan suara decitan ban, lebih cepat satu detik dari joki lawan yang menyusul di belakang. Suara sorak-sorai langsung meledak, sebagian kecewa, sebagian kagum. Tapi Rey tak peduli pada siapa yang bersorak. Kemenangan malam ini hanyalah jeda dari kekalahan-kekalahan lain yang terus mengintai.
Bara menepuk punggungnya keras. “Gila, lo benar-benar nekat.”
Rey membuka helmnya, keringat membasahi wajah tirusnya. “Mana uangnya?”
“Langsung gue transfer ke rekening rumah sakit. Lo bisa tenang beberapa hari,” jawab Bara sambil mengedipkan mata.
Rey mengangguk. Di balik sorot matanya yang dingin, ada rasa syukur kecil yang tak bisa diungkapkan. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suara sirene polisi menggema di kejauhan.
“Bubar! Sekarang!” teriak seseorang.
Kerumunan porak poranda. Rey mendorong motornya ke gang kecil, berbaur dalam gelap, napasnya masih berat. Di balik helm yang digantung di tangan kirinya, dunia kembali sunyi. Tapi di dalam dada, jantungnya masih berdetak keras.
---
Esok harinya, di sekolah...
“Rey Dirgantara?” suara seorang guru memanggil saat ia melangkah memasuki kelas.
Rey mengenakan seragam SMA-nya yang sudah agak lusuh, namun masih rapi. Rambutnya acak-acakan, matanya sayu karena hanya tidur dua jam.
“Iya, Bu,” jawabnya pelan, menunduk.
Beberapa siswa mulai berbisik. “Itu anak yang selalu ranking satu, kan?”
“Katanya miskin tapi jenius…”
Dari bangku paling belakang, sepasang mata mengawasinya dengan penuh rasa ingin tahu.
Larissa Aurellie.
Putri pemilik yayasan sekolah, murid tercantik sekaligus paling berkuasa di antara semua siswa. Wajahnya cantik tanpa cela, tapi sorot matanya seperti ingin mencari tahu sesuatu yang lebih dalam dari sekadar nilai atau penampilan.
Dia menyipitkan mata.
“Anak itu… aneh. Menarik,” gumamnya pelan.
Larissa tersenyum kecil. Entah kenapa, sejak tadi malam, ia tak bisa berhenti memikirkan suara motor yang melintas cepat di depan vila keluarganya… dan kini, tatapan Rey terasa familiar.
Jam istirahat.
Rey duduk sendirian di pojok kantin, seperti biasanya. Bukan karena dia ingin, tapi karena memang tak ada yang cukup berani atau cukup peduli untuk duduk bersamanya. Bagi sebagian siswa, Rey hanyalah murid miskin dengan nilai sempurna—penuh misteri, dan sejujurnya, sedikit menakutkan.
Ia membuka bekal plastik lusuh berisi nasi dan telur dadar dingin. Namun sebelum sempat menyuap, suara langkah hak sepatu terdengar mendekat. Suara yang terlalu asing di dunia Rey, tapi terlalu dikenal oleh semua siswa di sekolah.
Larissa.
“Aku boleh duduk di sini?”
Rey mengangkat wajahnya, sedikit heran. Gadis itu tersenyum tipis, membawa roti panggang premium dari kafe kantin yang biasanya hanya dikunjungi anak-anak ‘berdarah biru’. Suara di sekitar mereka langsung mereda. Semua mata menoleh.
“Masih banyak meja kosong,” jawab Rey dingin.
Larissa mengangkat bahu. “Aku suka duduk di tempat yang sepi. Dan… aku penasaran.”
“Penasaran?” alis Rey naik sedikit.
Larissa mencondongkan tubuhnya. “Tentang kamu. Anak paling pintar yang datang ke sekolah naik motor tua dan selalu terlihat kurang tidur.” Matanya menatap tajam, penuh tantangan. “Semalam… kamu ngebut di jalan Pantai Utara, kan?”
Rey membeku. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk Larissa menangkap getaran kecil di tatapannya.
“Aku suka suara mesinmu,” lanjut Larissa, pelan. “Tapi aku lebih suka kalau kamu gak mati konyol karena itu.”
Rey tak menjawab. Tapi dalam diamnya, ada peringatan. Dunia Larissa terlalu terang untuk disentuh oleh bayangan yang selalu mengikutinya.
