Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Apa Cinta Harus Setara?

Apa Cinta Harus Setara?

darkcom | Bersambung
Jumlah kata
470.8K
Popular
20.7K
Subscribe
371
Novel / Apa Cinta Harus Setara?
Apa Cinta Harus Setara?

Apa Cinta Harus Setara?

darkcom| Bersambung
Jumlah Kata
470.8K
Popular
20.7K
Subscribe
371
Sinopsis
18+PerkotaanSekolahCinta SekolahKarya KompetisiPria Miskin
Raka, siswa miskin dari pinggiran kota yang diam-diam jenius dalam bidang fisika, pindah ke SMA elit karena program beasiswa tersembunyi dari seorang gurunya. Pilihan berat, cinta atau masa depan.
Bab 1 Beasiswa

Bab 1 Beasiswa

“Ini dari kementerian. Kamu keterima beasiswa penuh ke SMA Harapan Nusantara,” kata Pak Badrun, sambil menyerahkan map cokelat yang agak lecek.

Raka membaca isinya pelan-pelan. Tangannya sedikit gemetar. Sekolah itu... bukan main-main. SMA Harapan Nusantara sekolah swasta paling elit di Indonesia. Biaya masuknya setara lima rumah di kampungnya. Tapi surat ini sah. Dan ada tanda tangan basah dari kementerian.

“Kok bisa?” suara Raka pelan. Nyaris seperti gumaman.

“Karena kamu juara satu olimpiade biologi dan fisika nasional dua kali berturut-turut. Mereka perhatikan kamu dari jauh,” ujar Pak Badrun, tersenyum bangga.

Raka menunduk. Satu sisi, ini seperti mimpi. Tapi sisi lain, dia tahu itu juga artinya meninggalkan semua. Ibunya, dan warung kecil tempat ia biasa bantu jualan saat libur.

“Apa saya boleh nolak?”

Pak Badrun terdiam sejenak. “Boleh. Tapi… kamu mau jadi orang yang terus pintar tapi nggak pernah punya panggung? Di sana, kamu bisa buktikan ke lebih banyak orang. Bisa bantu lebih banyak juga.”

Diam. Sunyi sebentar.

“Kapan saya harus berangkat?” tanya Raka akhirnya.

“Kamu punya waktu dua minggu buat siapin semuanya.”

Raka mengangguk pelan. Ada rasa asing dalam dadanya. Campur aduk. Bangga iya. Takut lebih lagi. Dunia yang akan dia hadapi di Jakarta bukan dunia yang mengenal nasi bungkus seharga seribu.

Dan dia tahu, begitu dia berangkat, gak ada jalan mundur lagi.

..

..

..

..

Langit Jakarta pagi itu tampak cerah tapi sumpek. Panasnya beda. Udara penuh debu, suara klakson, dan langkah kaki yang serba buru-buru. Raka berdiri di depan gerbang SMA Harapan Nusantara, dengan seragam baru yang masih kaku dan sepatu pinjaman dari Pak Badrun. Satu tas ransel, satu dunia asing.

Gedungnya tinggi dan modern. Gerbangnya dilapisi besi hitam mengkilap, ada lambang sekolah berlapis emas di tengahnya. Bahkan petugas keamanan di depan gerbang kelihatan lebih rapi daripada kepala sekolah Raka di desa.

Sambil menarik napas panjang, Raka melangkah masuk. Belum sempat berpikir banyak, seseorang menabraknya dari belakang.

"Eh, sorry—eh, kamu... siswa baru?" suara perempuan.

Raka menoleh. Seorang cewek berdiri di depannya. Rambut hitamnya dikuncir rendah, rapi, tapi makeup-nya tipis dan elegan. Cantik. Terlalu cantik. Dia mengenakan seragam yang sama tapi jas licin, sepatu kilap, dan dasi yang warnanya matching sama tas.

"Iya," jawab Raka pelan. Canggung.

Cewek itu menatap sebentar, bibirnya tersenyum tipis. “Oh… kamu anak beasiswa, ya?”

Kalimat itu nggak disampaikan dengan nada jahat, tapi cukup untuk bikin perut Raka mual. Seolah-olah seragamnya beda dari yang lain. Seolah-olah ia bukan bagian dari sini.

"Aluna, buruan!" Teriakan teman ceweknya dari kejauhan menyela. Cewek itu Aluna menatap Raka sebentar sebelum berbalik.

Raka menarik napas lagi. “Baru juga lima menit udah ada drama,” gumamnya.

Ia berjalan ke arah papan pengumuman, mencari nama kelas. Matanya menyapu cepat, lalu terhenti. Ternyata siswa beasiswa bukan hanya dirinya saja.

X IPA 1 – Raka Prasetya

Kelas X IPA 1 terletak di lantai dua gedung sayap timur. Dindingnya bersih, ber-AC, dan tiap meja punya tempat colokan sendiri. Kursinya empuk, bukan kursi kayu rangka besi yang biasa Raka duduki di sekolah lama. Tapi anehnya, justru bikin dia makin nggak nyaman.

Dia duduk di bangku pojok belakang. Tempat paling aman dan paling gak dilirik orang.

“Eh, itu tuh cowok tadi pagi. Anak beasiswa,” bisik seorang cewek berponi ke temannya sambil nunjuk pakai dagu. Raka mendengar, pura-pura gak denger.

Beberapa menit kemudian, pintu kelas dibuka keras. Seorang guru masuk, berkacamata, ekspresinya galak tapi elegan.