“Ini bukan tempat buat cewek sepertimu,” ucap Rey akhirnya. Dingin. Tajam. Tapi matanya... sedikit goyah.
Larissa tersenyum, lalu berdiri.
“Bagus. Berarti aku duduk di tempat yang tepat.”
Selesai jam makan siang, Rey berjalan menyusuri koridor belakang sekolah. Ia butuh udara. Butuh jeda dari semua bisikan dan tatapan yang mendadak ramai sejak Larissa mendekatinya.
Ia bersandar di dinding, memejamkan mata. Pikirannya melayang—ke suara batuk ayahnya di rumah sakit, ke amplop tagihan yang terus datang, dan ke suara mesin motornya semalam yang masih bergema di telinga.
“Rey.”
Suara itu lagi. Lembut, tapi jelas. Rey membuka mata dan melihat Larissa berdiri tak jauh dari tempatnya. Gadis itu menyilangkan tangan, berdiri santai seolah itu hal biasa menghampiri anak paling tertutup di sekolah.
“Aku tahu kau ingin menyuruhku pergi,” katanya.
Rey tidak menjawab. Hanya menatap.
“Tapi aku tahu mata orang yang sedang menahan sesuatu. Kamu... hidup dalam dua dunia, ya?”
Rey menghela napas panjang. “Kenapa kamu peduli?”
Larissa tersenyum miring. “Mungkin karena aku juga hidup dalam dunia yang gak semua orang tahu. Dunia yang dipoles, dipaksa sempurna. Tapi… kosong.”
Angin sore menyapu rambut mereka pelan. Rey menunduk, lalu berkata lirih, “Kalau kamu cerdas, Larissa, kamu akan menjauh dariku. Dunia yang aku jalani... bukan tempat untuk orang seperti kamu.”
Dan untuk pertama kalinya, Larissa tak membalas. Tak menggoda. Hanya menatap Rey dalam diam. Tapi diam itu lebih tajam dari ribuan kata.
Satu detik. Dua. Lalu ia berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Rey memandangi punggung Larissa yang menjauh. Ada sesuatu yang mulai retak dalam dirinya—perasaan yang belum bisa ia beri nama. Tapi ia tahu satu hal: mendekati Larissa bisa jadi kesalahan… tapi bisa juga jadi satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup di tengah dunia yang perlahan menghancurkannya.
Dan di kejauhan, suara knalpot motor kembali terdengar—mengingatkannya bahwa malam akan datang, dan dia akan kembali ke jalanan.
Larissa berdiri beberapa langkah dari Rey. Sorot matanya tak seperti gadis kebanyakan—ada rasa penasaran, namun juga keberanian yang aneh.
“Aku gak akan pura-pura gak lihat apa yang kulihat semalam,” katanya perlahan. “Aku tahu itu kamu, Rey. Motor hitam dengan garis merah di tangki. Suaranya beda.”
Rey menyipitkan mata. “Kamu ngikutin aku?”
Larissa mengangkat alis. “Kamu pikir hanya kamu yang bisa menyimpan rahasia?”
Rey menggeleng pelan, lalu menatap langit yang mendung. “Semua orang punya alasan. Aku gak bangga dengan apa yang kulakukan. Tapi ada hal-hal yang harus aku bayar... dengan cara apa pun.”
“Biaya rumah sakit?” tanya Larissa pelan.
Seketika itu juga, rahang Rey mengeras. Ia tak menjawab, tapi keheningan itu cukup sebagai konfirmasi.
Larissa mendekat satu langkah. “Kalau kamu pikir aku datang buat menghakimi, kamu salah.”
“Lalu kenapa?” bisik Rey. “Kenapa kamu ngotot nyari tahu?”
Larissa tersenyum tipis. “Karena kamu menarik... dan berbahaya.”
Rey tertawa pendek, getir. “Bahaya itu menular.”
Larissa menatapnya dalam. “Kadang, bahaya justru membuat kita merasa hidup.”
Mereka terdiam. Hanya ada suara angin dan gemuruh petir di kejauhan. Dunia mereka bertabrakan—Larissa yang sempurna di atas kertas, dan Rey yang hidup di bayang-bayang jalanan.
Dan saat bel masuk berbunyi, Larissa melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh dan berkata,
“Aku akan datang ke jalan Pantai Utara lagi. Jangan terlambat.”
Rey menatap punggungnya yang menjauh, dada sesak oleh firasat yang belum sempat ia beri nama.