“Selamat pagi. Saya Pak Udin, wali kelas kalian. Saya juga yang akan jadi pembimbing lomba sains untuk tahun ini.” Suaranya tegas.

Seluruh murid diam. Aura ‘kelas elit’ langsung terasa. Semua terlihat sopan, tapi juga... palsu. Semua terlalu diam.

“Raka Prasetya?”

Raka angkat tangan pelan. “Iya, Pak.”

Pak Udin tersenyum tipis. “Kamu juara olimpiade nasional dua kali, kan? Fisika dan biologi?”

Beberapa kepala langsung menoleh. Termasuk Aluna, yang baru masuk kelas dan langsung duduk di baris tengah, dua meja di depan Raka. Ia menoleh sebentar, lalu balik lagi.

“Semester ini kalian wajib ikut lomba internal. Raka, kamu ketua tim Fisika. Partner-mu… Aluna.”

Seluruh kelas nyaris bersuara “Wooo...” tapi langsung dikunci oleh pandangan tajam Pak Udin.

Raka menelan ludah.

Aluna menoleh pelan. Tatapannya tajam, gak percaya.

“Saya?” tanya Aluna, seolah ingin klarifikasi.

“Ya. Kamu kan ranking satu paralel. Saya percaya kalian bisa jadi pasangan yang menarik.”

Raka menunduk. Pasangan? Ini bukan pasangan cinta-cintaan. Tapi tetap aja... aneh dengarnya.

Aluna menghela napas panjang, lalu mengangguk tanpa semangat. “Baik, Pak.”

Setelah kelas bubar, Aluna menghampiri Raka. Nggak banyak basa-basi.

“Kita mulai kapan?”

Raka bengong. “Mulai... apa?”

“Proyeknya, obviously,” katanya datar.

“Oh... minggu ini juga bisa. Aku udah punya konsep eksperimen,” jawab Raka, ragu-ragu.

Aluna mengangkat alis. “Kamu ngomong ke aku kayak aku ngerti. Santai aja, Profesor. Nanti kita bahas lagi.”

Lalu dia pergi, meninggalkan Raka yang masih duduk sambil berpikir,

"Apa ini awal dari sesuatu... atau awal dari kekacauan?"

..

..

..

Sabtu sore. Laboratorium Fisika SMA Harapan Nusantara sepi. Semua murid sibuk di rumah atau di kafe hits Jakarta Selatan. Tapi dua orang justru duduk berhadapan, dikelilingi papan tulis, kabel, dan tabung-tabung percobaan yang belum dipasang.

Raka menulis rumus di papan kecil portabel. Tangannya cepat, presisi. Dia sudah terbiasa menyusun konsep tanpa perlu banyak bicara.

Sementara itu, Aluna duduk bersandar, memainkan pensilnya. Sesekali melirik ke kertas Raka.

"Jadi... ini apa? Bom mini atau mesin waktu?" sindir Aluna, mengerutkan dahi.

“Simulasi gelombang elektromagnetik menggunakan coil spiral yang digabungkan dengan medan frekuensi rendah dari arus DC,” jelas Raka tanpa menoleh.

“Bahasamu kayak profesor tua, sumpah. Bisa pakai bahasa manusia biasa nggak?”

Raka diam. Ia menoleh pelan. “Kita lagi bikin proyek ilmiah, bukan bikin puisi.”

Aluna mendengus. “Iya, tapi yang nilai kita bukan alien. Juri lomba juga manusia. Kalau kamu sok keren dengan teori ribet, kita bisa gagal karena nggak bisa presentasi.”

Raka meletakkan spidol. “Kamu ngerasa pintar karena populer, tapi gak pernah belajar teori dasarnya. Maaf, aku bukan tukang edit caption Instagram.”

Suasana jadi dingin.

Aluna berdiri. “Wow. Jadi gini ya kerja bareng kamu? Selalu sok paling benar?”

Raka berdiri juga. “Maaf, aku gak punya waktu buat drama. Kita di sini buat menang.”

"Menang?" Aluna menatap tajam. "Buatku, proyek ini cuma alat. Biar aku bebas dari tekanan bokap. Tapi buat kamu, ini kayak hidup dan mati, ya?"

Raka diam. Matanya berubah. Sorot tajam yang biasanya ia sembunyikan muncul sekejap.

“Buatku, iya. Karena satu kesalahan kecil bisa bikin aku ditendang balik ke desa. Kamu bisa gagal dan tetap hidup nyaman. Aku nggak.”

Aluna terdiam.

Untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Raka. Bukan cuma anak pendiam dan pintar. Tapi anak yang bertahan hidup di tempat yang bukan miliknya.

Beberapa detik lewat tanpa suara.

Aluna menarik napas panjang. “Oke. Kalau kamu butuh orang yang ngerti teori, aku belajar. Tapi kamu juga harus ngerti, di dunia ini kadang penampilan lebih penting dari logika.”

Raka menunduk sedikit. Perlahan duduk lagi. “Deal. Tapi jangan bikin aku ngajarin kamu dari nol.”

Aluna duduk juga. “Asal kamu gak ngajarin kayak dosen S3 yang lagi putus cinta.”

Masih kaku. Masih belum klik. Tapi untuk pertama kalinya, diskusi mereka bukan lagi tentang menang... tapi tentang saling paham.

Salam Penulis

darkcom

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca